Kamis, 16 April 2009

Hope will Keep Us Alive


Hope will Keep Us Alive (Bag.2)

Setelah pada artikel sebelumnya dibahas mengenai bagaimana harapan itu menjadi kekuatan di dalam kehidupan, saat ini akan dibahas mengenai mewujudkan harapan.

MEWUJUDKAN HARAPAN

Lantas, timbul pertanyaan bagaimana cara kita mewujudkan harapan dalam hidup kita sehari-hari? Perkenankanlah saya membagikan beberapa poin penting sebagai bahan perenungan buat kita semua.

• Harapan sejati datang dari sikap berserah kepada Tuhan.

Kitab Suci mengingatkan kita akan pentingnya sikap mengandalkan Tuhan, "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asing yang tidak berpenduduk. Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah."

Saya banyak mengamati orang-orang yang dalam hidup ini yang mengaku beriman namun pada kenyataan lebih bersifat memaksa Tuhan. Jika ia menginginkan sesuatu, ia terus memaksakan diri agar hal tersebut bisa diraihnya, meski di sisi lain ia terkadang mengorbankan hal tertentu. Misalnya, seorang ayah yang merintis karir dengan penuh ambisi dan menghalalkan segala cara. Dalam waktu singkat karirnya begitu cemerlang namun ia begitu dibenci banyak orang di kantornya dan kehilangan keharmonisan dengan istri dan anaknya lantaran jarang berada di rumah. Tidak heran jika seorang teman pernah memberikan saya sebuah rumus sederhana namun penuh makna, yaitu:

Ambisi + Kompetensi - Nilai (Spiritual) = Kehancuran.

Ada juga orang yang begitu mengagung-agungkan kekuatan pikiran (brain power) sehingga pikiran dianggap seperti Tuhan alias menuhankan pikiran. Saya pernah berdiskusi dengan seorang pakar brain power dan bertanya kepadanya apakah dengan kekuatan pikiran ia bisa merancang anak keempatnya laki-laki mengingat ketiga anaknya perempuan. Dengan penuh kerendahan hati ia menjawab, "Tentu tidak bisa, Pak! Kita harus tahu bahwa kekuatan pikiran itu ada batasnya dan kita harus sadar ada faktor X, yaitu Tuhan."

Dalam sebuah seminar, saya pernah memperlihatkan kepada para peserta foto anak saya ketika koma di ICU dengan kabel-kabel di sekujur tubuhnya. Saya kemudian bertanya, "Apakah dalam keadaan seperti ini, Anda masih bisa mengandalkan kekuatan pikiran dan melakukan berbagai afirmasi?"

Guru spiritual, Y.Sutiman berkata, "Iman artinya menyerahkan segalanya kepada kehendak Tuhan dan tidak memaksa. Dengan menyerahkan segalanya kepada kehendak Tuhan, seseorang akan merasakan damai sejahtera. Sebaliknya, jika ia memaksa, hatinya tidak akan pernah tenang."

Sepasang suami istri yang telah empat tahun menikah dan belum dikaruniai anak serta sang istri yang telah divonis mandul memberikan kesaksian, "Kami tetap berharap bisa memiliki anak namun kami tidak mau memaksa Tuhan. Diberikan kami bersyukur. Tidak diberikan, kami tetap bersyukur." Siapa yang menyangka di usia pernikahan yang kelima sang istri hamil.

Disadari atau tidak, semua yang kita miliki dalam hidup ini (harta benda, materi, istri, anak bahkan baju yang sedang kita pakai saat ini) adalah titipan yang tidak akan kita bawa ketika kita berpulang. Jika kita belum mendapatkan titipan tersebut hendaklah kita tidak kecil hati. Sebaliknya, bersyukurlah atas berbagai titipan lainnya yang telah kita terima.

Secara pribadi, saya meyakini bahwa Tuhan akan selalu menjawab doa umat-Nya. Hanya Ia menjawab dengan caranya yang terkadang tidak bisa kita pahami. Terkadang, Ia menjawab "Ya" dan memberikan apa yang kita minta. Terkadang, Ia menjawab "Tidak" dan Ia akan memberikan yang terbaik menurut-Nya. Mungkinkah seorang ibu yang penuh kasih sayang memberikan buaya dua meter kepada anaknya yang merengek-rengek memintanya setelah anak tersebut menyaksikan di TV betapa asyiknya ketika seorang pawang bermain-main dengan buaya liar? Jika manusia saja bisa berbuat seperti itu karena kasihnya, apalah Dia, Sang Maha Pengasih?

Sayangnya, terkadang kita kurang peka akan sinyal-sinyal Ilahi yang berkata "Tidak" lalu mencoba mewujudkan semuanya itu dengan cara kita sendiri. Alhasil, hati kita menjadi tidak tenang meski impian tersebut telah kita raih, bahkan bisa jadi kita kehilangan kebahagiaan dalam hidup ini. Sungguh ironis!

Terkadang, Tuhan akan menjawab doa kita dengan kata "Tunggu." Inilah sering sekali saya alami dan saya tahu kalau Ia berkata "Tunggu", Ia akan membuat semuanya indah pada waktunya.

• Harapan sifatnya bisa naik - turun.

Ibarat gelombang laut yang ada pasang - surut, begitu juga harapan dalam hidup manusia. Bagaimana mempertahankan atau meningkatkan harapan dalam hidup? Ada beberapa hal sederhana yang sebetulnya bisa kita lakukan. Misalnya, bergaullah dengan orang-orang yang berpengharapan. Seorang teman yang aktif di sebuah bisnis jaringan berkata, "Saya menyukai bisnis ini karena saya selalu bisa berkumpul dan berada di tengah-tengah orang yang penuh semangat dan positif. Mereka tidak mudah mengeluh dan tidak mudah menyerah sekalipun keadaan sedang memburuk."

Disadari atau tidak, orang-orang di sekitar kita dapat menjadi faktor plus (+), faktor minus (-), faktor pembagi (:) atau faktor pengali (x). Faktor plus artinya mereka memberikan nilai tambah bagi hidup kita sehingga hidup kita semakin baik. Faktor minus artinya mereka mengurangi sesuatu dalam hidup kita (bisa jadi kebahagiaan kita atau apa pun yang kita miliki). Faktor pembagi artinya mereka bisa membagi atau menghancurkan kita, atau setidaknya membuat kita tidak fokus dalam memperjuangkan masa depan (perhatian kita terbagi-bagi alias terpecah-pecah karena ulah mereka). Sedangkan faktor pengali artinya mereka bisa membuat kita melejit secara cepat atau memuluskan langkah kita dalam meraih sesuatu.

Oleh sebab itu, kita harus selektif dalam memilih teman-teman dekat kita. Kasihilah semua orang namun kita tidak perlu akrab dengan semua orang. Kitab Suci mengingatkan kita akan hal ini, "Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Tuhan. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatan-Nya. Jauhilah mereka itu!"

Selain bergaul dengan orang yang berpengharapan, kita juga perlu memasukkan ke dalam pikiran dan hati kita, hal-hal yang berpengharapan, seperti rajin berdoa dan membaca Kitab Suci juga membaca buku-buku positif lainnya. Sebaliknya, kurangilah secara radikal hal-hal yang negatif, termasuk berita-berita yang negatif (terutama berita yang sifatnya gosip alias mencari kejelekan orang lain). Waspadailah tontonan kita!

• Lakukan bagian kita dan berserah penuh pada Tuhan.

Dalam buku Reach Your Maximum Potential, saya menulis agar sesuatu terjadi, ada bagian yang harus kita lakukan dan ada bagian yang tidak bisa (dan tidak harus kita lakukan) karena hanya Tuhanlah yang bisa melakukannya. Ada faktor manusia (human factor) dan ada faktor Tuhan (God factor). Keduanya harus bekerja sama. "Without God, we can not," itu namanya human factor. Sedangkan God factor berbunyi, "Without us, God will not."

Terkadang kita belum berusaha secara maksimal dan langsung putus asa. Masih ingatkah kita semboyan bahwa pahlawan berjuang sampai titik darah penghabisan? Tentu perjuangan itu tidak mudah sebab diperlukan banyak sekali pengorbanan. Ingatlah, jalan menuju puncak selalu menanjak! Mereka yang berhasil mencapai puncak sangatlah sedikit dan mereka adalah orang-orang yang terus berjalan sementara yang lain sama sekali tidak bersedia mendaki (dan tetap berada di dasar gunung), sebagian lagi memulai pendakian dan berhenti di tengah jalan. Ada juga yang memutuskan untuk turun dengan berbagai alasan.

Tampaknya syair lagu Ku Tak Akan Menyerah yang dinyanyikan Jeffry S. Tjandra akan membuat kita lebih sadar mengenai hal ini, "Dalam segala perkara, Tuhan punya rencana yang lebih besar dari semua yang terpikirkan. Apa pun yang Kau perbuat tak ada maksud jahat. Sebab itu kulakukan semua dengan-Mu, Tuhan... Ku tak akan menyerah pada apa pun juga sebelum kucoba semua yang kubisa tetapi kuberserah kepada kehendak-Mu. Hatiku percaya Tuhan punya rencana."

Seorang sahabat pernah berkata kepada saya, "Ketika saya memulai sebuah karya, saya telah memiliki gambaran mengenai hasil akhir yang ingin saya raih. Kemudian, saya melangkah dan menjalani satu per satu proses yang ada dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Semakin hari saya akan semakin mendekati hasil akhir dan perjalanan saya akan terasa lebih ringan ketika saya mempersembahkan seluruhnya demi kemuliaan nama Tuhan. Saya tidak terlalu peduli apakah saya akan mendapat pujian atau terkenal karena karya tersebut sebab saya tahu semuanya itu adalah karya Tuhan melalui hidup saya..."

Bagaimana dengan kita saat ini?


---
Hope Will Keep Us Alive (Bag. 1)

Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan...

•- Buku Kehidupan

Kemungkinan operasi jantung ini berhasil hanya 2 persen, begitu kata seorang bapak dalam sebuah percakapan telepon. Secara tidak sengaja saya mendengar kalimat bernada penuh kesedihan bercampur kekhawatiran itu ketika saya sedang berada di ruang tunggu ICU Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Saat itu saya sedang menunggu anak pertama kami (Priscilla Natali Winarto) yang baru saja menjalani operasi jantung.

Teringat pengalaman kami beberapa hari sebelum operasi, ketika sang dokter berkata, "Operasi jantung yang akan dijalani anak bapak sebenarnya termasuk operasi jantung paling ringan namun sayangnya anak bapak terlalu kecil untuk dioperasi." Maklum, anak kami akan menjalani operasi saat usianya baru 41 hari dengan berat badan hanya 2,1 kilogram. Ia terlahir prematur (34 minggu) dengan berat hanya 1,6 kilogram.

Ya, beberapa hari setelah kelahiran, Priscilla didiagnosa menderita kelainan saluran pembuluh darah di dekat jantungnya. Dalam dunia medis, penyakit ini dikenal dengan istilah persistent ductus arteriousus (PDA). Saluran tersebut seharusnya menutup secara otomatis ketika bayi lahir ke dunia ini, maksimal dalam waktu dua kali dua puluh empat jam. Lihat betapa besar keagungan Tuhan! Bukankah kita nyaris tidak pernah tahu kalau saluran itu ada, apalagi mendoakan agar saluran itu tertutup? Ketika berada di dalam kandungan ibu saluran itu memang terbuka karena berfungsi untuk mengalirkan makanan dan oksigen dari ibu kepada sang janin. Sebagai catatan penting, untuk menutup saluran itu diperlukan biaya puluhan juta rupiah.

Ketika saya tanyakan kepada dokter berapa persen tingkat keberhasilan operasi anak kami, ia menjawab, "Sekitar 90! Namun ada kemungkinan lain yakni kalau tubuhnya tidak tahan terhadap bius, ia akan terus koma atau organ dalam tubuhnya yang masih begitu kecil mengalami infeksi setelah operasi."

Saat itu kami pun mengalami kegelisahan luar biasa. Sudah tidak terhitung berapa banyak air mata yang tumpah dan berapa banyak doa yang selalu kami panjatkan. Dengan penuh kasih dan harapan, saya memandangi wajah istri saya sembari berkata, "Dalam nama Tuhan saya akan menandatangani surat persetujuan operasi ini." Istri saya mengangguk perlahan sebagai tanda ia setuju.

Pengalaman kami dan bapak seperti yang saya sebutkan di awal cerita ini adalah sebuah pengalaman tentang pentingnya harapan dalam hidup. Mentor saya, Dr. John C. Maxwell berujar, "Where there is no hope in the future, there is no power in the present." Ya, jika tidak ada harapan akan hari esok yang lebih baik, tentu tidak akan ada kekuatan untuk hari ini.

Saya pernah membaca sebuah penelitian yang mengatakan seseorang dapat bertahan hidup selama empat puluh hari tanpa makan, empat hari tanpa minum, empat menit tanpa oksigen namun hanya empat detik tanpa harapan. Begitu orang kehilangan harapan, ia cenderung berpikir segalanya telah berakhir sehingga ia pun memutuskan untuk bunuh diri. Angka empat detik barangkali diambil dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk meloncat dari sebuah gedung tinggi hingga sampai ke tanah.

Harapanlah yang membuat orang berani mengambil risiko dan melangkah maju menuju hari esok yang lebih baik. "Jika dokter berani memutuskan untuk melakukan operasi itu berarti mereka masih memiliki harapan," kata seorang sahabat. Saya yakin itu benar, seberapa kecil kemungkinan operasi itu berhasil toh harapan tetap ada.

Puji Tuhan, operasi anak kami berhasil dan saat artikel ini ditulis, ia telah berusia dua tahun empat bulan. Ia tumbuh menjadi anak yang manis, lincah, aktif, ramah dan mau diajar. Anda bisa membaca kesaksian mengenai Priscilla secara lebih utuh dalam buku saya yang berjudul The Power of Hope (Elex Media Komputindo, 2007).

Pengalaman mengajarkan kami betapa pentingnya harapan dalam keseharian hidup manusia. Saat artikel ini saya susun, anak kedua kami (Timothy Stanley Winarto) yang baru berusia 11 hari sedang dirawat di rumah sakit karena kuning (hiperbilirubin). Sudah empat hari ia disinar di ruang perawatan bayi RS Borromeus, Bandung. Sebelum diopname di rumah sakit, Timothy sebenarnya sudah sempat pulang ke rumah selama dua hari namun keadaan berkata lain, ia harus kembali ke rumah sakit. Siang tadi, saat kami menjenguk, keadaannya sudah jauh membaik. Kemungkinan dalam beberapa hari ke depan, ia sudah boleh berkumpul kembali bersama kami di rumah.

Ayah kandung saya pun saat ini sedang dalam tahap pengobatan yang intensif lantaran berbagai macam penyakit, seperti pembengkakan jantung, penyempitan pembuluh darah otak, kolesterol tinggi, hipertensi dan batu empedu.

Hidup memang selalu naik-turun. Kadang di atas, kadang di bawah. Ketika sedang di atas, jangan pernah mabuk dan lupa diri. Namun ketika sedang di bawah, jangan pernah putus harapan. Harapan bagi saya, ibarat bahan bakar sebuah kendaraan bermotor. Sebagus apa pun kendaraan itu, jika ia tidak memiliki bahan bakar atau kehabisan bahan bakar tentu ia tidak akan dapat berfungsi, apalagi melaju dengan kecepatan tinggi. Martin Luther King pernah berkata, "When you lose hope you die!"

Seorang teman pernah bertanya kepada saya, apakah ada perbedaan antara orang yang optimis dan orang yang punya harapan? Saya ingin mengutip pernyataan Jonathan Sacks untuk menjawab pertanyaan ini, "Optimism is the belief that things will get better. Hope if the faith that, together, we can make things better. Optimism is a passive virtue; hope, an active one. It takes no courage to be optimist, but it takes a great deal of courage to have hope."

Dari pernyataan tersebut, kita bisa melihat bahwa ada perbedaan besar antara orang yang optimis yang orang yang berpengharapan. Orang yang berpengharapan memiliki keberanian untuk bertindak. Ia tidak menunggu keadaan membaik namun ia mau melakukan sesuatu agar keadaan membaik.

Artikel berikutnya akan berbicara mengenai mewujudkan harapan......(bersambung)


---
Karir, Bisnis Atau Keluarga?

Sama sekali tidak ada penyesalan di hati saya, kata seorang mantan wanita karir kepada saya saat saya menanyakan apakah ada penyesalan setelah ia meninggalkan pekerjaannya demi mengasuh anaknya yang baru berusia lima bulan. Ketika saya tanyakan lebih lanjut, apa motivasi utama sehingga ia dengan tekad bulat mengucapkan selamat tinggal kepada karir yang telah dirintisnya sejak bertahun-tahun silam, dengan santai ia berujar, "Sekarang peran saya sudah berubah. Jadi buat apa disesali? Daripada saya di kantor tapi pikiran saya masih di rumah."

Mirip dengan kisah di atas, baru-baru ini seorang wanita karir dan suaminya mendatangi saya lalu kami berdiskusi panjang-lebar mengenai apakah sang istri harus rela melepaskan karirnya demi membantu sang suami mengembangkan bisnisnya. Setelah diskusi panjang-lebar, kami mengambil kesimpulan bahwa kehadiran sang istri di perusahaan sang suami memiliki beberapa manfaat sangat positif. Mulai dari menjaga keharmonisan keluarga (karena tidak lagi terpisah jarak), menaikkan semangat kerja sang suami hingga memungkinkan sang suami untuk lebih berkonsentrasi pada segi pemasaran. Artinya, sang istri dengan latar belakang pekerjaan selama ini akan lebih mudah mengurusi segala hal yang berhubungan dengan keuangan dan administrasi sementara sang suami bisa lebih fokus untuk menawarkan produknya kepada calon konsumen. "Sejauh ini saya memang sudah memiliki asisten di kantor, namun kurang maksimal. Saya yakin kalau istri saya ikut terlibat tentu hasilnya akan jauh lebih baik," ujar sang suami.

Artikel ini saya tulis bukan dengan tendensi mengatakan wanita tidak boleh berkarir atau berbisnis. Sama sekali tidak! Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk sejenak merenungkan kembali prioritas dalam hidup kita. Benar kata orang bijak, kalau hidup ini memang penuh dengan pilihan. Dan setiap pilihan mengandung konsekuensi tersendiri, entah kita sadari atau tidak.

Ada kisah mengenai sepasang ayah ibu yang begitu giatnya bekerja. Hampir saban hari, mereka berangkat kerja pagi-pagi ketika putri tunggalnya yang masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar sedang tidur. Alhasil, mereka hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar bersantap pagi dengan sang putri tercinta. Dan biasanya, mereka baru tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam, saat sang putri sudah mulai terlelap dalam tidurnya.

Pada suatu pagi di hari minggu, sang ibu melihat gambar hasil karya anaknya itu. Dalam gambar tersebut ada gambar rumah mereka dan gambar sang putri yang sedang bermain bersama sang pembantu. Tidak ada gambar dirinya serta sang suami. Ibu bertanya kepada sang putri, "Mengapa dalam gambar tersebut tidak ada ayah dan ibu?" Dengan wajah tidak berdosa, sang putri langsung menjawab, "Habis, ayah dan ibu ngga pernah ada di rumah, sih."

Ada fenomena lucu sekaligus menyedihkan. Sering kali saya melihat orang kaya yang begitu memanjakan anak mereka dengan berbagai fasilitas dan uang. Padahal yang paling dibutuhkan oleh anak-anak mereka adalah kehadiran mereka. Kehadiran sebagai wujud kasih seringkali menjadi "obat" paling mujarab bagi jiwa mereka sekaligus benteng perlindungan saat mereka beranjak remaja. Sayangnya, ketika kasih tersebut tidak mereka dapatkan, mereka cenderung mencarinya di tempat lain yang bisa jadi akan berakibat fatal, seperti terjerumus dalam kenakalan remaja, narkoba, dsb. Ketika hal tersebut terjadi, maka tampak nyatalah kalau materi, uang, fasilitas dsb tidak ada artinya lagi. Lalu, mereka mencoba kembali merajut benang kasih yang selama ini telah menjadi begitu kusut karena tidak diperhatikan. Kasihan sekali!

Saya kaget sekaligus terheran-heran membaca pernyataan Julian Lennon, anak John Lennon, pentolan grup musik The Beatles. Sebagai anak, Julian merasa disia-siakan oleh sang ayah sejak ia berusia lima tahun. Ketika Julian berusia tiga puluh lima tahun, dalam sebuah wawancara ia memberikan komentar mengenai ayahnya, "Saya kira dia munafik. Ayah dapat berbicara mengenai damai dan kasih kepada dunia, tetapi dia tidak pernah menunjukkan hal itu kepada istri dan anaknya. Bagaimana Anda dapat berbicara mengenai damai dan kasih sementara di sisi lain keluarga Anda terpecah-belah? Tidak ada komunikasi dengan keluarga. Yang ada hanyalah perzinahan dan perceraian. Anda tentu tidak mampu melakukannya jika Anda bersikap terbuka dan jujur pada diri Anda sendiri." Sungguh ironis! Di satu sisi John Lennon tampak penuh kasih sayang melalui lagunya yang bertema perdamaian dunia (Imagine) di sisi lain dia mengalami hal yang bertolak belakang dalam keluarganya.

Suatu hari seorang teman mengirimkan saya sebuah e-mail berisi foto lembar jawaban ujian anak kelas satu sekolah dasar (SD). Tampak ada sebuah soal ujian berisi gambar seorang wanita sedang mengasuh seorang anak kecil, lalu ada pertanyaan: gambar di samping menunjukkan kasih sayang seorang... a.Pembantu. b.Ibu. c.Ayah. Percaya atau tidak, anak tersebut memberikan tanda silang pada jawaban a.Pembantu. Barangkali karena selama ini, sang anak hanya merasakan hal tersebut dari pembantu. Dia jujur dan menjawab apa adanya. Menurut saya, orang tua sama sekali tidak berhak memarahinya dalam kasus ini. Justru lembaran jawaban ini seharusnya menjadi refleksi serius bagi kedua orang tuanya.

Di sisi lain, saya banyak menemukan kisah tentang kasih sayang dari orang tua yang kemudian membantu anak berkembang menjadi insan yang mandiri. Salah satunya adalah Patricia Saerang, anggota AMFPA (Association of Mouth and Foot Painting Artists/ asosiasi para pelukis cacat yang melukis dengan kaki atau mulutnya) yang berpusat di Swiss. Dalam salah satu suratnya yang ditulis dengan menggunakan kaki kirinya, ia mengungkapkan betapa besar peranan orang tuanya. "Saya lahir di Manado tahun 1968. Tuhan tidak memberikan tangan dan kaki yang normal tapi Tuhan menganugerahi saya dengan pikiran yang tajam dan kemauan yang kuat untuk bertahan hidup dan menjadi manusia yang produktif. Dan saya beruntung mempunyai orang tua yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan. Karena saya tidak mempunyai tangan, saya belajar menggunakan kaki kiri untuk mengerjakan semua hal, termasuk makan dan menulis."

Pemain basket terkenal dan juga menjadi model iklan, Shaquille O'Neal pernah memberikan komentar mengenai peran orang tuanya. "Perlu banyak usaha untuk membuat saya bersemangat. Dan, tahukah Anda apa yang membuat saya bersemangat? Ketika ibu saya mengatakan bahwa ia mengasihi saya." Wow! Saya jadi teringat syair sebuah lagu, "I am shinning like a candle in the dark when you tell me that you love me."

Ya, bagaimana pun juga kasih adalah motivasi terbaik dalam setiap kehidupan. Kasih seringkali berasal dari rumah namun kebencian pun sering kali berawal dari rumah. Jika di rumah anak sungguh merasa dikasihi, ia akan lebih mudah untuk mengasihi orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah. Sebaliknya jika di rumah anak merasakan kebencian (entah kebencian akibat hubungan yang kurang harmonis antara anak dan orang tua atau antara ayah dan ibu), biasanya anak akan punya kecenderungan membenci orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah. Hurting people hurts people!

Menyadari bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga, saya kemudian berusaha mencari berbagai sumber untuk memperkuat peran saya sebagai suami dan ayah. Saya sangat beruntung karena pada pertengahan Mei 2007 lalu sempat berjumpa dan belajar banyak dari Dr. Tim Elmore, Presiden Growing Leaders (www.growingleaders.com), sebuah organisasi yang berkomitmen untuk mengembangkan kepemimpinan dalam diri para siswa dan pelajar. Tim juga adalah Vice President EQUIP (lembaga non-profit yang didirikan oleh guru kepemimpinan internasional, Dr. John C. Maxwell untuk memberikan pelatihan kepemimpinan di berbagai belahan dunia).

Dalam sebuah kesempatan, Tim memaparkan tentang lima bahasa kasih yang perlu diaplikasikan orang tua kepada anaknya, yaitu: kuantitas dari waktu berkualitas (meluangkan waktu bersama anak), perkataan yang meneguhkan (secara verbal mengungkapkan persetujuan orang tua), perbuatan yang melayani (melakukan sesuatu untuk anak berdasarkan kasih), hadiah yang berwujud (memberikan kepada anak sesuatu yang sangat mereka inginkan) dan sentuhan fisik (menyentuh dan memeluk mereka sebagai sebuah hadiah). Saya pernah menonton sebuah film yang mengungkapkan riset mengenai peranan sentuhan fisik dan riset tersebut membuktikan lima detik sentuhan mengungkapkan lebih banyak kasih dibandingkan lima menit perkataan.

Di bagian lain Tim juga mengajarkan mengenai kesempatan yang dapat dipakai para orang tua untuk mendidik dan menunjukkan kasih sayang kepada anak-anaknya. Tim mendasarkan hal ini pada pernyataan Prophet Moses kepada para orang tua pada jaman itu, "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang Kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."

Jika diperhatikan lebih lanjut sebenarnya ada empat kesempatan berharga yang selalu bisa dimanfaatkan yakni: pada saat makan, bepergian, menjelang tidur dan bangun pagi. Saat makan adalah saat duduk bersama sebagai sebuah keluarga dan pada saat itu orang tua dapat mengajarkan banyak hal karena orang tua dapat berfungsi sebagai seorang guru. Saat bepergian adalah saat orang tua dapat menjadi sahabat bagi anaknya. Suasana menjadi santai dan aman. Saat menjelang tidur biasanya terjadi percakapan paling intim dan orang tua dapat berperan sebagai seorang counselor dengan berbagi aneka kisah. Saat bangun pagi, di tengah kesibukan orang tua mempersiapkan diri untuk berangkat kerja dan anak yang barangkali akan berangkat ke sekolah, orang tua dapat menjalankan perannya sebagai coach dan cheerleader, misalnya dengan menciptakan suasana yang menyenangkan (misalnya bernyanyi hingga melakukan sesuatu yang sifatnya jenaka) atau memberikan motivasi atau mendoakan anak-anak. Jika Anda ingin mempelajari hal ini lebih lanjut, saya sangat menyarankan Anda membaca buku karangan Tim Elmore, Nurturing The Leader Within Your Child.

Diakui atau tidak, pada akhir hidup seseorang, ia biasanya ingin dikenang sebagai ayah dan ibu yang baik, saudara yang baik serta sahabat yang baik. Bukan dikenang sebagai orang hebat, punya karir yang bagus, punya harta berlimpah, dan seterusnya. Apa gunanya seseorang memiliki seluruh dunia namun kehilangan keluarganya? Tampaknya nasihat dari mentor saya Dr. John C. Maxwell patut juga kita renungkan, "Success is those closest to you love and respect you the most." Ya, sukses akan kita dapatkan ketika mereka yang paling dekat dengan kita mengasihi dan menghormati kita lebih daripada yang lain. Tidak ada salahnya jika sejenak kita meluangkan waktu untuk bertanya kepada diri kita sendiri, siapa sajakah orang-orang yang paling mengasihi dan menghormati kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar