Kamis, 16 April 2009

Rencana Tuhan dalam Hidup Saya




Saya belum lama bergabung dengan sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Awalnya saya direkrut untuk menjadi salah satu tim inti untuk sebuah proyek yang cukup besar dan direncanakan akan segera berjalan dalam waktu sekitar 1 bulan sejak saya diterima. Namun pada saat saya masuk selama 1 bulan, surat perintah kerja dan sebagainya untuk memulai proyek tersebut tak kunjung tiba juga, sehingga kegiatan saya sehari-hari relatif tidak ada dan hanya membantu tim yang lain jika dibutuhkan.

Ketika sudah 2 bulan bekerja, saya sempat dipanggil oleh atasan saya yang menyatakan kalau kinerja kerja saya tidak sesuai dengan harapannya dan proyek yang dimana saya akan ditempatkan belum juga ada kabarnya. Namun pada saat itu, saya sempat berontak dalam hati karena saya belum diberikan kepercayaan atas suatu pekerjaan, bagaimana dia bisa menilai kinerja saya?

Pada saat itu saya terima saja setiap masukan dari dia. Yang sangat disayangkan, saya melihat kalau alasan yang dibuat terlalu mengada-ada dengan embel-embel kalau proyek barunya masih belum jelas juga. Setelah itu, saya tetap melanjutkan kegiatan saya sehari-hari, dan akhirnya ditempatkan pada suatu proyek yang lain, dimana di kantor saya masih belum ada yang memahami tentang proyek itu sepenuhnya. Jadi di situ saya belajar dari awal untuk memahami semuanya. Selang beberapa waktu saya sudah menjalankan tugas di proyek tersebut.

Beberapa waktu kemudian saya mendapatkan kabar kalau rekan setim saya akan bertugas pada proyek baru yang awalnya dijanjikan untuk diberikan kepada saya. Pada saat itu memang saya sempat kesal, namun akhirnya saya berusaha menerima, karena dari segi pengalaman saya masih kurang dibandingkan dengan teman saya. Apa yang terjadi selanjutnya, yaitu teman saya tersebut mengundurkan diri dari pekerjaannya dan posisinya masih kosong karena senior-senior yang lain juga tidak mau berkecimpung dalam proyek tersebut karena deadlinenya yang sangat cepat, bahkan itu bisa dikatakan sangat mustahil untuk dilakukan. Hal ini terjadi karena sistem penjualan yang memberikan janji-janji manis kepada pelanggan.

Pada akhirnya, saat perusahaan mengalami tekanan dari pihak pelanggan yang baru dan kekurangan sumber daya dari dalam, ada suara dalam hati saya kalau Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah buat saya, dimana saya berada di dalam sebuah proyek dengan deadline yang lebih wajar. Kalau saya berada di proyek yang sebelumnya sudah dibebankan untuk saya, mungkin saya akan mengalami banyak kesulitan yang datangnya dari berbagai segi karena kurangnya pengalaman di dalam bidang ini. Untuk itu, saya sangat bersyukur dengan keadaan sekarang, dimana Tuhan memberikan saya jalan yang terbaik dan waktu pembelajaran yang cukup dalam memulai karir baru saya...

Apa yang kita lihat di awal mengecewakan, belum tentu itu mengecewakan kita nantinya. Tuhan tahu yang terbaik untuk kehidupan kita masing-masing...

God bless you all...

---

Apakah Engkau Yesus?

Matius 5:16
Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.

Beberapa tahun silam diadakan pertemuan para salesman di kota Chicago selama beberapa hari. Usai penutupan pertemuan tersebut, para manager sales dari berbagai kota di Amerika itu buru-buru menuju pelabuhan udara. Pertemuan yang sempat molor lumayan lama itu rupanya membuat para manager sales ini harus bergerak cepat agar jangan sampai ketinggalan pesawat yang tiketnya telah mereka beli.

Para manager sales yang terburu-buru itupun berlari-lari menerobos pintu airport. Sayangnya salah satu dari mereka secara tidak sengaja menendang sebuah meja yang digunakan untuk menjual apel. Seketika itu juga, apel-apel di atas meja tersebut berhamburan ke mana-mana. Tampak tidak seorang pun dari para manager sales itu yang menghentikan langkahnya. Semua tampak tergesa-gesa memasuki pesawat yang bersiap untuk tinggal landas itu.

Namun ada satu yang berhenti. Ia kemudian menghela napas panjang dan bergumul dalam hatinya. Ia merasa kasihan terhadap gadis penjual apel tersebut. Ia meminta rekan-rekannya untuk meninggalkannya di situ. Tidak lupa ia juga menyampaikan pesan agar salah satu rekannya mengabarkan kepada istrinya bahwa ia terpaksa mengambil penerbangan selanjutnya.

Ia kemudian kembali ke tempat di mana apel tadi berceceran. Seketika itu juga hatinya trenyuh mengetahui bahwa gadis penjual apel itu buta. Gadis berumur sekitar 16 tahun itu sedang menangis tersedu-sedu sambil berusaha mengumpulkan apelnya yang berceceran di lantai. Tampak betapa sulitnya gadis ini berusaha meraih apel di tengah-tengah orang yang bersliweran di jalan itu. Tidak terlihat satu pun orang yang berhenti dan membantunya. Tidak seorang pun peduli kepada gadis buta ini.

Sang manager ini kemudian berlutut di sampingnya dan membantu sang gadis mengumpulkan apel-apelnya. Ia juga membantu sang gadis ini memasukkan apel tadi ke dalam keranjang dan sebagian lainnya dipajang di meja seperti semula.

Sang manager sales ini kemudian melihat bahwa banyak sekali apel yang rusak akibat jatuh dan terinjak orang. Apel-apel yang rusak ini kemudian dipisahkannya ke keranjang lainnya. Ia juga memberikan uang sebanyak 20 dolar kepada sang gadis buta, penjual apel ini. "Ambillah uang ini sebagai ganti atas apel yang rusak", katanya.

Kemudian ia memandangi wajah gadis tersebut dengan penuh rasa empati dan bertanya, "Kamu baik-baik saja kan?" Sang gadis itu mengangguk dan masih berlinang air mata. Sang manager ini melanjutkan kalimatnya, "Saya berharap kejadian ini tidak merusak keceriaanmu hari ini."

Ketika pria ini mulai beranjak pergi, gadis penjual yang buta ini memanggilnya, "Tuan..." Sang manager ini berhenti, dan menoleh ke belakang untuk menatap kedua mata gadis yang buta itu. Gadis ini melanjutkan, "Apakah engkau ini Yesus?"

Sang manager ini begitu terpana. Kemudian dengan langkah yang lambat ia berjalan masuk untuk mengejar penerbangan berikutnya. Dan pertanyaan itu terus menerus berbicara di dalam hatinya, "Apakah engkau Yesus?"

Cerita ini sungguh menyentuh hati saya. Cerita ini juga seakan hendak mengingatkan kita agar sebagai orang Kristen kita tidak hanya pandai berbicara tentang Yesus tetapi juga mampu meneladani kehidupan Yesus agar kita menjadi semakin serupa dengan Dia. Kitab Suci berkata : "Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara." (Roma 8:29)

Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang mengaku sebagai pengikut Kristus yang hidupnya bertolak belakang dengan ajaran Kristus. Hidup kita tidak menjadi berkat, bahkan menjadi kutukan bagi orang di sekitar kita. Kehadiran kita tidak membuat mereka bertambah baik namun bertambah buruk. Kehadiran kita tidak memberikan nilai tambah melainkan nilai minus bagi kehidupan mereka.

Saya pernah mendengar kisah seorang pendeta yang setiap pagi berdoa agar hidupnya tidak menjadi beban bagi orang lain. "Bapa, tolonglah saya hari ini untuk tidak menambah masalah orang lain," demikian bunyi doanya yang sangat sederhana. Ini mirip sekali dengan nasihat seorang sahabat yang kemudian saya jadikan salah satu prinsip hidup saya: "Jika saya tidak bisa menguntungkan Anda maka saya akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak merugikan Anda".

Oleh karena itulah hari-hari penting dalam hidup kita (misalnya ulang tahun dan tahun baru) dan juga hari-hari penting bagi umat Kristiani - seperti Natal dan Paskah - seharusnya tidak sekedar menjadi pesta rutin tahunan melainkan masuk ke hal yang lebih esensial dan menjadi sebuah ajang untuk berefleksi: sejauh mana hidup saya telah memancarkan kasih Kristus kepada mereka di sekitar saya? Siapa saja orang-orang yang kehidupannya bertambah baik dengan kehadiran saya? Siapa lagi orang yang bisa saya bantu agar mereka menjadi lebih baik dari hari ke hari?

Hidup sebagai pengikut Kristus akan jauh lebih bermakna jika kita sungguh dapat memancarkan kasih Kristus di mana pun kita saat ini berada. Dengan demikian, orang akan tahu bahwa Anda dan saya adalah pengikut Yesus. Tuhan memberkati selalu.

Artikel ini dikutip dari Buku Melangkah Maju di Masa Sulit (Stand Strong) karya Paulus Winarto, Penerbit Andi 2005.

---

Memiliki Menikmati Memberkati

Pengkhotbah 5:9
Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia.

Seorang pengusaha kaya raya baru saja membeli sebidang tanah seluas ratusan hektar di tepi sebuah pantai. Ia pun pergi untuk meninjau lokasi tersebut. Ia berdiri sambil menatap keindahan laut dan membayangkan suatu ketika kawasan itu menjadi pusat perekonomian. Ia tersenyum tanda bahwa ia amat bangga atas apa yang akan segera dikerjakannya.

Setelah puas mengamati, ia kemudian berjalan menuju ke arah mobilnya. Tiba-tiba langkahnya itu dihentikan oleh suara seorang pria. "Selamat pagi kawan," ujar si pria yang sedang duduk bersantai sambil menikmati panasnya sinar mentari. Si pengusaha menoleh. "Selamat pagi. Hei... kenapa kamu di situ saja? Apakah kamu tak punya kerjaan?" kata si pengusaha. "Aku seorang nelayan," jawab orang itu.

Perbincangan pun berlanjut. "Kalau begitu pergilah ke laut dan tangkaplah banyak ikan," himbau si pengusaha. "Oh, aku sudah ke laut tadi pagi. Sekarang aku sedang menikmati hidupku sambil melepas lelah," jawab nelayan. "Sekarang kembali lagi ke laut," himbau si pengusaha, kali ini dengan nada agak tegas. "Tapi untuk apa?" tanya nelayan. "Tangkap lagi ikan sebanyak-banyaknya," jawab si pengusaha.

Sejenak nelayan diam, kemudian menyahut, "Trus...". "Ya, kemudian kamu jual ikan itu supaya uangmu bertambah banyak sehingga kamu menjadi kaya," kata pengusaha. "Kemudian apa yang harus kulakukan?" tanya nelayan lagi. " Kamu tinggal menikmati hidupmu," kata pengusaha. Dengan wajah polos dan sambil tersenyum, si nelayan berkata, "Lo, emangnya apa yang sedang kulakukan sekarang..." Si pengusaha terdiam dan berlalu sementara nelayan terus menikmati sinar matahari dan angin pantai yang berhembus sepoi-sepoi. Ia betul-betul menikmati hidupnya.

Cerita di atas tampaknya sedang menyindir kehidupan banyak orang yang diisi dengan kegiatan mengejar kekayaan semata. Dulu saya pernah berpikir bahwa memiliki banyak uang adalah tanda kesuksesan. Namun seiring perjalanan waktu saya menyadari bahwa hal tersebut adalah keliru. Bukankah dengan jelas kita bisa melihat begitu banyak orang kaya yang mati bunuh diri? Atau orang kaya yang hidupnya hanya diisi oleh stres, kekhawatiran dan ketakutan akan kematian?

Tampaknya nasihat dari Ibu Teresa patut kita renungkan. "Ketika seseorang berurusan dengan uang, orang itu akan kehilangan hubungan dengan Allah... Suatu hari muncullah keinginan untuk memiliki banyak uang dan segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang. Kebutuhan-kebutuhan semakin meningkat karena satu hal berkaitan dengan hal lainnya. Akibatnya adalah ketidakpuasan yang tidak terkendali," katanya.

Saya bukannya orang yang anti uang. Menurut saya, uang hanya sebuah sarana dalam menopang kehidupan dan dapat menjadikan kehidupan kita lebih bermanfaat baik bagi diri sendiri, keluarga maupun sesama.

Terkadang ada orang yang sinis dengan uang dan berkata bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Menurut saya itu benar tapi apakah kemiskinan bisa membeli kebahagiaan? Anda mungkin pernah melihat bagaimana seorang suami tega menjual istrinya atau ayah menyuruh anak melacurkan diri akibat kemiskinan.

Orang-orang yang alergi terhadap uang barangkali belum pernah hidup miskin sehingga berani mengatakan uang tidak penting. Saya masih ingat pengalaman diusir dari tempat kost karena tidak mampu membayar tepat waktu dan dihina oleh orang-orang yang masih ada hubungan dekat dengan kami saat bisnis orang tua saya mengalami kebangkrutan. Benar kata orang bijak bahwa dalam masa senang teman-teman mengenal kita namun dalam masa sulit kita mengenal siapa teman-teman kita. Ketika hidup kita senang, banyak yang datang menghampiri. Persis seperti pepatah ‘ada gula ada semut' namun begitu hidup kita susah, satu per satu akan menjauh. Begitulah manusia!

Saya sepenuhnya percaya Tuhan menginginkan kita hidup dalam segala kelimpahan, termasuk dalam segi finansial namun kekayaan kita hendaknya digunakan demi kemuliaan nama Tuhan. Caranya adalah dengan menjadikan kekayaan tersebut berkat bagi sesama. Semakin kaya kita, semakin besar pula kesempatan yang kita miliki untuk membantu mereka yang sangat membutuhkan.

Jika berbicara tentang hal ini, saya sering teringat akan kisah seorang pemuda yang memiliki cita-cita untuk menjadi misionaris di Afrika. Sayangnya, setelah menikah ia baru mengetahui kalau keadaan kesehatan istrinya tidak memungkinan mereka berdua untuk pergi ke Afrika. Pemuda ini menjadi begitu tertekan. Ia depresi!

Ia terus bergumul. Ia marah bercampur bingung. Bagaimana mungkin Tuhan memanggilnya untuk tugas mulia tersebut namun menutup pintu baginya untuk berkarya? Sampai suatu ketika Tuhan menyadarkan dia bahwa ia masih tetap bisa menjalankan komitmennya itu di manapun ia berkarya.

Pemuda ini kemudian membantu ayahnya memproduksi anggur untuk keperluan perjamuan kudus di gereja. Ketika ayahnya semakin tua, pemuda ini mengambil alih usaha tersebut dan bertekad memanfaatkannya demi kemuliaan nama-Nya. Siapa menduga usaha terus berkembang dan ia kemudian dikenal sebagai orang yang menyumbangkan dana dalam jumlah besar bagi kepentingan misi di dunia. Ia menggunakan kekayaaannya demi perluasan kerajaan Allah di dunia. Nama pemuda ini adalah Mr. Welch.

Jika saat ini hidup Anda diberkati, bersyukurlah kepada Tuhan. Nikmatilah apa yang Anda miliki dan jangan lupa untuk memberkati kehidupan orang lain sehingga nama Tuhan semakin dimuliakan

Dia akhir perjumpaan ini, saya ingin mengajak kita semua merenungkan sebuah nasihat kecil dari Ibu Teresa mengenai uang dan kekayaan: "Siapa saja yang hidupnya tergantung pada uang atau selalu cemas atasnya, dia sesungguhnya orang miskin. Bila orang itu menggunakan uang untuk melayani orang lain, orang itu menjadi kaya, benar-benar sangat kaya."

Artikel ini dikutip dari Buku Melangkah Maju di Masa Sulit (Stand Strong) karya Paulus Winarto, Penerbit Andi 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar