Selasa, 14 April 2009

3 Kunci Menuju Kesuksesan Sejati





Untuk menghadapi ketidakpastian dan ketidaktentuan pada masa sukar seperti sekarang ini serta bagaimana meraih kesuksesan maka kita perlu memiliki tiga kunci utama menuju kesuksesan sejati. Tentunya masih banyak kunci-kunci kesuksesan lainnya yang bisa dikembangkan untuk dapat dipraktekkan, namun pada kesempatan kali ini kita akan bahas tiga hal sebagai berikut:

1. The PERCEPTION (Cara Pandang)
2. STRESS MANAGEMENT (Mengelola Stress)
3. The Power of ADAPTABILITY (Kemampuan Adaptif)

The PERCEPTION (Cara Pandang)

Wealth is not only what you have, but also what you are. Dennis Waitley

Jadi apa yang menjadi cara pandang kitalah yang akan menentukan keberhasilan, karena hal ini akan menentukan setiap langkah yang ingin ditempuh. Seorang atlet lari akan berhasil menginjak garis finish apabila ia dapat mengarahkan pandangannya ke depan, bukan ke belakang. Selama seorang atlet masih mampu berfokus pada apa yang di depan maka ia akan memiliki kesempatan yang sama dengan pelari-pelari lainnya untuk mencapai garis akhir.

Tetapi kita harus ingat apa yang ingin kita capai di depan juga ditentukan dengan apa yang pernah terjadi di belakang. Pelatihan, kerja keras, kegagalan, ketidak berhasilan, kesengsaraan, ketidakmampuan mungkin pernah di alami, tetapi untuk bisa berhasil maju ke depan sangat tergantung seberapa baiknya kita mengelola masa lalu tersebut.

Harus dicatat pula kita sebagai manusia biasanya lebih terikat pada masa lalu, atau sering terpengaruh pada sejarah yang sudah lewat. Masa lalu penuh kegagalan dan ketidak berhasilan yang pernah dialami sering tidak dapat kita lupakan begitu saja, atau bahkan sebaliknya tidak sedikit orang yang masih sering bangga dengan keberhasilan masa lalunya sehingga ia lupa mengerjakan hal-hal baru untuk meraih keberhasilan di masa sekarang atau di masa depan. Banyak orang ingin membuka pintu kesempatan di masa sekarang dengan menggunakan kunci-kunci keberhasilannya di masa lalu. Hal ini lah yang akan membuat frustasi dan kekecewaan.

If your Past Success still looks BIG to you then you are DOING NOTHING TODAY (Mikhail Gorbachev)

Jadi cara pandang yang benar, persepsi yang dikelola dengan baik akan menentukan keberhasilan di masa datang.

Jangan pernah kita hidup di dalam Zona Apatis yaitu Zona yang disebabkan dari pengalaman-pengalaman negatif di masa lalu kemudian mempengaruhi kehidupan masa depan menjadi negatif. Di dalam zona ini orang akan hidup apatis dan enggan memiliki cara pandang baru yang positif tentang masa depan.

Zona Nyaman (Comfort Zone) adalah zona dimana orang yang memiliki keberhasilan-keberhasilan masa lalu yang positif namun mereka terlelap dalam kesuksesannya lalu mempengaruhi cara pandang dan kehidupannya ke depan. Zona Nyaman ini justru lebih sulit dibangkitkan atau diarahkan kembali kepada yang benar, kecuali setelah mengalami turbulensi berikutnya yang akan segera menyadarkan bahwa mereka harus selalu siap menghadapi tantangan.

Sisi lain yang dapat diperbaiki bila kita berada di dalam Zona Apatis yaitu kita menggunakan pengalaman negatif masa lalu menjadi alat proses pembelajaran untuk menghadapi tantangan di masa depan, bilamana kita telah berhasil menggunakan cara pandang ini maka kita sudah berada pada Zona Pembelajaran (Learning Zone).

Bilamana kita memiliki pengalaman-pengalaman positif, keberhasilan masa lalu yang terus kita evaluasi dan kita jadikan bahan perencanaan masa depan, maka kita sudah berada di dalam Zona Kesuksesan yaitu Zona Pemenang (Winning Zone).

STRESS MANAGEMENT (Mengelola Stress)

Siapa yang sanggup mengelola tekanan dia yang layak disebut Pahlawan (Family DISCovery)

Ketika kita menghadapi masalah atau tekanan dalam hidup maka kita harus segera bisa memilah problem tersebut sesuai kelompoknya; problem yang masih di dalam pengaruh langsung dan yang berada dibawah pengaruh tidak langsung segera selesaikan sedangkan problem yang sudah di luar kekuasaan kita jangan dipikirkan lagi. Misalnya : masalah kekurangan uang di tengah-tengah bulan adalah masalah yang masih didalam kendali kita, jalan keluarnya adalah segera evaluasi anggaran belanja lalu tekan pengeluaran supaya jangan lebih besar dari pendapatan. Sedangkan perihal kenaikan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik adalah hal-hal yang di luar kemampuan kita jangan menjadi focus kita untuk coba diselesaikan. Jangan pernah terlalu stress dengan hal-hal yang berada di luar kemampuan kita, karena hal itu sudah diluar kemampuan. Mari berfokus untuk menyelesaikan hal-hal yang berada di dalam area kontrol.

Cara lain mengelola stress adalah dengan cara mengelola respon kita, kita mau stress atau tidak sangat tegantung pada respon kita. Bila kita berespon positif, misalnya kita bersikap tenang maka kita akan bisa lebih konsentrasi menghadapi masalah kita. Hadapi masalah dengan ‘humor' atau berdasarkan takwa kita pada Tuhan maka kita akan mendapatkan ketenangan. Hadapi masalah dengan kesabaran dan ucapan syukur atas apa yang terjadi maka kita sedang membangun optimis dalam diri bahwa kita BISA.

The Power of ADAPTABILITY (Kemampuan Adaptif)

Perubahan adalah satu-satunya hal yang tidak pernah berubah (Family DISCovery)

Kita tahu bahwa Dinosaurus telah punah karena ketidakmampuannya untuk beradaptasi, banyak bisnis yang tutup atau bangkrut karena ketidak inginannya untuk berubah. Jadi jelas bagi siapa yang ingin survive dalam menghadapi tantangan di masa depan adalah siap untuk berubah. Untuk bisa berubah dengan berhasil adalah dengan berubah SEKARANG!

7 Cara beradaptasi:
1. Membuat perencanaan sebelum bertindak
2. Menangguhkan keinginan sementara waktu
3. Pertajam Intuisi
4. Berani mencoba
5. Bertahan walau tidak suka
6. Temukan Hikmah Kehidupan atas setiap kejadian
7. Bersyukur pada Tuhan dalam segala keadaan

---
Mengasah Meraih Sukses


Tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik (Amsal 19:2)

John, seorang penebang kayu telah lima tahun bekerja pada sebuah perusahaan kayu besar di daerahnya namun tidak pernah mendapatkan kenaikan upah. Perusahaan yang sama juga mempekerjakan Bill dan hanya dalam waktu setahun Bill telah memperoleh kenaikan upah. Hal ini menimbulkan rasa kesal dalam diri John.

John kemudian memutuskan untuk menghadap pimpinan perusahaan dan membicarakan masalah ini. Betapa kagetnya John ketika pimpinannya memberikan penjelasan mengapa gaji John masih sama seperti dulu. "Anda masih memotong kayu dalam jumlah yang sama seperti lima tahun yang lalu. Kami adalah perusahaan yang berorientasi pada hasil dan akan sangat senang menaikkan upah Anda jika Anda dapat meningkatkan produktivitas Anda." John hanya bisa terdiam dan mengiyakan semua ucapan pimpinannya itu dalam hatinya.

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, John membuat komitmen untuk bekerja lebih rajin. Keesokan harinya, ia berangkat lebih awal dan bekerja dengan lebih giat. Namun hasilnya tetap sama alias jumlah pohon yang ditebang tidak juga meningkat. John kemudian kembali ke pimpinannya untuk menceritakan kesulitannya. Pimpinan John lantas meminta John untuk bicara langsung dengan Bill. "Mungkin Bill punya rahasia atau kiat yang Anda dan saya tidak mengetahuinya," jelas si pimpinan.

Dengan agak segan, John melangkahkan kaki menuju rumah Bill. Di luar dugaan, Bill menyambut John dengan sikap yang bersahabat. "Bill, apakah saya boleh mengetahui apa yang membuat Anda bisa menebang pohon dalam jumlah yang lebih banyak daripada saya?" tanya John. Sambil tersenyum, Bill menjawab : "Oh itu soal mudah. Setiap kali usai menebang pohon, saya beristirahat dua menit dan mengasah kapak saya. Kalau boleh saya tahu, kapan terakhir kali Pak John mengasah kapak anda?" Bagai peluru yang ditembakkan, pertanyaan Bill sungguh menghujam hati John. Ia pun sadar kalau ia tidak pernah meluangkan waktu untuk mengasah kapaknya sehingga kapaknya semakin hari semakin tumpul.

Kapak dalam cerita di atas bisa kita artikan sebagai pikiran kita. Terlalu sering kita bekerja keras tanpa pernah punya waktu untuk melakukan evaluasi atas pekerjaan kita dan mempelajari pengetahuan, ketrampilan atau teknik-teknik baru untuk memperbaiki kinerja kita. Terlalu sering kita terlalu bangga atas prestasi masa lalu kita sehingga kita menjadi lupa diri dan enggan untuk terus belajar. Tanpa disadari terkadang kejayaan masa lalu membuat kita sombong dan menutup mata atas perubahan yang sedang terjadi.

Belajar adalah sebuah proses tanpa henti bagi siapa pun yang ingin sukses. Ketika seseorang mulai kehilangan hasrat untuk belajar maka ia mulai menutup pintu untuk perkembangan dirinya di masa mendatang. Itulah sebabnya kita bisa menyaksikan betapa banyak orang yang sukses beberapa tahun lalu kini namanya betul-betul telah tenggelam.

Barangkali sudah saatnya kita berguru kepada Charlie Chaplin, seorang aktor kawakan di era 1910-1920-an. Chaplin dikenal sebagai orang yang tidak hanya memiliki talenta besar namun juga mempunyai dorongan yang luar biasa untuk terus memperbaiki diri. Ia senantiasa berupaya untuk tumbuh, belajar dan menyempurnakan aktingnya. Ia tidak hanya mampu bekerja keras (work hard) tapi juga bekerja cerdas (work smart).

Jika saya sedang menonton salah satu film saya yang ditayangkan, saya selalu memperhatikan apa yang membuat penonton tertawa. Sekiranya ada beberapa adegan yang menurut saya lucu namun mereka tidak tertawa, saya langsung merobek-robek adegan tersebut dan berusaha menemukan apa yang keliru dengan gagasannya atau dalam pelaksanaannya. Jika saya mendengar tawa padahal adegan tersebut tidak saya maksudkan untuk melucu, saya akan bertanya kepada diri sendiri, mengapa orang lain tertawa saat menyaksikannya, jelas Chaplin.

Jelaslah sudah bagi siapa pun yang ingin mengembangkan potensinya untuk selalu meluangkan waktu untuk belajar dan bertumbuh. Dalam proses belajar itu, kita akan menemukan apa saja kekeliruan yang telah kita buat sehingga kita bisa memperbaikinya di kemudian hari. Sudahkah kita belajar hari ini? ***

Artikel ini dikutip dari buku Melangkah Maju di Masa Sulit (Stand Strong) karya Paulus Winarto, Penerbit Andi 2005.

Paulus Winarto adalah pemegang 2 Rekor Indonesia dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yakni sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya diluncurkan di angkasa. Sejumlah bukunya masuk dalam kategori best seller nasional (First Step to be An Entrepreneur, Reach Your Maximum Potential dan The Leadership Wisdom). Paulus Winarto dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id


---
Kaya Sudah Di Tangan Anda


Percayakah Anda bahwa kekayaan apapun yang Anda inginkan sudah ada di tangan Anda? Jika Anda tidak percaya, Anda bisa membuka Amsal 3:16, "Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kiri kekayaan dan kehormatan."

Dalam seminar Way to Wealth Road to Riches, Sabtu (24/11) lalu, bapak Juhono S. Sudirgo (Direktur Corporate Finance sebuah perusahaan sekuritas) membagikan kebenaran tentang prinsip menuju kekayaan sejati ini. Setiap orang sudah Tuhan perlengkapi dengan segala yang dia butuhkan untuk sukses. Namun sukses bukanlah seperti sulap, yang didapat secara instan. Sukses adalah sebuah perjalanan dan harus melalui proses.

Proses itu dimulai dengan mengetahui secara jelas di mana Anda berada saat ini, dan ke mana Anda akan pergi. Mengetahui ‘Anda berada di mana' dapat dilakukan dengan evaluasi dan kejujuran untuk melihat keberadaan diri kita. Sedangkan ‘kemana Anda akan pergi' berbicara tentang goal setting Anda. Buatlah gol Anda dengan prinsip SMART:

Specific : Spesifik

Measurable : Dapat diukur

Achievable : Dapat dicapai

Realistic : Realistis

Time-Scale : Memiliki batas waktu/ target waktu

Dalam mencapai goal setting Anda, ada hal penting yang perlu disadari bahwa perjalanan menuju kesuksesan dan kekayaan sejati ini ibarat perlombaan. Namun peserta perlombaan ini adalah diri Anda sendiri. Siapa penyelenggaranya? Diri Anda. Anda yang punya keinginan dan kemauan. Siapa yang membuat peraturan? Diri Anda sendiri. Anda dapat menentukan sendiri batasan-batasannya. Anda dapat menentukan sendiri garis Finish atau ukuran keberhasilan Anda. Apa hadiahnya jika Anda mencapainya? Anda tentukan sendiri. Jadi dalam perlombaan ini, saingan Anda bukanlah rekan Anda atau tetangga Anda yang lebih berhasil, tetapi diri Anda sendiri. Anda tidak perlu iri hati jika rekan Anda memiliki mobil baru, Anda bisa turut berbahagia atas keberhasilannya.

Selain itu ada sebuah tips praktis untuk melakukan pengeluaran terencana sehingga bisa lebih berhemat. Tips itu di singkat menjadi RUMAH KRISTUS, yang dijabarkan sebagai berikut:

R u m a h

U t i l i t a s (PLN,Telp,Air)

M a k a n a n

A n a k (Sekolah, kursus)

H i b u r a n

K e s e h a t a n

R u p a - r u p a

I n v e s t a s i

S a n d a n g

T r a n s p o r t a s i

U t a n g (Angsuran)

S o s i a l

Setelah kita bisa mendeskripsikan dimanakah kebocoran keuangan kita melalui Rumah Kristus tersebut, ambil tindakan untuk mulai mengurangi hal-hal yang tidak terlalu penting. Nah, akhirnya Anda bisa melakukan penghematan. Sebuah langkah yang luar biasa bukan? Jika Anda sudah mulai berhemat, berarti Anda dapat menyisakan untuk mulai menabung. Dan pelan-pelan namun pasti, Anda dapat mulai merancangkan untuk investasi di saat tabungan Anda sudah mencukupi.

Saat Anda berlomba untuk mencapai kekayaan sejati, pastikan bahwa diri Anda tidak dibebani oleh apapun sehingga Anda bisa berlari dengan cepat. Hal apa saja yang bisa menghalangi dan menjadi beban dalam hidup kita? Bapak Sujono menyebutnya "13 Gejala Keterikatan Finansial", yaitu :

1. Tagihan lewat waktu/hutang.
2. Kekhawatiran investasi.
3. Sikap ingin cepat kaya.
4. Keserakahan/tidak pernah cukup.
5. Tidak jujur dalam bekerja.
6. Tidak ingin kerja keras/malas
7. Ingin milik orang lain/iri hati.
8. Kebutuhan keluarga diabaikan.
9. Komitmen berlebihan terhadap pekerjaan/workaholic.
10. Kebutuhan tubuh Kristus tidak dipenuhi.
11. Keunggulan keuangan, ingin dihormati.
12. Kekecewaan keuangan, putus asa, merasa Allah tidak memenuhi keinginannya.
13. Jadi penanggung hutang.

Keterikatan finansial ini bisa terjadi karena sikap boros (Ams 21:17;28:19), kemalasan/kekurangan (Amsal 6:9,11), atau terlalu mengandalkan kekayaannya (Ayub 31:24-28). Untuk itu ada dua hal yang perlu diingat dalam pencapaian kekayaan sejati. Pertama, kekayaan bukanlah hanya tentang menghasilkan uang, tetapi bagaimana diri Anda bisa membangun orang lain saat menghasilkan uang tersebut. Dan kedua, tujuan kekayaan bukanlah untuk ditimbun, tetapi disalurkan. Jika Anda memiliki kelebihan, berarti ada orang lain yang perlu dicukupkan dengan kelebihan yang Anda miliki. Ingat, bahwa Tuhanlah pemilik segala sesuatunya, kita ini hanyalah pengelolanya. Praktekkanlah, maka kaya sudah ada di tangan Anda.

Juhono S. Sudirgo - Seorang Sarjana Teknik Sipil lulusan ITS Surabaya tahun 1989, selama 14 tahun berkecimpung dalam dunia perbankan. Empat tahun terakhir menjabat Direktur Corporate Finance sebuah Perusahaan Sekuritas di Jakarta.

Bidang pelayanan saat ini menjadi Pengawas Area Abbalove Serpong, Koordinator SPK dan Koordinator Komsel. Melengkapi pelayanan di bidang edukasi, menjadi salah satu penulis buku "Faith In Action" terbitan Andi Offset tahun 2006 dan pembicara / trainer seminar keuangan.

United States taxes

Most of the basic rules governing how loans are handled for tax purposes in the United States are uncodified by both Congress (the Internal Revenue Code) and the Treasury Department (Treasury Regulations — another set of rules that interpret the Internal Revenue Code).[2] Yet such rules are universally accepted.[3]

1. A loan is not gross income to the borrower.[4] Since the borrower has the obligation to repay the loan, the borrower has no accession to wealth.[5]

2. The lender may not deduct the amount of the loan.[6] The rationale here is that one asset (the cash) has been converted into a different asset (a promise of repayment).[7] Deductions are not typically available when an outlay serves to create a new or different asset.[8]

3. The amount paid to satisfy the loan obligation is not deductible by the borrower.[9]

4. Repayment of the loan is not gross income to the lender.[10] In effect, the promise of repayment is converted back to cash, with no accession to wealth by the lender.[11]

5. Interest paid to the lender is included in the lender’s gross income.[12] Interest paid represents compensation for the use of the lender’s money or property and thus represents profit or an accession to wealth to the lender.[13] Interest income can be attributed to lenders even if the lender doesn’t charge a minimum amount of interest.[14]

6. Interest paid to the lender may be deductible by the borrower.[15] In general, interest paid in connection with the borrower’s business activity is deductible, while interest paid on personal loans are not deductible.[16] The major exception here is interest paid on a home mortgage.[17]

--


--

A loan is a type of debt. This article focuses exclusively on monetary loans, although, in practice, any material object might be lent. Like all debt instruments, a loan entails the redistribution of financial assets over time, between the lender and the borrower.

The borrower initially does receive an amount of money from the lender, which he has to pay back, usually but not always in regular installments, to the lender. This service is generally provided at a cost, referred to as interest on the debt. A loan is of the annuity type if the amount paid periodically (for paying off and interest together) is fixed.

A borrower may be subject to certain restrictions known as loan covenants under the terms of the loan.

Acting as a provider of loans is one of the principal tasks for financial institutions. For other institutions, issuing of debt contracts such as bonds is a typical source of funding.

Legally, a loan is a contractual promise between two parties where one party, the creditor, agrees to provide a sum of money to a debtor, who promises to return the money to the creditor either in one lump sum or in parts over a fixed period in time. This agreement may include providing additional payments of rental charges on the funds advanced to the debtor for the time the funds are in the hands of the debtor (interest).

--

A secured loan is a loan in which the borrower pledges some asset (e.g. a car or property) as collateral for the loan.

A mortgage loan is a very common type of debt instrument, used by many individuals to purchase housing. In this arrangement, the money is used to purchase the property. The financial institution, however, is given security — a lien on the title to the house — until the mortgage is paid off in full. If the borrower defaults on the loan, the bank would have the legal right to repossess the house and sell it, to recover sums owing to it.

In some instances, a loan taken out to purchase a new or used car may be secured by the car, in much the same way as a mortgage is secured by housing. The duration of the loan period is considerably shorter — often corresponding to the useful life of the car. There are two types of auto loans, direct and indirect. A direct auto loan is where a bank gives the loan directly to a consumer. An indirect auto loan is where a car dealership acts as an intermediary between the bank or financial institution and the consumer.

A type of loan especially used in limited partnership agreements is the recourse note.

A stock hedge loan is a special type of securities lending whereby the stock of a borrower is hedged by the lender against loss, using options or other hedging strategies to reduce lender risk.[citation needed]

A pre-settlement loan is a non-recourse debt, this is when a monetary loan is given based on the merit and awardable amount in a lawsuit case. Only certain types of lawsuit cases are eligible for a pre-settlement loan.[citation needed] This is considered a secured non-recourse debt due to the fact if the case reaches a verdict in favor of the defendant the loan is forgiven.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar