Hari-hari ini, serpihan peristiwa demi peristiwa yang melukai azas spiritualitas dan kemuliaan hidup terus bertebaran disana-sini. Padahal dunia kerja di negeri ini – tempat dimana setiap hari jutaan orang merengkuh sejumput nafkah – niscaya akan menjelma arena yang indah kala ruh spiritiualitas bisa memancar di setiap sudutnya.
Dunia kerja di negeri ini mungkin bisa terus melenting menuju kemuliaan kalau saja setiap pelakunya bisa merajut etos spiritualitas dalam sekujur raganya. Dunia kerja di negeri ini mungkin bisa terus mendaki menuju puncak keagungan kalau saja setiap pelakunya basah kuyup dengan siraman ruh spiritualitas yang terus mengalir.
Jadi ketika telah ada niatan untuk membangun dunia kerja yang penuh kemuliaan, lalu apa yang bisa disumbangkan oleh etos spiritualisme? Disini kita mencatat dua jenis kontribusi penting yang bisa disumbangkan bagi kemajuan dunia kerja dan praktek manajemen.
Yang pertama, dimensi spiritualitas memberikan pondasi yang kuat untuk membangun integritas moral yang kokoh bagi para pelaku dunai kerja (karyawan, pegawai negeri, pengusaha, kaum profesional). Itulah profil integritas yang dinaungi oleh misalnya, sikap kejujuran, kesederhanaan, dan sikap yang mengacu pada etika kebenaran serta niatan mulia untuk memanggul amanah (jujur dan dan tidak mau menyelewengkan posisi dan jabatan demi segenggam berlian).
Dimensi yang pertama ini demikian menghujam, sebab tanpa sikap moral yang amanah, bersih dan jujur, bagaimana mungkin kita bisa merajut dunia kerja yang penuh kemuliaan? Tanpa etika moralitas yang kuat, dunia kerja kita niscaya akan selalu terpelanting dalam kenistaan. Tanpa sikap amanah yang sarat dengan keikhlasan, dunia kerja kita akan senantiasa tenggelam dalam duka yang memilukan.
Kontribusi yang kedua berkaitan dengan pengembangan etos kerja yang berorientasi pada kemajuan dan keunggulan kinerja (excellent performance). Dimensi spiritualitas semestinya mampu dijadikan driving force yang kuat untuk menancapkan motivasi dan etos kerja yang selalu mengacu pada prestasi terbaik. Dalam konteks ini mestinya ada kesadaran kuat untuk menjalankan ”teologi kerja (job theology)” : atau sebuah niatan suci untuk selalu menganggap pekerjaan kita sebagai sebuah ibadah dan bentuk pengabdian kita pada Yang Maha Agung.
Ketika kita bekerja dikantor dengan asal-asalan dan menghasilkan kualitas brekele, atau ketika ketika kita mencederai amanah yang telah diberikan, maka mestinya kita menganggap ini semua sebagai sebuah ”dosa” dan kita mesti merasa malu dihadapan Yang Maha Tahu.
Sebaliknya, ketika kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang mulia, atau ketika kita mampu mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan organisasi, maka mestinya ini semua tidak melulu didasari oleh keinginan untuk pamrih, melainkan pertama-tama mesti dilatari oleh niatan suci untuk beribadah. Sebuah niatan yang didorong oleh kehendak untuk mengabdi dan memuliakan Yang Diatas. Dalam konteks inilah, dimensi spiritualitas dapat menjelma sebagai sebuah inner force yang kokoh dan mampu memotivasi kita untuk terus bekerja keras memberikan yang terbaik.
Perjalanan membangun dunia kerja yang profesional dan sarat dengan nilai-nilai kemuliaan adalah sebuah marathon, bukan sprint. Disana dibutuhkan ketekunan, kegigihan dan sikap istiqomah untuk terus menggedor nurani diri kita dengan kesadaran bahwa “hidup ini hanyalah merupakan pengabdian tanpa henti pada Yang Menciptakan Hidup”. Dibutuhkan sejenis ketegaran yang terus melengking : menyuarakan kesadaran untuk terus menancapkan etos spiritualitas dalam dunia kerja kita sehari-hari.
Dua dimensi spiritualitas yang telah kita bahas diatas selayaknya bisa terus mengendap dalam ruang batin kita. Sebab dengan itulah kita bisa bersama-sama merangkai sebuah bangunan dunia kerja yang indah dan mendapat limpahan berkah tanpa henti.
Sebab dengan itu pula, kelak ketika kita diwawanacarai oleh malaikat di ujung pintu surga, kita bisa menceritakan segenap pengalaman kerja kita dengan penuh senyum dan kebahagiaan.
Selamat bekerja, teman. Semoga hari ini pekerjaan Anda mendapat limpahan barokah yang terus mengalir……
--
Melayani ala Hideyoshi
oleh : Arvan Pradiansyah
Managing Director ILM
Melayani adalah ungkapan yang sangat indah sekaligus paling penting di
tempat kerja. Berbagai perusahaan menggunakan kata-kata pelayanan untuk
memikat para pelanggannya.
Sebuah bank terkemuka, misalnya, menuliskan slogannya "Melayani dengan
hati." Seakan ingin melakukan diferensiasi sekaligus menegaskan intensitas
komitmennya yang lebih tinggi sebuah bank terkemuka lainnya menuliskannya
dengan lebih tegas lagi, "Melayani dengan sepenuh hati"
Melayani memang sebuah hukum alam yang terpenting dalam bisnis. Hanya mereka
yang melayanilah yang akan memenangi persaingan. Mereka yang mengabaikan
hukum ini akan tergusur, bahkan tidak punya hak untuk hidup.
Pelayanan memang merupakan sebuah hukum bisnis, sebuah cara Tuhan ikut
campur dalam kehidupan kita dengan cara menyingkirkan siapa yang baik dan
tidak baik, siapa yang profesional dan tidak profesional.
Dalam banyak kesempatan saya sering ditanya bagaimana cara melayani dengan
sepenuh hati ini. Ada sebuah contoh inspiratif yang ingin saya bagikan di
sini mengenai seorang manusia luar biasa yang telah menerapkan prinsip ini
sepanjang hidupnya.
Dia bernama Toyotomi Hideyoshi, seorang pemimpin legendaris Jepang abad
ke-16 yang telah menyatukan Jepang dan mengakhiri era perang saudara. Sampai
hari ini, lebih dari 400 tahun setelah kematiannya, semua anak sekolah di
Jepang mengenal namanya, sementara tak terhitung jumlah biografi, novel,
drama dan film - bahkan video game - menceritakan kembali kisahnya atau
menampilkan karakternya.
Sepenuh hati
Jangan membayangkan bahwa Hideyoshi adalah seorang samurai yang hebat serta
keturunan para bangsawan. Dia sama sekali jauh dari kehidupan semacam itu.
Dia lahir dari keluarga miskin, tinggi badannya 150 cm, berat 50 kg,
bertubuh bungkuk, tidak atletis, tidak berpendidikan, serta berwajah merah
dan keriput sehingga dia dijuluki "Monyet" seumur hidupnya.
Namun, Hideyoshi memiliki kemauan sekeras baja, otak setajam silet, semangat
yang tak kunjung padam, dan wawasan yang mendalam tentang manusia. Inilah
yang membuat dia yang tidak memiliki kemampuan bela diri tersebut berhasil
mengungguli para pesaingnya yang berdarah biru untuk kemudian menjadi
penguasa seluruh Jepang.
Di mana letak rahasianya? Setelah mempelajari sejarah hidupnya dalam *The
Swordless Samurai* yang ditulis *Kitami Masao*, saya berani menyimpulkan
bahwa kunci sukses Hideyoshi dapat disimpulkan dengan satu kalimat kunci:
Melayani Dengan Sepenuh Hati.
Ada banyak hal yang bisa kita teladani darinya, tetapi satu hal terpenting
adalah pengabdian. dia mengatakan, "Orang-orang berdedikasi padaku karena
aku juga mendedikasikan diri kepada mereka." Dedikasi dan pengabdian adalah
kata-kata yang sederhana, bahkan terdengar terlalu sederhana, padahal inilah
kunci terpenting dalam memelihara loyalitas pelanggan.
Ada banyak cerita yang dapat menunjukkan betapa setianya Hideyoshi- yang
memulai kariernya sebagai pembawa sandal-kepada atasannya, Lord Nabunaga,
yang selalu memanggilnya dengan sebutan "Monyet".
Para pembaca yang budiman, dapatkah Anda membayangkan bahwa pada suatu musim
dingin yang membeku, Hideyoshi menunggu Lord Nabunaga di luar rumah kayu
tempatnya mengadakan rapat sambil memegangi sandalnya?
Hideyoshi merasa sangat kedinginan tetapi dia tidak ingin sandal atasannya
menjadi dingin. Karena itu dia mendekap erat sandal tersebut di dadanya
untuk menghangatkannya. Lord Nabunaga sendiri begitu terharu menyaksikan
pengorbanan yang luar biasa dari bawahannya ini.
Dapatkah juga Anda membayangkan bagaimana Hideyoshi "memilih" caranya untuk
hidup? Dia tahu persis bahwa atasannya senantiasa beraktivitas sepanjang
waktu. Karena itu dia memilih kamar yang terdekat dengan pintu masuk kastil.
Tempat tidurnya terbuat dari tumpukan jerami yang tersebar di lantai tanah,
tetapi dengan beristirahat di sana dia bisa terus memantau dan menangkap
pergerakan Lord Nabunaga serta merespon keinginannya secara sangat cepat
meskipun dia tidak pernah merasakan tidur yang nyenyak sepanjang malam!
Dengan cara seperti ini Hideyoshi bukan hanya melayani melainkan juga dapat
mengantisipasi segala pernak-pernik kebutuhan atasannya dengan sepenuh hati.
Ketika suatu pagi terjadi kebakaran di kastil dia telah terbangun jauh
sebelum tanda bahaya diserukan dan secepat mungkin mempersiapkan kuda untuk
atasannya. Maka tatkala sang atasan bergegas akan menyelamatkan diri, dia
muncul dengan kudanya yang sudah berpelana dan bisa langsung ditunggangi
atasannya.
Bahkan ketika suatu ketika Lord Nabunaga berkemah dalam suatu situasi yang
penuh dengan kepungan kabut, setiap malam dia mendengar suara orang yang
berkeliling di area perkemahan setiap malam sambil berteriak, "Tetap
waspada!"
Saking penasarannya Nobunaga kemudian mencari identitas si penjaga malam dan
terhenyak serta begitu terkesan begitu tahu bahwa orang itu tidak lain tidak
bukan adalah anak buahnya yang setia: Hideyoshi.
Yang menarik, walaupun orang-orang di sekitarnya sering menganggap remeh
pekerjaannya, Hideyoshi melakukannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Dia
senantiasa berpendapat bahwa tidak ada pekerjaan yang remeh. Bukankah
pekerjaan sekecil apa pun adalah mulia bila dilakukan untuk melayani orang
lain?
Pembaca yang budiman, inilah sebuah contoh yang luar biasa mengenai melayani
dengan sepenuh hati. Lantas bagaimana penerapannya dalam dunia bisnis saat
ini? Kita akan membahasnya dalam kesempatan yang akan datang.
--
TIPS memperbesar Lingkar Pengaruh Anda
By Kevin Wu*
Semula Muhammad Yunus hanyalah seorang akademisi di bidang
ekonomi. Tak banyak yang mengenal pria kelahiran Chittagong, Bangladesh, pada 1940 itu, kecuali orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya, dan di lingkungan dimana dia menuntut ilmu, seperti di Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong, dan Universitas Vanderbilt, Amerika Serikat. Di Universitas Chittagong, Yunus menjadi dekan setelah kuliahnya selesai. Sedang di Universitas Vanderbilt, Yunus kuliah sebagai mahasiswa dengan beasiswa fullbright, dan meraih gelar PhD.
Pada 1974, Bangladesh mengalami bencana kelaparan hebat, sehingga jumlah warga miskin negara itu bertambah dalam jumlah yang sangat siginifikan, dan tak sedikit dari warga miskin itu yang meninggal akibat kekurangan gizi dan makanan. Bencana ini menggugah hati nurani Yunus, dan membuatnya ingin membantu saudara-saudara senegaranya itu. Dia lalu mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu meminjam dari bank umum. Dia yakin, konsep ini dapat membuat perubahan besar bagi kaum miskin di negaranya itu, dan dia berhasil.
Dalam satu tahun, warga yang dibantunya memperlihatkan peningkatan dari segi ekonomi, sehingga mereka dapat survive dengan lebih baik.
Pada1976, Yunus memperkuat konsepnya dengan didirikannya Grameen Bank, dan bank ini mengkhususkan diri untuk memberi pinjaman kepada kaum miskin di Bangladesh. Hingga hari ini, dana pinjaman yang digelontorkan bank tersebut telah lebih dari US$ 3 miliar, dengan nasabah mencapai 2,4 juta orang. Untuk menjamin pembayaran utang, Grameen Bank menggunakan sistem "kelompok solidaritas", kelompok yang berfungsi mengajukan permohonan pinjaman untuk beberapa orang sekaligus, sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama. Uniknya, setiap anggota kelompok dapat menjadi penjamin bagi temannya dalam kelompok yang sama.
Keberhasilan Yunus dan Grameen Bank dalam mengentaskan kemiskinan di Bangladesh membuahkan penghargaan Budaya Asia Fukuoka XII pada 2001, dan penghargaan Nobel Perdamaian pada 2006. Konsep Grameen bahkan menginspirasi banyak bank di dunia untuk menerapkan konsep serupa, termasuk bank-bank di Amerika Serikat.
Biografi Yunus ini menjelaskan kepada kita, bahwa jika Anda ingin menjadi orang besar seperti dia, maka berbuatlah sesuatu yang dapat membuat Anda besar. Jangan selalu melakukan yang biasa-biasa saja, atau bahkan yang itu-itu saja, karena jika Anda menanam pohon ceremai, maka yang akan Anda panen buah ceremai. Tapi jika Anda menanam pohon durian, maka Anda akan memanen buah yang ukurannya puluhan kali lipat lebih besar dari buah ceremai itu.
Bagaimana caranya Anda tahu apa yang Anda lakukan dapat membuat Anda menjadi orang besar? Gampang. Perbesar lingkar pengaruh Anda dengan cara memberikan kontribusi yang lebih banyak dari yang selama ini Anda berikan, dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar dari tanggung jawab Anda sekarang. Untuk ini, Anda tak perlu merebut pekerjaan orang, tapi tingkatkan kinerja Anda, dan capai hasil yang
lebih baik, sehingga dengan demikian semua orang, termasuk pimpinan Anda, akan memperhatikan Anda. Jika setiap bulan hasil kerja Anda terus meningkat, perusahaan pasti akan memperhitungkannya, dan bukan mustahil promosi jabatan telah menanti di depan mata.
Memperbesar lingkar pengaruh juga dapat dilakukan dengan melakukan sesuatu bagi orang lain seperti yang dilakukan Yunus. Dengan mudah kita dapat berpaling dari setiap masalah dengan mengatakan “itu bukan urusan saya, ini bukan tanggung jawab saya dan lain sebagainya.
Jika kita sering menghindar dari masalah-masalah disekitar kita, justru hal ini akan meng-kerdil-kan diri dan peran kita di lingkungan tersebut. Dengan mudahnya orang seperti Muhammad Yunus dapat menghujat dan mencela pemerintah, tetapi ia justru memilih untuk bertindak atas masalah yang sebenarnya diluar tanggung-jawab sebagai dosen. Justru hal inilah yang meningkatkan lingkar pengaruhnya yang mendunia. Begitu pula dengan Anda yang selalu punya pilihan untuk “bertindak” atau hanya sekedar “menghujat” atas semua ketidakberesan yang terjadi di sekitar kita. Pilihan di tangan Anda.
Orang menjadi besar karena melakukan hal yang besar. Karenanya, tinggalkan kebiasaan melakukan sesuatu yang sepele dan tidak penting, agar Anda tidak termasuk dalam jajaran orang yang biasa-biasa saja dan tidak penting. Karena, Hasil akhir yang berkwalitas dimulai dari implementasi yang berkwalitas (Quality
implementation / QI)
--
Mungkin yang dimaksud Mba Diah di sini definisi yg kedua yaitu Focus Discussion Group ya? Di tempat saya kerja dahulu beberapa kali melakukan FGD dengan menggunakan jasa konsultan market research.
Mungkin bisa coba tanya ke beberapa konsultan berikut: Acorn, Spire, MarkPlus, MRI, atau MARS.
Kalau boleh tau produknya Mba Diah apa ya, setau saya tiap konsultan juga punya spesialisasi jenis produk/ jasa (yg sering mereka tangani).
Kata FGD memang bisa memberikan dua arti yang berbeda.
FGD pertama adalah Forum Grafika Digital yang sering disebut juga FGDForum yang bertujuan untuk mendukung pengembangan industri kreatif Nasional melalui Seminar, Conference dan Workshop. Dan setiap awal tahun melakukan Expo Grafika, Februari 2009 lalu melakukan FGD EXPO 2009 yang bertujuan mendorong berbagai peluang usaha untuk Usaha Kecil, Mikro, Menengah maupun Besar. Industri kreatif grafika terdiri dari sub sektor seperti percetakan & penerbitan, design dan perangkat pendukungnya. Yang dikatakan terbukti tahan terhadap krisis.
Arti FGD kedua adalah Focus Group Discussion, merupakan bagian dari qualitative research yang bertujuan untuk menggali secara lebih mendalam terhadap hipotesa yang timbul dari hasil sebuah penelitian kuantitatif, misalnya dari hasil survey. Di samping itu, FGD sering juga digunakan sebagai penelitian exploratory. Atau penelitian awal, sebelum melakukan penelitian kuantitatif. Tujuannya adalah mencari informasi-informasi atau gambaran awal, sebelum melakukan survey yang tujuannya untuk diekstrapolasikan terhadap populasi sesungguhnya.
Diah, saran saya jika mencari moderator untuk FGD. Pastikan kriteria berikut ini terpenuhi.
1. Mengerti konsep dan Tujuan dari Penelitian serta mengerti konsep Marketing
2. Mengerti tatacara dan aturan main FGD
3. Memiliki wawasan yang cukup terhadap produk yang akan didiskusikan
4. Mampu berkomunikasi dengan baik
5. Mampu menguasai Forum diskusi
6. Mampu memberikan energy terhadap group untuk waktu sedikitnya 90 menit
7. Memiliki kemampuan menggali informasi lebih dalam (Deep Digger Analysis)
8. Memiliki daya ingat yang prima, sehingga tidak mengulang-ulang pertanyaan
9. Luwes
10. Beberapa persyaratan lainnya.
--
--
Mengenal Sekilas Laporan Keuangan (7)
Jump to Comments
(sambungan dari part 6)
Costs of Goods Sold (COGS)
Dalam bahasa Indonesia Cost of Goods Sold dikenal sebagai HPP atau Harga Pokok Penjualan (ada juga yang menyebutnya sebagai Harga Pokok Produksi). Ini merupakan segala biaya yg dikeluarkan oleh perusahaan dalam proses membeli dan memproses bahan baku hingga menjadi Produk (Barang Jadi) yg dijual perusahaan itu.
Biasanya COGS ini terdiri dari 3 komponen utama :
* Direct Materials/Pembelian Bahan Baku Langsung, ini merupakan segala material yg masuk ke dalam barang Jadi.
* Direct Labor/Tenaga kerja Langsung, yaitu segala biaya tenaga kerja yg dipakai utk memproses bahan baku menjadi barang jadi. Tenaga karyawan perusahaan yg tidak berkaitan dengan proses produksi, misalnya tenaga akunting, tidak dimasukkan di sini.
* Manufacturing Overhead, yaitu segala biaya lainnya yang dikeluarkan yang terkait dengan proses produksi, tetapi tidak termasuk ke dalam kategori Direct Materials ataupun Direct Labor. Contohnya dalam hal ini adalah misalnya penyusutan mesin, biaya listrik untuk operasi mesin, dll.
Hasil pengurangan Sales (Penjualan) dengan COGS, adalah disebut Gross Profit ataupun Gross Income (di Indonesia dikenal sebagai Laba Kotor).
Operating Costs
Dalam Income Statement, Gross Profit di atas lalu dikurangi lagi dengan biaya yang dikenal sebagai Operating Costs. Biaya-biaya yang termasuk ke dalam kategori ini adalah berbagai biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam operasional utamanya, tetapi tidak terkait dengan proses ‘produksi’-nya.
Sebagai ilustrasi, gaji karyawan administrasi dan accounting akan dimasukkan ke dalam biaya ini. Demikian juga dengan gaji tenaga sales dan marketing. Ini karena pegawai-pegawai tersebut tidak terlibat secara langsung di proses produksi. Contoh lainnya biaya yang termasuk ke dalam operating costs misalnya adalah biaya promosi dan iklan ataupun penyusutan asset-asset perusahaan yang tidak terkait dengan proses produksi, spt mobil operasional.
Hasil pengurangan Gross Profit dengan Operating Costs akan menghasilkan Operating Profit atau dikenal juga sebagai Operating Income. Perlu diketahui bahwa Operating profit ini adalah salah satu angka yang paling diperhatikan seorang Value Investor dalam melakukan analisa fundamental laporan keuangan. Alasannya sederhana, yaitu karena pada intinya ketika seseorang membeli saham, ia membeli bisnis di belakang saham tersebut, dan pada akhirnya nilai sebuah bisnis sakan angat tergantung kepada kemampuan bisnis tersebut untuk menghasilkan keuntungan dari operasinya.
—–oOo—–
Di dalam part 6 artikel ini, saya telah menuliskan bahwa setiap Income Statement terdiri dari 3 komponen utama, yaitu Revenue (pendapatan), Costs (Biaya) dan Net Income. Sampai saat ini, kita telah melihat 2 komponen pertama, tetapi sebelum kita sampai ke komponen ke 3 (Net Income), kerap kali kita akan menemukan komponen kecil, yaitu Non-Operating Income & Expenses
Non-Operating Income & Expenses dalam suatu Income Statement, mencatat berbagai pendapatan dan pengeluaran perusahaan yang tidak terkait dengan operasional utama perusahaan. Sebagai ilustrasi, pendapatan yang termasuk ke dalam kategori ini adalah bunga dan deviden yang diterima perusahaan dari berbagai investasinya di obligasi dan saham.
Dalam kategori ini, ada juga suatu pengeluaran yang perlu diperhatikan, yaitu Extraordinary Item atau juga kerap dikenal sebagai Non-Recurring Charges. Pengeluaran ini pada awalnya dipakai untuk mencatat segala pengeluaran yang ‘tidak terduga’ dan tidak akan terjadi setiap tahun, misalnya saja kerugian akibat bencana banjir. Tetapi dalam perjalanannya, tidak sedikit perusahaan yang menyalah-gunakan pengeluaran ini dengan memasukkan hal-hal yang sebenarnya kurang layak dimasukkan’. Oleh karena itu, investor perlu waspada jika menemukan biaya Non-Recurring Charges yang keluar terus menerus secara rutin di setiap laporan keuangan dalam jumlah yang relatif besar.
Operating Income ditambahkan dengan dengan Non-Operating Income & Expenses akan menghasilkan suatu angka yang dikenal sebagai EBIT (Earnings Before Interest and Tax). Ini karena angka ini menunjukkan seluruh keuntungan perusahaan dalam tahun itu, sebelum dipotong pengeluaran untuk membayar bunga (interest) utk pinjamannya dan juga pajak (tax).
Sebagai catatan tambahan, terkait dengan EBIT, ada suatu angka pula yang mungkin akan kerap ditemukan teman-teman pembaca, yaitu EBITDA (Earnings Before Interest, Tax, Depreciation and Amortization). Angka EBITDA bisa didapatkan dengan cara menambahkan EBIT dengan seluruh nilai Depreciation (penyusutan) dan juga Amortization (amortisasi) yang ada di dalam Income Statement.
Angka EBITDA ini sendiri kerap diumbar oleh pihak-pihak tertentu karena angka Earnings (laba) ini tentunya akan lebih besar dibandingkan dengan EBIT. Alasan yg kerap dipakai oleh para pemakai EBITDA adalah bahwa mereka menganggap depresiasi dan amortisasi bukan pengeluaran riil, karena perusahaan sebenarnya tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk depresiasi dan amortisasi. Tetapi Warren Buffet menentang sekali pihak manajeman perusahaan yang menggunakan angka EBITDA, dan pernah mengeluarkan komentar di bawah ini:
‘Depreciation and Amortization are REAL costs! References to EBITDA make us shudder—does management think the tooth fairy pays for capital expenditures?’
(depresiasi dan amortisasi adalah biaya riil! Pemakaian angka EBITDA membuat kami bergidik-Apakah pihak manajemen berpikir bahwa peri yg baik hati yang akan membayar untuk pembelian barang modal’?)
--
Surat Tahunan Warren Buffet Kepada Pemegang Saham (2009)
Jump to Comments
WHAT THEY SAID…
In GOD we trust; All Others PAY CASH!
anonymous
—–oOo—–
Saya sempat tertawa kecil ketika membaca kutipan di atas. Kutipan tersebut saya dapatkan dari surat tahunan Buffet kepada pemegang saham perusahaannya di tahun 2009 ini. Kutipan tersebut sendiri dipakai oleh Buffet untuk menggambarkan kondisi di sektor kredit di Amerika, dimana sepanjang tahun 2008 lalu berbagai institusi finansial ‘enggan‘ untuk mengucurkan kredit. Kondisi tersebut, kata Buffet, mengingatkan kepada tulisan yang kerap dibacanya di berbagai restoran sewaktu ia muda : “In GOD we trust; All Others Pay Cash” (terjemahannya dalam bahasa Indonesia kira-kira: “Kalau Tuhan, kami percaya; Tapi selain Tuhan semua harus bayar cash, krn tidak dipercaya sehingga tidak boleh hutang).
Surat tahunan Buffet sendiri biasanya termasuk salah satu bacaan ‘wajib’ rutin bagi investor. Dalam artikel ini, saya akan menuliskan beberapa point utama dari surat Buffet tahun ini (meskipun tentunya akan lebih baik jika anda mencoba membaca sendiri surat dari Buffet tersebut, yg bisa didownload di sini). Dalam membahas surat Buffet ini, saya sebisa mungkin menterjemahkan sesuai bentuk aslinya, tetapi ada beberapa bagian yg saya ‘re-phrase’ agar lebih ‘enak’ dibaca.
—–oOo—–
Tentang Investasinya di tahun 2008:
Buffet: Sepanjang tahun 2008, saya melakukan beberapa hal bodoh dalam investasi. Saya melakukan setidaknya satu kesalahan besar dan beberapa kesalahan kecil yang juga menyakitkan. Saya akan menceritakan kepada anda tentang hal ini kemudian. Saya juga melakukan beberapa kesalahan dimana saya tidak bertindak apa-apa padahal muncul data dan fakta baru yang seharusnya membuat saya menganalisa kembali pemikiran saya dan melakukan tindakan dengan cepat.
Selain daripada itu, nilai pasar dari obligasi dan saham yang kami miliki mengalami penurunan yang cukup besar seiring dengan penurunan yang terjadi di pasar. Ini sama sekali tidak merisaukan Charlie (partner Buffet) dan saya. Malahan kami biasanya menyukai penurunan harga seperti ini jika kami mempunyai dana untuk menambah jumlah kepemilikan kami. Dahulu, Ben Graham mengajarkan kepada saya bahwa “Harga (Price) adalah apa yang kamu bayar, Nilai (Value) adalah apa yang kamu dapat”. Baik membeli Socks (kaus kaki) ataupun Stocks (saham), saya senang membeli barang bermutu ketika harganya sedang murah.
…..
Di awal surat ini, saya telah menulis bahwa saya melakukan satu kesalahan besar. Atas inisiatif saya sendiri (tanpa masukan dari Charlie), saya membeli sejumlah besar saham perusahaan ConocoPhillips ketika harga minyak dan gas berada di dekat puncaknya. Saya gagal mengantisipasi jatuhnya harga komoditas energy yang begitu drastis dalam setengah tahun terakhir ini.
Saya pribadi masih percaya bahwa ada kemungkinan yang cukup besar bahwa di masa depan harga minyak akan jauh lebih tinggi daripada harganya sekarang yang sekitar $40-$50 per barrel. Tetapi sejauh ini, saya masih terbukti salah besar. Bahkan jika harga di kemudian hari naik, waktu pembelian saya yg salah (membeli di dekat puncak) telah menyebabkan kerugian Berkshire sebesar beberapa milyar dollar.
Saya juga membuat beberapa kesalahan kecil lainnya, tetapi sayangnya tidak cukup ‘kecil’. Sepanjang tahun 2008, saya membeli dua bank di Irlandia yang menurut saya murah, seharga $244 juta. Di akhir tahun 2008, nilai investasi ini tinggal sebesar $27 juta, alias kerugian sebesar 89%. Sejak akhir tahun, kedua saham tersebut bahkan telah lebih merosot lagi.
—–oOo0—–
Tentang ekonomi dan bursa saham:
Buffet: Amerika – dan banyak negara lainnya – terperangkap di dalam siklus feedback-negatif yang menyakitkan. Rasa Takut menyebabkan bisnis-bisnis berkontraksi (menciut), dan kontraksi ini lalu menyebabkan Rasa Takut yang lebih hebat lagi.
Spiral pelemahan ekonomi ini telah membuat pemerintahan kita mengambil tindakan yang ekstrim. Dalam istilah permainan kartu Poker, Departemen Keuangan dan Bank Sentral telah “ALL IN” (Edison: istilah ini dipakai untuk menggambarkan situasi dimana pemain poker mempertaruhkan SEMUA uangnya). ‘Obat’ ekonomi yang dahulu diberikan dalam dosis kecil kini ibaratnya diberikan dalam bentuk drum. Dosis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini boleh dikatakan akan selalu menimbulkan efek yang tidak diinginkan (negatif) dikemudian hari. Seperti apa efek negatif yang akan timbul? Sulit dikatakan, tetapi salah satu kemungkinan terbesarnya adalah serangan inflasi.
…..
Baik Charlie (partner Buffet) maupun saya, tidak dapat meramalkan apakah di tahun ini bursa saham akan ‘naik’ atau ‘turun’ (dan menurut kami, tiada seorangpun yang bisa). Kami bisa yakin bahwa keadaan ekonomi akan menyedihkan sepanjang tahun 2009 ini – dan kemungkinan kondisi ini bahkan akan berlangsung cukup lama setelah itu. Tetapi kesimpulan tersebut tidaklah memberikan petunjuk apa-apa tentang nasib bursa saham (apakah akan naik atau turun)
—–oOo—–
Tentang Leveraged Buy Out/Private Equity:
Edison: Mungkin ada baiknya saya jelaskan dahulu sedikit tentang apa itu Leveraged-Buy-Out (LBO). LBO itu adalah praktek dimana suatu perusahaan (A) membeli/mengambil alih suatu perusahaan lain (B), tetapi untuk membayar pembelian tersebut, perusahaan A sebagian besar menggunakan hutang dan hutang tersebut didapat dengan menjaminkan asset perusahaan B. Hutang tersebut lalu ‘dibebankan’ kepada operasional perusahaan B, dimana pendapatan dan laba PT. B akan dipakai untuk melunasi hutang tersebut.
Bingung? Sederhananya begini: Jika misalkan saya hanya punya uang Rp 5 Milyar, tetapi ingin membeli PT. X seharga Rp 50 milyar dengan cara LBO, saya menghampiri sebuah bank dan memberikan proposal : Saya mau pinjam uang Rp 45 Milyar. Uang ini akan saya pakai untuk membeli PT. X, sebagai jaminannya, setelah PT. X itu saya beli, assetnya akan saya jadikan sebagai jaminan hutang Rp 45 milyar tersebut.
Dalam hal ini, perusahaan yang menjadi ‘target’ LBO biasanya adalah perusahaan-perusahaan ‘bagus’ yang mempunyai arus pendapatan dan laba yang stabil, tidak mempunyai hutang ataupun hutangnya kecil, serta mempunyai nilai asset fisik yang relatif tinggi (utk dijadikan jaminan). Dalam prakteknya, bisa diibaratkan perusahaan yg dibeli dengan cara LBO itu menjadi ’sapi perah’, dimana pemilik yg baru (pelaku LBO) kerap memerah habis-habisan perusahaan yg dibeli tersebut agar modal yang dikeluarkannya cepat kembali. Seringkali terjadi perusahaan yg dibeli dengan cara LBO akhirnya tumbang karena tidak sanggup menanggung beban hutang yg terlalu besar.
Salah satu ‘usaha’ utama Buffet adalah membeli perusahaan/bisnis lain yang dianggapnya bagus. Tetapi untuk melakukan pembelian bisnis tersebut, Buffet tidak (atapun sedikit sekali) menggunakan hutang, melainkan dana yang memang dimiliki oleh perusahaannya.
…..
Buffet: Dahulu, pesaing kami dikenal sebagai “Operator LBO”. Tetapi nama LBO kemudian mendapatkan reputasi negatif (Edison: karena hal yg saya ceritakan di atas). Perusahaan-perusahaan tersebut lalu memutuskan untuk ‘ganti nama’, tetapi pada dasarnya cara operasi mereka tidak berubah (seperti struktur fee/biaya dan penggunaan hutang yang sangat besar).
Perusahaan-perusahaan tersebut kini memakai ‘label’ baru : Private Equity, nama yang aneh karena justru porsi ekuitas di perusahaan yang dibeli malah semakin kecil (karena porsi hutang/Liabilities semakin besar). Sebagian perusahaan-perusahaan yang dibeli oleh Private Equity 2-3 tahun lalu, kini dalam bahaya besar karena hutang yang dibebankan kepada mereka. Tetapi perusahaan-perusahaan Private Equity, justru tidak terlalu berminat menambah modal mereka di perusahaan yang mereka beli (untuk memperbaiki kondisi perusahaan tersebut).
—–oOo—–
Tentang Back-Testing:
Edison: Back Testing merupakan salah satu cara yg paling sering dipakai utk ‘meyakinkan ‘investor. Anggaplah saya memakai satu ‘formula’ untuk memilih saham. Saya lalu menguji ‘formula’ saya tersebut dengan cara back-testing, alias menggunakan data-data di masa lampau. Ketika hasil pengujian tersebut bagus, saya pun lalu mengumumkan bahwa “Formula memilih saham versi saya ini berhasil! Jika saya membeli saham dengan memakai formula ini sejak 20 tahun lalu (menggunakan data lama), maka investasi saya akan menghasilkan XXXX%!!!!”
Buffet: Model-model penghitungan “Back-tested” selalu sarat dan rentan dengan kesalahan. Meskipun demikian di dunia finansial, model ‘back-testing’ kerap dipakai sebagai ‘petunjuk’ masa depan. (dengan sedikit nada sinis) Jika dengan sekedar melihat data finansial di masa lampau kita bisa meramalkan masa depan, maka daftar orang orang terkaya dunia akan penuh dengan pustakawan (Librarians).
…
Investor haruslah mempunyai sifat skeptis terhadap model-model yang berdasarkan data historikal (Edison: Technical Analysis termasuk dalam kategori ini). Model-model ini memang cenderung terlihat sangat mengesankan, karena menggunakan istilah dan symbol bahasa latin spt Beta, Gamma, Sigma, dll. Investor seringkali lupa memeriksa apakah asumsi dibelakang simbol-simbol tersebut valid atau tidak. Saran kami: Hati-hati dengan formula yang penuh simbol Latin
(Edison: Mengenai “formula yg penuh simbol latin”, dalam surat tersebut, sebenarnya tertulis “Geek Bearing Formula”. Saya kurang jelas apakah itu karena salah pengetikan dan asumsi saya, yang ingin ditulis itu adalah “Greek Bearing Formula”. Tetapi jika asumsi saya salah, dan Buffet memang ingin menulis “Geek Bearing Formula”, maka terjemahan kasarnya adalah “formula yg penuh dengan orang-orang aneh”, ataupun “formula yg terkesan geek”. Kata Geek sendiri dalam bahasa Inggris itu dikonotasikan sebagai orang-orang yg ‘aneh’ tapi ‘pintar’.)
—–oOo—–
Sebenarnya dalam surat tersebut masih ada beberapa hal lagi yang menarik untuk dilihat, seperti misalnya penjelasan Buffet mengenai mengapa ia masuk ke instrumen derivatif (Options), padahal selama ini ia terkenal sangat ‘anti’ instrumen derivatif. Tetapi karena topik tersebut membutuhkan penjelasan yg agak panjang, (sedangkan artikel ini sudah termasuk panjang), saya tidak akan membahasnya dalam artikel ini (mudah-mudahan bisa saya bahas di kesempatan lain).
--
Economic Moat: Ciri Saham ‘Tahan’ Serangan
Jump to Comments
Sebagai seseorang yang senang membaca, salah satu topik yang paling menarik minat saya (selain topik investasi tentunya) adalah ’seni perang’, terutama dalam perang di ‘jaman dahulu kala’. Sejak sekitar kelas 4 SD, nama-nama ’seniman perang’ seperti Zhuge Liang, Sun Tzu, Alexander, Nobunaga Oda, dan Genghis Khan lebih melekat di kepala saya dibandingkan dengan nama-nama seperti Superman, Batman dan lain-lainnya. Tidak pernah bosan rasanya saya mengikuti sepak terjang mereka dalam mengalahkan lawannya dalam kancah peperangan.
Ok, sampai di situ saja cerita pribadi tentang saya. Jadi apa kaitan antara (1) investasi, (2) judul artikel ini dan juga (3) celoteh saya tentang kecintaan saya terhadap ’seni perang’? Penasaran?
—–oOo—–
Ketika kita berbicara tentang perang (terutama perang di ‘jaman dahulu kala’), kira-kira gambaran apa yang akan pertama-tama muncul di benak anda? Meskipun jawabannya akan beraneka ragam (pasukan, jenderal, senjata, dll), mungkin tidak sedikit dari teman-teman yang akan menjawab ‘Benteng’ (Fortress/(Castle). Ini tentunya tidak aneh mengingat Benteng (Fortress/Castle) memang merupakan salah satu fokus dalam perang di jaman dahulu.
Dalam perang, nasib suatu kota bahkan negara kerap ditentukan oleh kekokohan bentengnya. Berbagai cara pun digunakan untuk meningkatkan kekokohan pertahanan benteng. Salah satu cara yang paling sering dipakai untuk memperkuat pertahanan sebuah benteng adalah dengan membuat Moat, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mungkin bisa dikatakan sebagai parit. Sebuah benteng dengan Moat (parit) di sekelilingnya mempunyai keunggulan dibandingkan dengan benteng tanpa Moat (parit).
Benteng dengan Moat (Parit)
Benteng dengan Moat (Parit)
Pada jaman dahulu, salah satu cara yang paling umum dipakai oleh pihak lawan untuk memasuki benteng adalah dengan memakai tangga/scaling ladder (gambar) dan juga ‘menara penyerbuan’/Assault Tower (gambar). Fungsi utama kedua alat tersebut adalah untuk memanjat tembok benteng. Tetapi dengan adanya moat/parit, seperti bisa kita bayangkan, kedua alat tersebut akan sulit untuk dipakai karena pihak penyerbu sulit untuk menghampiri tembok benteng.
Alat lainnya yang sering dijumpai dalam penyerbuan sebuah benteng adalah yang dikenal sebagai ‘pendobrak’/Battering Ram (gambar). Alat ini dipakai untuk mendobrak pintu benteng. Tetapi dengan adanya moat/parit, lagi-lagi alat ini jadi tidak ‘berkutik’ karena pihak yang bertahan tinggal mengangkat jembatan yang menuju ke pintu benteng. Alat tersebut pun tidak bisa menghampiri pintu benteng, karena dihalangi oleh moat/parit.
Selain ketiga alat di atas, alat yang juga kerap dipakai pihak penyerang adalah ‘Pelontar Batu’/Catapult (gambar). Fungsi utama alat ini adalah untuk melemparkan batu-batu berukuran besar untuk perlahan-lahan menjebol tembok benteng. Tetapi bahkan jika tembok benteng itu jebol pun, dengan adanya moat/parit, pihak penyerang tetap harus menyeberangi moat/parit sebelum bisa masuk lewat tembok yang sudah ‘jebol’ tersebut. Ini tentunya akan mempersulit gerakan pihak penyerbu.
Dengan berbagai manfaat yang saya ceritakan di atas, tidak heran jika mayoritas benteng di jaman dahulu dilengkapi dengan moat/parit (tentunya jika kondisi alamnya memungkinkan). Semakin lebar dan dalam moat/parit, semakin kuat pertahanan benteng tersebut
—–oOo—–
Sampai di sini, sebagian teman-teman mungkin mulai bertanya-tanya ‘Son, cerita kamu di atas sih sangat menarik membosankan, tetapi apa kaitannya dengan investasi?’
Jawabannya: Karena ternyata ‘Moat’ itu juga bisa ditemui dalam dunia usaha dan investasi.
Meskipun tidak diketahui siapa yang menciptakan istilah ‘Economic Moat’ yang menjadi judul artikel ini, tetapi mungkin boleh dikatakan bahwa istilah tersebut menjadi populer ketika dipakai oleh Warren Buffet. Economic Moat sendiri secara sederhana bisa didefinisikan sebagai “Keunggulan kompetitif suatu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya”.
Perusahaan yang memiliki Economic Moat/Parit yang lebar, akan mampu mempertahankan dirinya dari ’serangan’ para kompetitornya.
Sebagai contoh saya akan memakai contoh Coca-Cola. Perusahaan Coca-Cola mempunyai Economic Moat yang besar dalam bentuk ‘Merek’. Merek Coca-Cola telah mempunyai ‘Share of Mind’ (pangsa ‘pikiran’) yang besar sehingga ketika orang teringat minuman Cola, maka yang terpikirkan pertama oleh mereka kemungkinan besar adalah Coca-Cola.
Misalkan saja saya berhasil mendapatkan ‘resep rahasia’ milik Coca Cola sehingga saya mampu membuat minuman yang rasanya sama persis dengan Coca-Cola. Minuman tersebut lalu saya produksi dengan merek JanganSerakah-Cola. Jika minuman tersebut saya jual dengan harga yang sama dengan Coca-Cola, boleh dipastikan bahwa saya akan gulung tikar dalam waktu yang tidak lama. Ini karena karena minuman produk saya tersebut sulit untuk laku, meskipun rasanya sama persis. Berkat ‘Share of Mind’ yang besar, dengan harga yang sama, orang-orang akan lebih memilih untuk membeli Coca-Cola dibandingkan dengan JanganSerakah-Cola. Akibatnya Coca-Cola bisa menjual produknya lebih mahal dibandingkan dengan pesaing kelas ‘gurem‘ dan bisa menikmati keuntungan yang lebih besar. Keuntungan tersebut lalu digunakan untuk ‘perang’ pemasaran dan mempertahankan ‘Share of Mind’-nya.
—–oOo—–
Tentunya Economic Moat bukan hanya berbentuk “Merek” saja. Moat atau keunggulan kompetitif bisa muncul dalam beberapa bentuk, misalnya keunggulan teknologi, keunggulan biaya dan harga, permodalan dan lain sebagainya. Google misalnya, mempunyai economic moat dalam bentuk keunggulan teknologi Search Enginenya. Sebagai contoh lainnya, kita bisa melihat Carrefour. Perusahaan ritel tersebut mempunyai posisi tawar-menawar yang kuat, sehingga bisa mendapatkan harga yang terbaik dari para produsen barang yang dijualnya. Akibatnya mereka mempunyai moat/keunggulan kompetitif dalam bentuk harga.
Lalu apakah setiap perusahaan hanya bisa mempunyai satu keunggulan? Tentunya tidak. Jika kita kembali ke contoh moat/parit dalam peperangan, semakin lebar dan dalam moat/parit di suatu benteng, semakin baik pertahanannya. Besarnya tingkat keunggulan kompetitif bisa disamakan dengan kedalaman moat/parit. Di sisi lain, semakin banyak jenis aspek yang menjadi keunggulan kompetitif suatu perusahaan, maka semakin ‘lebar’ moat/parit yang dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Sebagai contoh, kita lihat kembali contoh Coca-Cola. Apakah moat/keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh Coca-Cola hanyalah berbentuk ‘Merek’ saja? Tidak, salah satu keunggulan kompetitif utama Coca-Cola justru berada pada jaringan distribusinya. Seperti kita tahu, produk Coca-Cola boleh dikatakan bisa ditemui hampir di setiap negara di dunia ini. Saluran distribusi Coca-Cola juga merupakan salah satu senjata utamanya untuk ‘menghabisi’ pesaingnya, karena jaringan distribusinya begitu ekstensif dan dikelola dengan baik.
Jadi, bisa kita lihat bahwa moat yang dimiliki oleh Coca-Cola selain ‘dalam’ juga ‘lebar’.
Itulah sebabnya mengapa hingga kini boleh dikatakan di dunia ini hanya ada dua minuman Cola utama, yaitu Coca-Cola dan Pepsi Cola. Minuman Cola merek lain hanya bisa memperebutkan ‘remah-remah’ sisa dari Coca-Cola dan Pepsi-Cola, dan sulit sekali untuk bisa menembus dominasi kedua merek minuman Cola tersebut.
—–oOo—–
Lalu apa kaitan semua hal di atas dengan Investasi?
Warren Buffet, kerap kali mengatakan bahwa perusahaan yang bisa memberikan keuntungan kepada para investornya adalah perusahaan yang mempunyai economic moat yang lebar dan dalam. Perusahaan yang mempunyai ciri seperti ini, biasanya mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan tingkat keuntungannya. Tentunya ini akan memberikan dampak yang positif kepada para investor perusahaan tersebut.
Ketika suatu perusahaan tidak mempunyai economic moat, maka perusahaan itu lebih rentan terhadap ‘serangan’ pesaingnya. Umumnya, ini akan berujung pada ‘perang harga’ yang pada akhirnya tentu akan menurunkan tingkat keuntungan perusahaan tersebut. Hasil yang diterima oleh investor pun akhirnya mengecewakan.
Konsep “Economic Moat” dalam investasi yang dipopulerkan oleh Buffet ini boleh dikatakan merupakan buah pemikiran Philip Fisher. Jika Ben Graham kerap dicap sebagai bapak Analisa Fundamental Kuantitatif, maka bisa dikatakan Fisher adalah bapak Analisa Fundamental Kualitatif. Buffet sendiri kerap mengakui bahwa gaya investasinya adalah “85% Ben Graham dan 15% Philip Fisher”.
—–oOo—–
Pertanyaan bagi para calon investor:
* Carilah satu contoh perusahaan/bisnis yang menurut anda mempunyai Economic Moat yang lebar/dalam. Coba uraikan apa economic moat perusahaan tersebut menurut anda
atau jika anda inginkan, bisa juga :
* Carilah satu contoh perusahaan/bisnis yang menurut anda TIDAK mempunyai Economic Moat yang lebar/dalam. Coba uraikan alasan anda.
--
Investor atau Spekulator?
Jump to Comments
WHAT THEY SAID
Never buy a stock immediately after a substantial rise or sell one immediately after a substantial drop
Benjamin Graham
Article by Alina
2 tahun lalu, ketika bursa saham sedang dalam trend kenaikan (bullish) dan indeks sedang mencetak rekor tertinggi, seorang pemuda melihat keuntungan yang diperoleh para ‘investor’ yang berinvestasi sejak awal 2007. Tanpa pengetahuan berinvestasi yang mencukupi ditambah Ia baru saja memperoleh dana, Ia pun berpikir untuk mencoba peruntungannya terjun dan ‘berinvestasi’ di bursa saham. Si pemuda pun senang merasa telah menjadi seorang ‘investor’ di bursa saham dan berharap memperoleh keuntungan yang sama besar seperti para ‘investor’ sebelumnya.
Belum genap satu tahun Ia berinvestasi, kecemasan, penyesalan, dan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Kenapa bursa saham malah mengalami trend penurunan (bearish)? Apa yang salah dengan investasinya sehingga mengalami kerugian begitu banyak? Si pemuda akhirnya bertemu dengan om Ben (Benjamin Graham).
Si Pemuda : Kenapa investasi saya mengalami kerugian?
Om Ben : Kamu melakukan kesalahan fatal dalam berinvestasi. Kamu membeli di saat harga saham sudah terlalu tinggi.
Si Pemuda : Lalu apa yang harus saya lakukan saat ini?
Om Ben : Ubah cara kamu berinvestasi, gunakan metode Dollar Cost Averaging (DCA). Membeli sedikit-demi sedikit dengan jumlah uang yang sama secara rutin setiap bulan, tanpa memperhatikan gerakan pasar yang sedang naik atau turun.
Si Pemuda : Kapan saya harus memulai metode ini?
Om Ben : Lakukan mulai saat ini jangan perhatikan gerakan pasar yang sedang naik atau turun.
Si Pemuda : Baik Om Ben.
Si Pemuda sudah memperoleh pengetahuan dari Benjamin Graham tentang bagaimana cara berinvestasi bagi seorang investor. Namun si pemuda masih tetap khawatir dengan trend penurunan bursa saham yang masih terus berlanjut. Ia pun memutuskan untuk menunggu trend penurunan bursa saham berakhir. Meskipun Ia sedang memiliki dana untuk memulai DCA di bursa saham, Ia malah memilih berinvestasi secara aman di Obligasi.
Ketika bursa saham mulai mengalami trend kenaikan trauma masa lalu masih menghantui dirinya. Bayangan kerugian yang pernah terjadi membuat Ia menunggu ‘waktu yang tepat’ untuk kembali memulai berinvestasi di bursa saham, meskipun Ia sendiri tidak tahu kapan waktu itu akan datang.
Saat ini, Ia belum juga memulai kembali untuk berinvestasi di bursa saham. Kembali kecemasan, penyesalan, dan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam dirinya karena bursa saham terus naik. Apakah bursa saham sudah memasuki trend kenaikan (bullish)? Apakah sekarang waktu yang tepat untuk memulai metode DCA seperti yang disarankan Om Ben? Kenapa Ia idak memulai metode DCA dari dulu sehingga bisa menikmati keuntungan saat ini?
—-00O00—-
Cerita di atas hanya sebuah ilustrasi yang mungkin sedang banyak terjadi saat ini. IHSG yang memcapai rekor tertingginya pada Januari 2008 tiba-tiba turun tajam pada Oktober 2008, kurang dari satu tahun. Namun kini IHSG kembali perkasa dan telah naik lebih dari 60% dari titik terendahnya di September 2008. Banyak orang yang ingin menjadi ‘investor’ di bursa saham memiliki rasa khawatir akan kembali jatuhnya bursa saham. Tanpa mereka sadari, rasa khawatir dari fluktuasi pasar telah membuat mereka menjadi seorang spekulator.
Perbedaan paling realistis antara investor dan spekulator ada pada perilaku mereka terhadap pergerakan pasar saham. Kepentingan utama seorang spekulator terletak pada tindakan antisipasi dan pengambilan keuntungan dari fluktuasi pasar. Seorang investor sadar bahwa harga sahamnya akan berfluktuasi dan tidak merasa khawatir oleh penurunan besar, juga tidak akan girang dengan kenaikan tajam. Ia akan selalu ingat bahwa harga pasar akan selalu memihaknya. Ia tidak akan pernah membeli saham karena harganya naik, atau menjualnya karena harga turun.
Ia tidak akan pernah membuat membuat kesalahan besar jika mengikuti moto sederhana ini : “Jangan pernah membeli saham segera setelah terjadi kenaikan substansial atau menjual saham segera setelah terjadi penurunan substansial”
--
Mengenal Investasi Lebih Dekat (part1)
Jump to Comments
investasi
article by Alina
Artikel ini saya buat karena adanya pertanyaan dari salah satu pembaca blog. Di sebuah artikel pembaca tersebut bertanya apakah ‘ini’ termasuk investasi. Pasti semua sudah tahu apa yang dimaksud dengan ‘ini’. Hal ini membuat saya mencoba membuat artikel agar kita bisa mengetahui apa sih investasi tersebut, apa saja yang merupakan instrumen investasi, apa saja tipe investasi, dan bagaimana seharusnya proses dari sebuah investasi.
Ketika saya sedang berkeinginan membuat artikel ini, saya menemukan sebuah buku menarik yang bisa dijadikan sumber informasi mengenai investasi ini. Buku ini berjudul “Fundamentals of Investing” karangan Gitman & Joehnk.
—oooO000—
Sebagian besar pembaca blog kemungkinan besar telah menjadi Investor tanpa disadari. Jika seseorang mempunyai uang dan disimpan dalam rekening tabungan maka orang tersebut telah memiliki paling tidak 1 investasi atas namanya sendiri.
Hanya saja, return dari tabungan yang rata-rata 3% per tahun masih kalah oleh inflasi. Investasi adalah sebuah sarana menyimpan uang yang kita miliki dengan harapan akan memberikan tambahan pendapatan atau peningkatan nilai.
Ya, ada dua hal dasar yang ingin dihasilkan dari investasi, yaitu :
1. Tambahan Pendapatan
2. Pertumbuhan Nilai Uang
Uang yang disimpan dalam rekening tabungan menghasilkan tambahan pendapatan berupa bunga yang diberikan secara periodic. Saham sebagai sarana investasi diharapkan untuk naik harganya dari saat pembelian hingga saat penjualan, hal ini mencerminkan pertumbuhan nilai uang.
Tipe Investasi
Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Hal ini pula yang membedakan tipe investasi yang akan diambil setiap orang. Investasi yang dipilih tergantung dari sumber dana, tujuan, dan kepribadian Investor. Kita bisa membedakan tipe investasi dari beberapa faktor.
* Securities atau Property
Securities adalah investasi yang menggambarkan kepemilikan secara finansial. Secara garis besar Securities dibedakan menjadi dua :
1. Debt (Surat Hutang)
2. Equity (Saham)
Property adalah investasi yang berupa kekayaan atau hak milik. Property dapat dibedakan menjadi dua :
1. Real Property (Tanah, Rumah, Gedung)
2. Tangible Personal Property (Emas, Lukisan, Barang Antik)
* Direct atau Indirect
Direct Investment adalah ketika Investor secara langsung memiliki dan mengelola investasinya yang dapat berupa securities ataupun property. Pembelian dan pengelolaan dilakukan sendiri tanpa ada bantuan siapapun. Tentu saja Investor yang memilih tipe investasi ini harus memiliki ilmu yang cukup.
Berbeda dari Direct Investment, dalam Indirect Investment Investor menyewa seorang profesional untuk mengelola kumpulan securities atau properties yang dimilikinya.
* Debt, Equity atau Derivative
Ketiga instrumen investasi ini termasuk dalam Securities. Debt merupakan instrumen investasi yang berupa surat hutang. Dapat digambarkan Investor meminjamkan uang untuk memperoleh kupon bunga yang dibayarkan secara rutin dan pengembalian uang pinjaman disaat jatuh tempo. Contoh Debt yang menjadi favorite adalah obligasi.
Equity merupakan bagian kepemilikan dari suatu perusahaan. Dapat digambarkan Investor menyetor modal untuk jalannya bisnis perusahaan. Instrumen yang merupakan equity adalah saham. Harga saham dapat naik dan turun, pemilik saham bisa memperoleh keuntungan dari pertumbuhan harga saham ini jika mereka menjual saham mereka. Mereka juga mengharapkan keuntungan dari deviden. Deviden sendiri merupakan pembagian laba kepada pemegang saham, karena mereka juga dianggap sebagai pemilik perusahaan.
Derivative merupakan instrumen investasi turunan dari debt dan equity. Pada awalnya derivative terbentuk untuk melindungi atau mengurangi risiko dari asset Investor. Sebagian besar derivative merupakan leveraged, jadi ketika nilai underlyingnya (debt atau equity) mengalami perubahan kecil, maka nilai derivativenya mengalami perubahan yang besar. Contoh dari instrumen ini adalah option, future, swap, rights, warran.
* Low Risk atau High Risk
Investasi terkadang dibedakan dari risiko yang bisa dihadapi oleh Investor. Investor selalu dihadapkan oleh besaran risiko dari yang rendah hingga yang tinggi. Setiap instrumen investasi memiliki risiko yang berbeda, sebagai contoh, saham memiliki risiko lebih besar daripada obligasi.
Investasi berisiko rendah diharapkan untuk menghasilkan return yang selalu positif. Investor tidak mengharapkan hasil yang negatif ketika memilih instrumen ini. Investasi berisiko tinggi terkadang dianggap sebagai spekulasi . Adanya kemungkinan besar menghasilkan return negatif harusnya sudah diketahui oleh Investor yang memilih instrumen ini. Bagaimanapun juga, investasi yang memiliki risiko tinggi juga berpeluang menghasilkan return yang tinggi.
* Short Term atau Long Term
Jangka waktu dalam berinvestasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang. Investasi jangka pendek merupakan investasi dengan waktu kurang dari 1 tahun. Instrumen investasi yang banyak digunakan dalam tipe investasi ini adalah tabungan, deposito atau Reksa Dana Pasar Uang. Likuiditas (kemudahan dalam mencairkan uang) menjadi alasan dasar memilih investasi ini. Instrumen ini sering digunakan sebagai tempat dalam menyimpan dana darurat.
Investasi jangka panjang memiliki jangka waktu yang lebih lama, beberapa mensyaratkan lebih dari 3 tahun sudah dapat dikatakan investasi jangka panjang, ada juga yang menyatakan minimal 5 tahun. Instrumen investasi jangka panjang tidak memiliki batas waktu atau jatuh tempo. Instrumen investasi yang banyak digunakan dalam investasi ini adalah saham atau Reksa Dana Saham.
* Domestic atau Foreign
Domestic investments berarti Investor melakukan investasi di dalam negeri dengan membeli produk investasi lokal. Foreign Investments berarti Investor melakukan investasi di luar negeri dengan membeli produk investasi luar. Saya yakin di Indonesia tidak sedikit Investor yang berinvestasi di luar, di US, Singapura, China.
Bahkan ada Investor Indonesia yang malah tidak mau berinvestasi di Indonesia ( pembaca blog lama pasti tahu :-) ). Hal inilah yang menjadi PR oleh regulator pasar modal kita, agar jumlah Investor lokal semakin banyak.
Untuk bagian pertama sepertinya cukup di sini dulu, terlalu panjang nanti malah bikin pusing. Di bagian kedua nanti saya akan coba bercerita mengenai proses dari investasi.
--
Mengenal Investasi Lebih Dekat (part 2)
Jump to Comments
money house
article by Alina
Ketika sudah muncul dalam diri Anda keinginan untuk membangun investasi, itu merupakan langkah awal Anda dalam mencapai sukses. Namun keinginan saja tidaklah cukup, dalam berinvestasi Investor disarankan memiliki tujuan yang akan dicapai dalam berinvetasi. Investor harus membuat tujuan yang spesifik dalam setiap investasinya. Berikut akan saya coba ceritakan mengenai langkah-langkah dalam berinvestasi.
1. Kenali Diri Anda
Sebelum memulai berinvestasi, Investor harus mengetahui terlebih dahulu kondisi awal keuangan yang ada saat ini. Pelajari dengan seksama semua pendapatan dan pengeluaran yang ada selama ini. Lakukan perhitungan asset (tabungan, rumah, kendaraan, tanah, dll) yang dimiliki saat ini, dan juga semua hutang yang dimiliki (KPR, tagihan kartu kredit, cicilan kendaraan, dll).
2. Tujuan Investasi
Tujuan Investasi adalah keinginan yang ingin diraih dengan cara berinvestasi. Dengan memiliki tujuan investasi, Investor bisa memilih jenis investasi yang akan digunakan. Biasanya tujuan berinvestasi meliputi :
* Mengumpulkan dana pensiun. Mengumpulkan dana pensiun adalah salah satu alasan penting dalam berinvestasi. Meskipun terkadang dana pensiun dari tempat kerja sudah ada, namun sebaiknya kita membuat juga portofolio untuk dana pensiun. Sekedar berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk (siapa tau perusahaan dana pensiunnya ga sanggup bayar)
* Meningkatkan pendapatan. Berinvestasi yang bertujuan meningkatkan pendapatan dapat dilakukan dari memperoleh bunga atau kupon obligasi ataupun dividend.
* Simpanan untuk Pengeluaran Ekstra. Keluarga biasanya menyisihkan sebagian pendapatannya selama beberapa waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Yang paling sering adalah untuk uang muka pembelian rumah, pendidikan, perjalanan liburan, atau modal untuk memulai sebuah bisnis. Jenis investasinya pun tergantung dari besaran dana dan waktu yang dibutuhkan.
3. Menentukan Rencana Investasi
Setelah menentukan tujuan investasi, yang harus dilakukan adalah membuat perencanaan investasi yang paling ideal agar tujuan tersebut tercapai. Buatlah perencanaan untuk setiap tujuan yang ingin dicapai. Tentukan target tanggal yang harus tercapai, dan besaran resiko yang bisa Anda hadapi. Semakin spesifik perencanaan tersebut dibuat, semakin mudah anda menjalankannya dengan konsisten.
4. Menentukan Produk Investasi
Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi produk investasi apa yang akan digunakan dengan melihat potensi hasil dan resiko dari setiap produk investasi yang akan digunakan. Kumpulkan semua informasinya terlebih dahulu, pelajari dengan seksama produk investasi tersebut (lebih baik baca prospektusnya). Berhati-hatilah dalam memilih produk investasi, karena ini penting dalam kesuksesan investasi Anda.
5. Diversifikasi
Untuk mencapai berbagai tujuan investasi, Investor membangun sebuah portofolio yang berisi berbagai produk investasi. Diversifikasi adalah kunci dalam menyusun portofolio agar hasil yang diperoleh maksimal namun memiliki resiko yang minimal. Jika ada produk investasi yang turun, harus ada produk investai lain yang naik. Berinvestasilah di berbagai jenis investasi dan banyak jangka waktu.
6. Mengelola Portofolio.
Keberhasilan dalam mengelola portofolio bukan dilihat dari hasil yang diperoleh, namun dari cara orang tersebut mengendalikan resiko. Jika portofolio yang telah disusun hasilnya bergeser dari tujuan awal, rubahlah isi portofolio Anda agar tetap konsisten dalam tujuan investasi. Pastikan Anda memiliki alasan yang tepat dalam melakukan penjualan atau pembelian.
Jika ada yang bertanya kapan saat yang tepat untuk memulai berinvestasi, jawabannya adalah sekarang. Happy Investing :-)
--
Satu Prinsip Bisnis Super Penting yang Wajib Anda Ketahui
Submitted by Om Nip-Nip on Thursday, 25 March 2010No Comment
Satu Prinsip Bisnis Super Penting yang Wajib Anda Ketahui
Pernahkah anda mendengar hukum pareto? Atau anda pernah mendengar prinsip bisnis 80/20? Prinsip bisnis ini sangat penting untuk anda ketahui. Kalau belum, mari saya jelaskan sekilas.
Saya mendengar prinsip bisnis 80/20 atau hukum pareto ini pertama kali sewaktu saya menekuni bisnis multi level marketing. Penemunya adalah ekonom Italia Vilfredo Pareto (1848-1923).
Ngomong-ngomong, pada artikel saya tentang cari peluang usaha modal kecil, saya pernah menyinggung sekilas tentang “keterlibatan” saya di bisnis multi level marketing tersebut.
Tapi sekarang saya sudah mengundurkan diri karena berbagai pertimbangan. :) Back to the topic, pada waktu itu, upline saya mengatakan seperti ini : “Kamu harus presentasi sebanyak-banyaknya. Supaya 20% orang yang kamu presentasi join di grupmu”.
Dulu saya pikir prinsip bisnis itu hanya berlaku di dunia MLM. Ternyata prinsip bisnis pareto tersebut sangat berguna sekali di bisnis konvesional, bahkan di kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya prinsip bisnis 80/20 itu hanya menyatakan bahwa sebab, masukan (input) atau usaha yang sedikit biasanya membawa akibat, keluaran atau hasil yang besar.
Gambaran gampangnya seperti ini, 80% dari apa yang anda hasilkan dalam pekerjaan anda didapat dari 20% waktu yang anda habiskan. Jadi prinsip bisnis 80/20 itu menyatakan bahwa ada ketidakseimbangan yang mendasar antara sebab dan akibat, masukan dengan keluaran atau antara usaha dengan hasil. Contoh detailnya seperti ini :
Dalam dunia bisnis :
* 20% produk biasanya menghasilkan sekitar 80% nilai penjualan.
* 20% konsumen biasanya menghasilkan 80% keuntungan perusahaan.
Dalam masyarakat :
* 20% penjahat melakukan 80% kejahatan.
* 20% pengendara motor menyebabkan 80% kecelakaan.
Dalam rumah tangga :
* 20% dari karpet anda digunakan sebanyak 80%.
* Anda mengenakan 20% dari pakaian anda selama 80% waktu anda.
Dalam organisasi :
* Dari keseluruhan mahasiswa, 20%nya serius untuk kuliah, 80% sisanya lebih sering hura-hura, termasuk saya waktu pertama kuliah dulu.
* Dari keseluruhan pegawai negeri, sekitar 20% yang serius untuk mengabdi ke negara dan rajin masuk kantor. Sisanya ogah-ogahan dan sering mencuri waktu dengan pulang lebih awal.
Memang prosentase pasnya tidak mutlak 80% dan 20%. Itu hanya sebuah kaidah saja, bisa lebih dan tentu saja bisa kurang. Saya punya pengalaman menarik berkaitan dengan prinsip bisnis pareto ini.
Dulu saya berpikir keras. Gimana caranya ya biar saya punya downline 2 orang? Kemudian saya pakai prinsip bisnis 80/20 ini. Jadi kalau saya ingin yang join di grup MLM saya 2 orang, berarti saya harus mengundang 50 orang.
Dari 50 orang yang saya undang, saya perkirakan 20%nya datang ke presentasi saya, yaitu 10 orang. Dari 10 orang yang saya presentasi, 20%nya kemungkinan mau join ke grup saya, yaitu 2 orang. Waktu itu saya bayangkan berat sekali. “Mateng dah, terpaksa harus ngundang 50 orang”, pikir saya. Tapi memang harus seperti itu.
Dan ternyata yang join lebih dari 2 orang. Coba kalau saya berpikir seperti ini, supaya ada yang join 2 orang, berarti saya undang 2 kalinya saja lah, 4 orang. Begitu saya mau presentasi, bisa-bisa nggak ada yang datang.
Jadi saya ulangi lagi, prinsip bisnis pareto ini sangat bisa anda terapkan di dunia bisnis. Seperti misalkan anda mau memilih lokasi untuk usaha counter handphone. Usahakan anda cari minimal 10 ruko yang sesuai dengan kriteria anda, baru anda pilih satu sampai dua yang paling baik.
Begitu juga jika anda punya salesman. Paling dalam satu tim yang misal terdiri dari 10 salesman, cuman 2 orang yang menghasilkan omset terbesar anda. Saya sudah mengalaminya sendiri. Dulu tim penjualan saya terdiri dari 8 orang. Yang benar-benar bisa menghasilkan omset dengan kinerja yang baik hanya 1 orang.
Kesimpulannya adalah, setiap anda melakukan sesuatu, coba hubungkan dengan prinsip bisnis hukum pareto ini. Memang tidak sesederhana seperti yang telah saya paparkan diatas. Tapi paling tidak, anda sudah punya satu kiat bisnis-nya jika anda akan mengambil sebuah tindakan.
Tapi anda jangan punya pemikiran seperti ini lho, “Berarti kalau saya ingin punya satu istri, saya harus cari calon istri 10 orang. Kalau dua, berarti 20 orang calon istri. Berarti kalau menurut teori bisnis yang dipaparkan Om Nip-Nip, saya harus undang 100 calon istri ke rumah saya buat saya seleksi, kalau saya mau punya dua istri.”
Bisa berabe saya kalau anda sampai punya pikiran seperti itu. Apalagi kalau anda sudah beristri. Saya bisa kena damprat istri anda, ha..ha..ha..
--
Syarat Pengusaha : Pahami Istilah Laporan Keuangan Laba Rugi
Submitted by Om Nip-Nip on Sunday, 28 March 2010One Comment
Syarat Pengusaha : Pahami Istilah Laporan Keuangan Laba Rugi
Salah satu keahlian yang harus anda punyai sebagai seorang pengusaha adalah mampu membaca laporan laba rugi perusahaan.
Tujuannya adalah supaya anda bisa mengetahui berapa total penjualan produk anda, berapa pengeluaran perusahaan anda, berapa laba kotor anda dan tentunya berapa laba bersih perusahaan anda, kalau perusahaan anda untung.
Tapi untuk postingan saya kali ini, saya hanya akan membahas istilah-istilah penting apa saja yang terdapat pada laporan keuangan laba rugi.
Dan bagi anda yang sudah paham tentang istilah-istilah laporan keuangan laba rugi tersebut, tidak ada salahnya anda tetap membacanya. Siapa tahu dengan mengulangi membaca artikel ini, anda semakin hapal.
Atau jika saya ada yang salah, anda bisa langsung koreksi kesalahan saya. Maklum, saya juga paling benci dengan laporan keuangan, apalagi laporan neraca perusahaan. Pengennya cuman lihat angka yang paling bawah, “Berapa ya laba perusahaan saya bulan ini?” :) Strike to the point…
1. Harga Pokok Penjualan (HPP)
HPP ini bisa dibagi menjadi dua pengertian. Kalau pada bisnis eceran atau agen, HPP adalah total harga yang harus anda bayarkan untuk produk yang anda jual selama periode laporan, ditambah dengan biaya pengiriman produk dari tempat dimana anda beli ke toko anda. Sedangkan apabila anda bergerak di bidang manufaktur, HPP adalah nilai sediaan awal ditambah pembelian, biaya pengiriman, bahan, tenaga kerja dan biaya tetap atau overhead. Setelah itu anda kurangi dengan sediaan akhir.
2. Pengeluaran
Dalam laporan keuangan laba rugi, yang termasuk biaya menjalankan usaha, meliputi beberapa item seperti upah, telepon, biaya penyusutan, promosi dan lain-lain.
3. Dividen
Dividen adalah bagian dari pendapatan perusahaan yang anda bayarkan (jika anda pengelola) atau anda bagikan kepada para pemegang saham dengan nilai tertentu per saham. Nilainya tergantung berapa besarnya saham yang ditanam oleh masing-masing investor beserta kesepakatan prosentase pembagiannya.
4. Laba Kotor
Laba kotor adalah laba sebelum dipotong pengeluaran, pajak serta biaya-biaya lainnya.
5. Pendapatan Bersih
Jumlah uang anda yang tersisa setelah dikurangi seluruh tagihan anda serta pajak.
6. Laba Bersih
Dalam beberapa buku yang membahas tentang laporan keuangan laba rugi, laba bersih dibedakan dengan pendapatan bersih. Laba bersih adalah laba anda sebelum dipotong pajak.
7. Penjualan Bersih
Penjualan bersih adalah total semuan uang yang anda hasilkan dari seluruh penjualan anda dikurangi dengan pengembalian (jika ada konsumen anda yang retur barang anda), penyisihan (allowance), diskon serta potongan harga atau rabat.
8. Laba Ditahan
Adalah bagian dari pendapatan bersih perusahaan anda yang tidak anda bayarkan atau anda bagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen. Laba ditahan tersebut biasanya diinvestasikan atau ditanamkan kembali ke dalam perusahaan dan nilainya anda akumulasikan selama umur hidup perusahaan anda.
Satu tips dari saya, kalau anda masih bingung tentang istilah dalam laporan keuangan laba rugi, tanyakan saja ke tetangga anda yang sekolah di SMK. Kalau nggak ada, cari mereka. Karena biasanya mereka sangat paham dengan laporan keuangan laba rugi tersebut.
Dan yang paling penting, biayanya relatif murah dibandingkan jika anda hanya sekedar bertanya-tanya masalah istilah laporan keuangan laba rugi dengan konsultan keuangan. Ok, seperti biasa, ada yang mau menambahkan?
--
Tips Bisnis Kilat : Bagaimana Memulai Membuka Usaha Makanan
Submitted by Om Nip-Nip on Wednesday, 31 March 20102 Comments
Tips Bisnis Kilat : Bagaimana Memulai Membuka Usaha Makanan
Kalau anda suka dengan usaha yang “berbau makanan”, saya punya tips singkat tentang bagaimana membuka peluang bisnis makanan.
Tips ini saya peroleh dari teman dekat saya, mas Yanuar Gajaksahda. Kebetulan mas Yanuar ini adalah seorang pebisnis yang punya hobi kuliner bareng istrinya.
Saya juga hobi kuliner. Bedanya hanya satu, saya lebih suka kuliner gratis alias dibayarin. Berikut ini tips singkat membuka usaha makanan dari mas Yanuar, monggo silahkan dinikmati…
Keberhasilan memulai membuka usaha makanan tidak hanya bergantung pada kemampuan membuat makanan yang lezat. Mengetahui cara bagaimana membuat makanan yang lezat dengan bisa mengelola sebuah bisnis adalah dua hal yang berbeda.
Dua hal tersebut harus anda gabungkan. Jadi selain anda tahu bagaimana cara membuat makanan yang enak, anda juga harus mengetahui bagaimana caranya membangun usaha makanan.
Dimulai dari produk, selalu perbaharui dan perbaiki kualitas masakan anda. Untuk mengetahui kualitas rasa dari masakan yang anda buat, gunakanlah selalu metode riset pemasaran. Caranya cukup mudah, berikan sampel kepada teman atau saudara terdekat anda untuk mengetahui pendapat mereka terhadap produk anda.
Setelah anda mendapatkan segala keinginan mereka, segera perbaiki produk anda sesuai dengan apa yang mereka mau. Anda juga harus bisa untuk selalu memperbarui resep serta memperbaiki penampilan makanan dan cara penyajiannya.
Untuk masalah pemasaran usaha makanan, perlu anda pikirkan juga bagaimana rencana outlet atau distribusi penjualan anda. Apakah anda berencana membuka toko makanan atau anda lebih suka bekerjasama dengan pihan lain. Terserah anda.
Yang penting, pertimbangkanlah baik buruknya sebelum anda memutuskan. Contoh sederhananya adalah jika anda memilih untuk membuka usaha makanan basah, anda bisa melakukan kerjasama dengan toko-toko makanan yang lokasinya strategis.
Jika anda tertarik untuk membuat gerai bisnis makanan sendiri, anda bisa mengambil konsep franchise untuk mengembangkan usaha anda. Anda juga bisa melakukan sistem konsinyasi dengan kantin-kantin sekolah misalnya. Lobilah kantin tersebut agar anda dapat mensuplai produk usaha makanan anda setiap hari.
Khusus untuk hal ini, anda harus memperhatikan sistem pengantarannya, karena hal ini berkaitan dengan ketepatan waktu serta biaya transportasi yang ujung-ujungnya mempengaruhi keuntungan anda.
Pikirkan juga teknologi yang anda gunakan dalam memulai membuka usaha makanan anda. Pertimbangkanlah, apakah pembuatan produk anda memerlukan ruangan khusus untuk mempersiapkannya, atau anda perlu membeli peralatan tertentu untuk menyimpan bahan baku.
Namun yang perlu anda pahami adalah pada saat awal memulai membuka usaha makanan, usahakan anda meminimalisasi pengeluaran untuk investasi teknologi produksi yang terlalu tinggi. Entah dengan menyewa mesinnya atau mencari mesin yang jauh lebih sederhana. Tujuannya agar beban kebutuhan modal awal usaha makanan anda tidak terlalu berat.
Setelah usaha bisnis makanan anda berjalan lancar dan punya keuntungan lebih, anda dapat membeli peralatan produksi tersebut. Tapi ingat, hal itu anda lakukan jika memungkinan. Jika tidak, jangan pernah mengorbankan kualitas produk bisnis makanan anda demi pengiritan modal investasi awal.
Selain beberapa hal diatas, anda juga harus memikirkan bahwa produk anda aman untuk dikonsumsi. Bisa jadi anda harus menguji makanan anda terlebih dahulu kepada pihak yang berkompeten untuk memastikan keamanan produk anda agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Satu lagi yang harus anda perhatikan, kemasan yang menjual. Selain bisa memberikan nilai lebih bagi produk anda, kemasan yang menjual juga dapat meningkatkan image produk anda yang akhirnya bisa mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Kemasan makanan bisa berasal dari plastik maupun kertas, yang penting aman untuk digunakan.
Terakhir, dalam memulai bisnis apapun termasuk memulai membuka usaha makanan, anda harus mengalahkan rasa takut gagal pada diri anda. Pikiran-pikiran seperti apakah produknya nanti laku atau tidak, bagaimana jika nanti ada yang mengeluh atau bagaimana jika anda rugi harus anda tepis jauh-jauh.
Caranya adalah dengan berpikiran positif, segera bertindak dan terus-menerus berusaha. Anda harus mempersiapkan mental usaha anda dan memahami bahwa usaha yang berhasil hanya dapat dicapai melalui proses yang penuh hambatan, insya Allah
--
Inilah Akibatnya Jika Meremehkan Perencanaan Bisnis!
Submitted by Om Nip-Nip on Thursday, 8 April 20106 Comments
Inilah Akibatnya Jika Meremehkan Perencanaan Bisnis!
Beberapa waktu yang lalu saya membaca postingan dari anne ahira tentang bisnis plan. Inti dari artikel anne ahira tersebut adalah banyak sekali orang yang masih meremehkan perencanaan bisnis, padahal rencana bisnis adalah masalah yang teramat penting jika anda akan memulai usaha.
Setelah membaca artikel beliau, saya tergerak untuk kembali mengangkat tema tersebut. Pada postingan yang lalu saya telah menyinggung tentang masalah pentingnya proposal usaha. Kali ini saya akan coba berikan kepada anda contoh akibat langsung jika anda meremehkan sebuah perencanaan bisnis.
Bejo dan Trimbil adalah sepasang sahabat karib sejak masa kuliah. Mereka juga punya kesenangan yang sama, menyukai tantangan, sehingga mereka kerap bersaing. Setelah mereka lulus, mereka terpisah karena sibuk dengan urusan masing-masing.
Akan tetapi setiap ada kesempatan, mereka berusaha untuk saling bertemu. Hingga suatu saat, mereka sama-sama mengikuti sebuah seminar bisnis. Begitu selesai, ternyata mereka berdua sepakat bahwa inilah yang mereka cari-cari selama ini.
Si Bejo langsung memutuskan untuk mencari bisnis. Akhirnya ia menemukan bisnis pertamanya, distributor produk consumer goods. Ia segera memulai usahanya dengan membeli produk tersebut dalam jumlah yang besar.
Ia kemudian memasang iklan untuk mencari seorang sales supervisor dan 8 orang salesman. Kemudian ia memutuskan untuk mencari agen. Ternyata dalam waktu cepat ia sudah mendapatkan seorang agen yang mau membeli dalam partai yang besar.
Bejo langsung merasakan keuntungannya. Pundi-pundi uangnya semakin banyak. Kemudian ia mendatangi si Trimbil. Ternyata si Trimbil belum memulai usahanya.
Ia sedang menulis tentang bagaimana nanti bisnisnya akan berjalan. Disindirnya si Trimbil tadi. Kata si Bejo, “Wah, kamu terlalu banyak pertimbangan. Nggak jalan-jalan usahamu. Bisnis itu yang penting langsung hajar. Praktek, nggak kebanyakan teori kayak kamu. Nih, aku dah untung banyak. Aku bisa jual sampai 1,5 ton per bulan”
Trimbil tetap santai. Ia lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Trimbil tidak silau akan dahsyatnya bisnis si Bejo. Ia lebih memilih untuk membuat perencanaan bisnis.
Ia memulainya dengan melakukan riset pemasaran. Trimbil tidak product oriented. Ia membuat masakan yang ia testerkan kepada 30 orang. Kritik dan saranpun berdatangan. Akhirnya ia bisa membuat makanan yang bisa memuaskan 30 responden tersebut.
Kemudian ia mempelajari bagaimana cara membaca laporan keuangan. Lima hari kemudian ia paham garis besarnya. Ia memilih untuk meng-hire seorang konsultan keuangan lepas buat mengerjakan laporan keuangannya tiap 3 bulan sekali.
Kemudian Trimbil menerapkan hukum pareto, mencari 10 lokasi yang pas buat usahanya, agar pertimbangannya banyak. Trimbil juga mulai mempelajari badan hukum. Mulai dari perusahaan perseorangan, firma, persekutuan komanditer dan perseroan terbatas. Semua ia pelajari dengan seksama.
Ia menghubungi temannya yang bekerja di bagian HRD untuk menanyakan bagaimana cara yang baik dalam mencari karyawan. Ia juga menanyakan bagaimana sistem penggajiannya, tunjangannya serta rancangan kontrak kerjanya.
Trimbil juga mencari tahu bagaimana jika nanti ternyata ia menggunakan investor. Ia memutuskan untuk mencari seorang pengacara bisnis. Ia tanyakan secara rinci bagaimana rancangan bahasa kontrak bisnis-nya. Semuanya ia tulis detail dalam sebuah perencanaan bisnis.
Tak terasa waktu sudah berjalan 6 bulan. Kemudian ia memutuskan untuk menengok si Bejo. Apa yang ia lihat sekarang ternyata berbeda dengan yang ia perkiraan. Si Bejo terlihat kusut. Bisnisnya hancur. Ia ditipu oleh agennya. Hal itu disebabkan karena ia sendiri yang membuat surat perjanjiannya. Ternyata surat perjanjiannya tidak kuat di mata hukum.
Kemudian ia tidak tahu bagaimana cara memantau kinerja salesnya. Banyak salesnya yang ternyata tidak turun ke lapangan. Gaji yang ia berikan ke supervisornya juga terlalu tinggi.
Ia tidak tahu sama sekali bagaimana cara memberikan gaji yang pas. Ia hanya mengira-ira saja. Dan parahnya, Bejo ditinggal oleh sales terbaiknya karena usahanya dinilai tidak berprospek.
Satu lagi yang yang membuat Bejo hancur, ia tidak menggunakan badan hukum. Begitu pihak pabrik meminta pertanggungjawaban atas barang yang ia ambil, ia tidak dapat melunasinya. Stok di gudang menumpuk karena sales terbaiknya pergi. Rumahnya disita buat melunasi hutangnya.
Bejo tidak tahu bahwa jika dia menggunakan PT, harta pribadinya bisa ia selamatkan. Investornya juga merasa dirugikan. Ia merasa ditipu oleh si Bejo. Ternyata ia tidak membuat perjanjian dengan investor tentang bagaimana nantinya jika perusahaan merugi. Ia beranggapan karena investornya adalah teman dekatnya, ia tidak perlu membuat kontrak bisnis dengannya.
Apa yang bisa anda pelajari dari mereka berdua? Bejo tidak merencanakan kesuksesan. Walaupun mengambil tindakan adalah bagian terpenting dalam memulai sebuah bisnis baru, Bejo tidak mempersiapkan diri untuk belajar dasar-dasar kepemilikian sebuah bisnis. Ia terpaksa harus mengecap pahitnya dunia bisnis yang nyata, bangkrut dan kehilangan uang.
Sebuah perencanaan bisnis bukan hanya lembaran kertas yang fungsinya untuk mencari investor. Bukan buat gaya-gayaan, bukan juga seperti tugas kuliah biar bisa dapat nilai A. Perencanaan bisnis tidak hanya sebuah peta perjalanan.
Perencanaan bisnis adalah sebuah daftar tentang hal-hal yang harus anda kerjakan dalam urutan yang benar. Perencanaan bisnis jangan diartikan sebagai “membuat bisnis yang terlalu sempurna” atau perfeksionis atau terlalu bertele-tele. Tetapi perencanaan bisnis bisa anda gunakan untuk mengelola dan meminimalisir resiko kegagalan.
Anda tahu siapa analogi karakter si Bejo diatas? Itulah saya dulu pada waktu awal memulai bisnis. Meremehkan perencanaan bisnis, terlalu terburu-buru dan yakin semuanya bisa berjalan dengan lancar tanpa adanya bisnis plan.
Jangan sampai anda seperti saya, merasakan benar-benar pahitnya dunia bisnis nyata. Butuh waktu yang lama untuk mengembalikan semuanya. Tidak hanya uang, tapi juga mental dan kepercayaan…
--
Apa itu Resesi?
Jump to Comments
Akhir-akhir ini ada kata yang mendadak populer…RESESI. Kata ini kini menjadi bahan pembicaraan berbagai orang, dari menteri hingga pedagang kaki lima. Dalam kondisi saat ini, memang bayangan resesi semakin nyata dan nampaknya sulit bagi perekonomian dunia untuk lari dari kenyataan ini.
Meskipun demikian, di tengah ‘populernya‘ kata Resesi ini, apakah anda tahu sebenarnya apa itu Resesi? Ketika seorang anak buah saya menyinggung soal resesi, saya lalu bertanya kepadanya ‘Apakah kamu tahu resesi itu sebenarnya apa?‘, anak buah saya tersebut berpikir beberapa lama sebelum akhirnya menjawab ‘errr… pokoknya resesi itu artinya ekonomi jelek‘…
Mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, anda akan bisa memberikan jawaban yang lebih baik daripada jawaban anak buah saya itu.
—–oOo—–
Resesi, secara umum dikatakan sebagai suatu tahap dalam siklus ekonomi di mana berbagai kegiatan ekonomi mengalami kontraksi. Mungkin bagi teman-teman dari latar belakang pendidikan non-ekonomi lalu bertanya, ‘apa terjemahannya dalam bahasa sehari-hari?‘
Secara sederhana, ini artinya kegiatan produksi dan konsumsi dalam suatu ekonomi mengalami penurunan. Orang-orang (konsumen) mengurangi konsumsinya. Akibatnya produsen pun terpaksa mengurangi produksinya juga. Pengurangan produksi ini biasanya akan menimbulkan rasionaliasi pekerja (alias PHK). Ini sebabnya mengapa biasanya resesi itu selalu terkait dengan tingkat pengangguran yang relatif tinggi.
Definisi di atas, seperti kita lihat merupakan suatu definisi yang ‘kasar’ dan tidak terlalu jelas. Teman-teman yang teliti mungkin akan bertanya, berapa besar penurunannya (kontraksinya) agar ekonomi bisa disebut resesi? Ekonomi tentu ada naik-turunnya. Bagaimana jika ekonomi minggu ini turun, lalu minggu depan naik dan minggu berikutnya lagi kembali turun? Apakah ini bisa disebut resesi? Jadi bagaimana definisi yang eksak (tepat) agar ekonomi bisa dikatakan ‘resesi’?
Percaya atau tidak, kata resesi tidak mempunyai definisi yang eksak (spesifik). National Bureau of Economic Research (NBER) sebuah badan riset ekonomi terbesar di Amerika, misalnya, hanya mendefinisikan Resesi sebagai:
a recession is a significant decline in economic activity spread across the economy, lasting more than a few months, normally visible in real GDP, real income, employment, industrial production, and wholesale-retail sales.
Dalam bahasa Indonesia:
Resesi adalah penurunan yang signifikan dalam aktifitas ekonomi, yang tersebar di keseluruhan ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, yang terlihat nyata dalam nilai PDB (Produk Domestik Bruto) Riil, tingkat pendapatan Riil, lapangan pekerjaan, produksi industri dan penjualan retail maupun grosir.
Seperti kita lihat, definisi NBER di atas, meskipun sedikit lebih ‘jelas’ dari definisi pertama, masih tidak terlalu jelas. Sebagai contoh, dalam definisi tersebut ada kata ’signifikan’, tetapi tidak ada kepastian berapa angka yang bisa dikatakan sebagai ’signifikan’.
Definisi lain yang kerap dipakai adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) selama 2 kwartal berturut-turut. Meskipun demikian, definisi ini kerap tidak ’sinkron’ dengan definisi dari NBER. Sebagai contoh NBER menyatakan tahun 2001 sebagai resesi meskipun aktifitas ekonomi mengalami penurunan di kwartal 1 dan 3 (alias tidak berturut-turut).
Definisi kata Resesi juga akan berbeda jika batasan pembahasan dirubah, dari skala nasional menjadi skala ‘global’. IMF misalnya, menyatakan ekonomi dunia sudah dikatakan memasuki resesi jika pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 3% ataupun dibawahnya.
—–oOo—–
Bagaimana dengan ‘resesi’ di negara berkembang?
Ekonomi di negara berkembang, biasanya tumbuh dengan persentase yang lebih tinggi daripada negara maju. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya, ekonomi Cina bisa tumbuh hingga dua digit (di atas 10%). Ekonomi Indonesia pun tumbuh di sekitar 6%. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Amerika yang bergerak di kisaran 2%.
Karena tingginya tingkat pertumbuhan di negara berkembang, maka biasanya untuk negara berkembang tidak perlu ‘menunggu’ hingga ekonominya minus sebelum dikatakan mengalami resesi. Seandainya pertumbuhan ekonomi di negara berkembang tumbuh terlalu pelan saja, maka negara tersebut sudah mengalami sesuatu yang dikenal sebagai Growth Recession (Resesi Pertumbuhan).
Dalam Growth Recession, pertumbuhan ekonomi tumbuh terlalu pelan untuk menyerap pertumbuhan tenaga kerja. Seperti kita tahu, pertumbuhan tenaga kerja di negara berkembang itu relatif sangat cepat sehingga dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang cepat juga untuk menyerap tenaga kerja itu. Ketika pertumbuhan ekonomi melambat, banyak tenaga kerja baru yang tidak terserap sehingga meningkatkan tingkat pengangguran. Akibatnya, ekonomi terasa seperti di dalam resesi.
Sebagai contoh, beberapa ekonom menyatakan bahwa ekonomi Cina akan mengalami permasalahan jika seandainya pertumbuhan ekonominya dibawah angka 6%. Bagaimana dengan Indonesia? Ironsinya, beberapa bulan lalu, OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menyatakan bahwa untuk menyerap pertumbuhan tenaga kerjanya, ekonomi Indonesia harus tumbuh minimal 8%.
PS: Saya jadi teringat seorang mantan Wapres kita yang ‘melecehkan’ program Keluarga Berencana. Tingginya pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor utama mengapa kita butuh pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula hanya sekedar utk menyerap tenaga kerja kita.
—–oOo—–
Seperti kita lihat di atas, kata ‘Resesi’ ternyata bisa mempunyai banyak pengertian. Karena beragamnya pengertian tentang ‘resesi’ inilah maka biasanya dalam konteks sederhana, resesi biasanya hanya dikatakan sebagai periode di mana ekonomi mengalami kontraksi.
--
Apa itu Resesi?
Jump to Comments
Akhir-akhir ini ada kata yang mendadak populer…RESESI. Kata ini kini menjadi bahan pembicaraan berbagai orang, dari menteri hingga pedagang kaki lima. Dalam kondisi saat ini, memang bayangan resesi semakin nyata dan nampaknya sulit bagi perekonomian dunia untuk lari dari kenyataan ini.
Meskipun demikian, di tengah ‘populernya‘ kata Resesi ini, apakah anda tahu sebenarnya apa itu Resesi? Ketika seorang anak buah saya menyinggung soal resesi, saya lalu bertanya kepadanya ‘Apakah kamu tahu resesi itu sebenarnya apa?‘, anak buah saya tersebut berpikir beberapa lama sebelum akhirnya menjawab ‘errr… pokoknya resesi itu artinya ekonomi jelek‘…
Mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, anda akan bisa memberikan jawaban yang lebih baik daripada jawaban anak buah saya itu.
—–oOo—–
Resesi, secara umum dikatakan sebagai suatu tahap dalam siklus ekonomi di mana berbagai kegiatan ekonomi mengalami kontraksi. Mungkin bagi teman-teman dari latar belakang pendidikan non-ekonomi lalu bertanya, ‘apa terjemahannya dalam bahasa sehari-hari?‘
Secara sederhana, ini artinya kegiatan produksi dan konsumsi dalam suatu ekonomi mengalami penurunan. Orang-orang (konsumen) mengurangi konsumsinya. Akibatnya produsen pun terpaksa mengurangi produksinya juga. Pengurangan produksi ini biasanya akan menimbulkan rasionaliasi pekerja (alias PHK). Ini sebabnya mengapa biasanya resesi itu selalu terkait dengan tingkat pengangguran yang relatif tinggi.
Definisi di atas, seperti kita lihat merupakan suatu definisi yang ‘kasar’ dan tidak terlalu jelas. Teman-teman yang teliti mungkin akan bertanya, berapa besar penurunannya (kontraksinya) agar ekonomi bisa disebut resesi? Ekonomi tentu ada naik-turunnya. Bagaimana jika ekonomi minggu ini turun, lalu minggu depan naik dan minggu berikutnya lagi kembali turun? Apakah ini bisa disebut resesi? Jadi bagaimana definisi yang eksak (tepat) agar ekonomi bisa dikatakan ‘resesi’?
Percaya atau tidak, kata resesi tidak mempunyai definisi yang eksak (spesifik). National Bureau of Economic Research (NBER) sebuah badan riset ekonomi terbesar di Amerika, misalnya, hanya mendefinisikan Resesi sebagai:
a recession is a significant decline in economic activity spread across the economy, lasting more than a few months, normally visible in real GDP, real income, employment, industrial production, and wholesale-retail sales.
Dalam bahasa Indonesia:
Resesi adalah penurunan yang signifikan dalam aktifitas ekonomi, yang tersebar di keseluruhan ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, yang terlihat nyata dalam nilai PDB (Produk Domestik Bruto) Riil, tingkat pendapatan Riil, lapangan pekerjaan, produksi industri dan penjualan retail maupun grosir.
Seperti kita lihat, definisi NBER di atas, meskipun sedikit lebih ‘jelas’ dari definisi pertama, masih tidak terlalu jelas. Sebagai contoh, dalam definisi tersebut ada kata ’signifikan’, tetapi tidak ada kepastian berapa angka yang bisa dikatakan sebagai ’signifikan’.
Definisi lain yang kerap dipakai adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) selama 2 kwartal berturut-turut. Meskipun demikian, definisi ini kerap tidak ’sinkron’ dengan definisi dari NBER. Sebagai contoh NBER menyatakan tahun 2001 sebagai resesi meskipun aktifitas ekonomi mengalami penurunan di kwartal 1 dan 3 (alias tidak berturut-turut).
Definisi kata Resesi juga akan berbeda jika batasan pembahasan dirubah, dari skala nasional menjadi skala ‘global’. IMF misalnya, menyatakan ekonomi dunia sudah dikatakan memasuki resesi jika pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 3% ataupun dibawahnya.
—–oOo—–
Bagaimana dengan ‘resesi’ di negara berkembang?
Ekonomi di negara berkembang, biasanya tumbuh dengan persentase yang lebih tinggi daripada negara maju. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya, ekonomi Cina bisa tumbuh hingga dua digit (di atas 10%). Ekonomi Indonesia pun tumbuh di sekitar 6%. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Amerika yang bergerak di kisaran 2%.
Karena tingginya tingkat pertumbuhan di negara berkembang, maka biasanya untuk negara berkembang tidak perlu ‘menunggu’ hingga ekonominya minus sebelum dikatakan mengalami resesi. Seandainya pertumbuhan ekonomi di negara berkembang tumbuh terlalu pelan saja, maka negara tersebut sudah mengalami sesuatu yang dikenal sebagai Growth Recession (Resesi Pertumbuhan).
Dalam Growth Recession, pertumbuhan ekonomi tumbuh terlalu pelan untuk menyerap pertumbuhan tenaga kerja. Seperti kita tahu, pertumbuhan tenaga kerja di negara berkembang itu relatif sangat cepat sehingga dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang cepat juga untuk menyerap tenaga kerja itu. Ketika pertumbuhan ekonomi melambat, banyak tenaga kerja baru yang tidak terserap sehingga meningkatkan tingkat pengangguran. Akibatnya, ekonomi terasa seperti di dalam resesi.
Sebagai contoh, beberapa ekonom menyatakan bahwa ekonomi Cina akan mengalami permasalahan jika seandainya pertumbuhan ekonominya dibawah angka 6%. Bagaimana dengan Indonesia? Ironsinya, beberapa bulan lalu, OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menyatakan bahwa untuk menyerap pertumbuhan tenaga kerjanya, ekonomi Indonesia harus tumbuh minimal 8%.
PS: Saya jadi teringat seorang mantan Wapres kita yang ‘melecehkan’ program Keluarga Berencana. Tingginya pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor utama mengapa kita butuh pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula hanya sekedar utk menyerap tenaga kerja kita.
—–oOo—–
Seperti kita lihat di atas, kata ‘Resesi’ ternyata bisa mempunyai banyak pengertian. Karena beragamnya pengertian tentang ‘resesi’ inilah maka biasanya dalam konteks sederhana, resesi biasanya hanya dikatakan sebagai periode di mana ekonomi mengalami kontraksi.
--
GM, Ford, Chrysler : Om, Kasihan Om… Belum Makan….. (Part 1)
Jump to Comments
Om… Kasihan Om… Belum Makan Om….
Saya rasa teman-teman yang tinggal di Jakarta mungkin sudah tidak asing lagi dengan kalimat di atas. Di restoran, lampu merah, ataupun ruang publik lainnya, kalimat ini (dan berbagai variasinya) menjadi ‘salam‘ dari kaum papa di negara kita.
‘Salam’ kaum papa ini sendiri terkadang bisa menimbulkan reaksi yang beragam. Bagi sebagian orang, ’salam’ tersebut menimbulkan rasa simpati, tetapi bagi sebagian orang lannya, hal yang sama bisa menimbulkan rasa sebal, Biasanya rasa sebal ini akan muncul kalau kalimat tersebut keluar dari mulut seseorang yang kita rasakan tidak pantas meminta-minta, misalnya saja anak muda yang masih sehat dan masih mampu merokok pula.
2 hari terakhir ini, ’salam’ yang kita bicarakan di atas juga ramai terdengar di Capitol Hill (semacam kompleks DPR USA). Yang menariknya, orang-orang yang mengucapkan ’salam’ tersebut berbaju jas rapi, dan datang ‘mengemis‘ ke Capitol Hill dengan naik pesawat jet pribadi.
—–oOo—–
Kisah yang saya ceritakan di atas saya lihat di berita tadi malam ketika sedang menyaksikan pertemuan antara para anggota Congress (semacam DPR USA) dengan para eksekutif industri otomotif USA, yaitu CEO GM, Ford dan Chrysler. Ketika seorang anggota Congress menanyakan kepada para eksekutif tersebut ‘siapa yang datang dengan pesawat jet pribadi‘, ketiganya mengacungkan tangannya. Adegan lucu ini bagi saya menjadi titik puncak dalam acara temu wicara tersebut.
Industri otomotif USA saat ini memang sedang berada dalam kondisi yang kritis. Kalah dalam persaingan dengan produsen otomotif Jepang, pangsa pasar mereka terus menerus menurun. Ketiga perusahaan ini pun berulang kali melaporkan kerugian dalam operasinya.
Kondisi jelek ketiga perusahaan ini kini diperparah oleh krisis ekonomi saat ini. Akibatnya, ketiga perusahaan tersebut kesulitan untuk mendapatkan dana bahkan untuk sekedar keperluan operasinya saja. GM misalnya, diperkirakan akan kehabisan uang utk beroperasi di awal tahun depan. Ford dan Chrysler pun tidak jauh berbeda. Jika ini terjadi, maka status ‘bangkrut’ bisa jadi menyusul tidak lama kemudian. Situasi inilah yang lalu mendorong ketiga perusahaan otomotif ini datang ke Capitol Hill untuk meminta kucuran dana bantuan sebesar 25 Milyar Dollar dari dana program Bailout Amerika yang sebesar 700 Milyar Dollar.
Meskipun demikian, dari hasil temu wicara antara Congress dengan Henry Paulson (Menteri Keuangan USA), tampaknya sulit untuk ketiga perusahaan otomotif tersebut mendapatkan ‘jatah’ dari dana program Bailout. Henry Paulson sebagai ‘pengelola’ program Bailout bersikeras bahwa dana 700 Milyar Dollar itu adalah semata-mata untuk menstabilkan sektor finansial, dan tentunya industri otomotif tidak tercakup ke dalamnya. Menteri Keuangan tersebut secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa jika seandainya Congress ingin menolong industri otomotif, mereka harus melakukannya melalui program yang terpisah dari program Bailout yg lalu.
—–oOo—–
Kisah GM, Ford, dan Chrysler yang kerap dipanggil sebagai Detroit Big Three ini sendiri cukup menarik untuk diikuti. Sama seperti salam ‘Om, Kasihan Om…’ yang kita lihat di awal artikel, permohonan bantuan dari Big Three ini juga mengundang reaksi yang beragam, ada yang bersimpati dan banyak juga yang menentang dengan ’sebal’.
Pihak yang bersimpati dengan permohonan bantuan Big Three umumnya melihat kasus ini dari dampak seandainya ketiganya benar-benar bangkrut. Ini tentunya akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perekonomian. Dalam hal ini bukan hanya karyawan Big Three saja yang akan kehilangan pekerjaan, tetapi juga berbagai perusahaan lainnya yang terkait, seperti supplier dan juga dealer otomotif. Diperkirakan kebangkrutan Big Three akan membuat sekitar 2-3 juta orang terancam kehilangan mata pencahariannya.
Di lain sisi pihak yang menentang pemberian bantuan kepada Big Three juga mempunyai argumen tersendiri. Umumnya, pihak-pihak ini mempunyai pendapat bahwa pinjaman sebesar 25 MIlyar tidak akan banyak menolong, dan lebih baik ketiganya masuk ke dalam status bangkrut dan mengajukan perlindungan Kebangkrutan Chapter 11 (bab 11). Mungkin tidak banyak pembaca blog yang mengetahui tentang status Perlindungan Kebangkrutan Chapter 11 ini, sehingga lebih baik saya menceritakan sedikit tentang hal yang satu ini.
Di Amerika, perusahaan yang mengalami kebangkrutan umumnya mempunyai 2 alternatif yang bisa ditempuh.
Alternatif pertama adalah mengajukan perlindungan status kebangkrutan Chapter 7. Dalam alternatif ini, perusahaan tersebut menghentikan keseluruhan operasinya dan memasuki proses Likuidasi. Dalam proses likuidasi ini, perusahaan menunjuk seorang Trustee yang akan mengurus penjualan asset-asset perusahaan itu. Hasil penjualan asset ini akan lalu dipakai untuk membayar segala hutang perusahaan itu. Setelah itu, jika masih ada nilai yang tersisa, akan dibagikan kepada para pemegang saham perusahaan tersebut.
Alternatif kedua bagi para perusahaan yang mengalami kebangkrutan di USA adalah mengajukan perlindungan kebangkrutan Chapter 11. Berbeda dengan Chapter 7, maka perusahaan yang mengajukan perlindungan Chapter 11 tidak berhenti beroperasi. Latar belakang dari adanya Chapter 11 ini adalah karena terkadang beberapa perusahaan yang bangkrut akan lebih bernilai jika tetap beroperasi dibandingkan dengan seandainya mereka dilikuidasi. Selain itu, dengan tetap beroperasinya perusahaan, diharapkan tidak terlalu banyak orang yang kehilangan mata pencahariannya.
Status perlindungan Chapter 11 ini memberikan kesempatan bagi perusahaan utk melakukan reorganisasi. Perusahaan yang meminta perlindungan Chapter 11, bisa menunda untuk membayar hutang-hutangnya kepada para kreditor. Mereka juga bisa menegosiasikan hutangnya agar dikurangi, dan sebagai imbalannya para kreditor akan mendapatkan saham di perusahaan tersebut senilai pengurangan hutang. Selain itu, mereka juga bisa menegosiasikan kembali kontrak-kontrak mereka, misalnya kontrak dengan serikat buruh, supplier dan lain-lain. Dengan adanya ‘perlindungan’ ini, diharapkan perusahaan tersebut bisa kembali sehat dan keluar dari status ‘bangkrut’-nya.
Lalu apa alasannya ada sebagian orang yang ’sebal’ dan berpendapat lebih baik industri otomotif masuk ke status kebangkrutan Chapter 11 saja? Ini akan saya ceritakan di part 2
---
GM, Ford, Chrysler : Om, Kasihan Om… Belum Makan….. (Part 2)
Jump to Comments
Kemarin saya sempat ‘curhat’ dengan salah satu pembaca lama blog ini. Saya mengatakan bahwa saya punya banyak hutang. Dalam hal ini, bukan hutang uang, tetapi hutang ‘janji’ kepada pembaca blog, misalnya saja artikel ttg rasio keuangan, lalu proyek ‘kamus ala JS’ yang juga terbengkalai, dan juga part 2 artikel seri ini. Teman tersebut lalu berkomentar ‘Wah bukankah artikel tentang GM sudah basi?’.
Bagi saya pribadi, kondisi 3 raksasa otomotif di atas masih mempunyai aspek yang menarik untuk dibicarakan. Mengapa? Karena selain masih ‘kusut’ dan belum terlihat bagaimana akhir ceritanya, saya melihat adanya sedikit kesamaan dengan kondisi di negara kita. Tahukah anda kira-kira apa kesamaan yang saya maksud?
—–oOo—–
Di akhir artikel part 1, saya menulis bahwa banyak orang yang ‘antipati’ terhadap bailout tiga perusahaan otomotif ini dan lebih setuju jika ketiganya masuk ke dalam status bangkrut Chapter 11.
Apa alasannya? Salah satu alasan utamanya adalah karena banyak orang yang menilai ketiga perusahaan ini sebenarnya sudah tidak layak berjalan lagi karena tidak kompetitif. Oleh karenanya akan lebih baik jika ketiganya masuk ke dalam status perlindungan kebangkrutan chapter 11 dan melakukan perombakan total, terutama dalam masalah kompensasi (upah) tenaga kerjanya.
Kompensasi tenaga kerja memang merupakan suatu masalah yang sangat mencekik ketiga perusahaan otomotif USA ini. Akar permasalahannya muncul pada era 80-an. Ketika itu, industri otomotif USA berulang kali dilanda pemogokan massal oleh karyawannya. Pemogokan massal ini dikoordinir oleh serikat buruh otomotif, UAW (United Auto Worker) yang memang mempunyai ‘kekuatan’ besar mengingat bisa dikatakan pada saat itu, pekerja sektor otomotif ‘diwajibkan’ masuk serikat buruh.
Untuk mengatasi masalah pemogokan massal ini, para pimpinan industri otomotif saat itu menempuh solusi jangka pendek, yaitu memberikan kompensasi yang lebih tinggi bagi para buruhnya. Mogok berhenti, pabrik bisa bekerja kembali, harga saham perusahaan tidak anjlok dan para pimpinan industri otomotif pada saat itu pun bisa tenang menghadapi pemegang sahamnya.
Tetapi akibat solusi jangka pendek pada masa lampau itu, kini ketiga perusahaan tersebut menerima ‘warisan’ berupa ongkos tenaga kerja yang sangat berat dibandingkan dengan pesaingnya. Akibat kebijakan kompensasi yang ‘royal’ pada saat itu, ketiga perusahaan otomotif USA ini harus membayar mahal para pekerjanya. Sebagai ilustrasi, ini adalah grafik perbandingan kompensasi total per jam kerja (termasuk tunjangan) antara Big Three (GM, Ford, Chrysler) dengan perusahaan otomotif ‘luar’ yang juga beroperasi di Amerika:
laborcosts
Sumber: Prof Mark J. Perry, Univ. of Michigan
Seperti kita lihat, kompensasi buruh total per jam dari perusahaan Big Three lebih tinggi sekitar 65% dibandingkan dengan pesaingnya. Suatu artikel yang saya baca (sudah agak lama sehingga saya tidak bisa menemukannya lagi) mengatakan bahwa akibat dari mahalnya ongkos tenaga kerja ini, ongkos produksi setiap mobil buatan Big Three lebih mahal US$ 2000-3000 dibandingkan mobil setipe produksi pesaingnya. Jika harga mobil itu adalah US$30 ribu, anda bisa hitung sendiri bagaimana pengaruhnya terhadap penjualan mobil tersebut.
Pesaing Big Three mempunyai keuntungan yaitu bahwa mereka tidak dibebani ‘warisan’ beban dari masa lalu. Selain itu, mereka umumnya beroperasi di negara bagian yang menerapkan prinsip ‘Right To Work’, dimana buruh tidak wajib bergabung di serikat buruh. Akibatnya kekuatan serikat buruh relatif tidak terlalu besar dan perusahaan lebih bisa bernegosiasi dengan pekerjanya
Salah satu bukti nyata besarnya ‘peran’ ongkos tenaga kerja ini terhadap permasalahan yang dihadapi Big Three adalah kinerja perusahaan Big Three di luar negeri. Anak perusahaan GM di Cina misalnya, justru mempunyai kinerja yang baik. Ini karena mereka tidak dibebani oleh permasalahan kompensasi buruh seperti yang dihadapi di Amerika.
Para penentang bailout Big Three, mengharapkan bahwa dengan masuk ke dalam status bangkrut Chapter 11, maka ketiga perusahaan itu bisa mempunyai kekuatan negosiasi yang lebih besar dalam menghadapi serikat buruhnya. Tanpa memperbaiki permasalahan yang mendasar ini, maka dikhawatirkan uang yang dikucurkan untuk melakukan bailout hanya akan sia-sia saja dan ketiga perusahaan tersebut tidak akan sanggup membayar ‘pinjaman’ tersebut malahan akan kembali meminta uang kepada pemerintah USA di masa depan.
Alasan ini yang lalu membuat badan Congress Amerika meminta perusahaan Big Three mengajukan proposal tentang apa perombakan yang akan mereka lakukan seandainya Congress mengabulkan permintaan bantuan mereka, dan bagaimana cara mereka akan membayar pinjaman tersebut. Singkatnya mereka harus mempunyai ‘Business Plan’ (Perencanaan Bisnis) yang meyakinkan sebelum Congress setuju untuk memberikan pinjaman kepada mereka.
Sampai saat ini, baru Ford yang telah mengajukan Business Plan tersebut (bisa dibaca di sini). GM dan Chrysler akan segera menyusul dalam waktu dekat.
—–oOo—–
Baru-baru ini tabloid Kontan menerbitkan sebuah wawancara dengan Anwar Ma’ruf, koordinator Nasional Aliansi Buruh Menggugat. Dalam wawancara tersebut, Anwar menyatakan bahwa upah buruh yang layak (nasional) seharusnya adalah Rp 3,2 juta untuk buruh lajang. Untuk yang memilik satu anak adalah Rp 5 juta, dan dua anak adalah Rp 6 juta.
Membaca artikel wawancara tersebut, saya langsung teringat kepada akar permasalahan yang dihadapi oleh Big Three, yaitu tuntutan yang terlalu ekstrim dari para pekerjanya. Konsep kompensasi seperti yang diusulkan di atas mungkin tiada bedanya dengan tuntutan para pemimpin serikat buruh otomotif Amerika di era 80-an itu. Ini hanya akan membebani perusahaan dan membuat produk perusahaan tersebut tidak kompetitif.
Saya pribadi selalu berpendapat bahwa tingkat kompensasi buruh, seharusnya lebih didasarkan kepada konsep Supply dan Demand. Ketika tingkat pengangguran tinggi, menerapkan tingkat UMR yang terlalu tinggi (dan naik terus setiap tahunnya) ibaratnya hanya memaksa perusahaan menanggung beban usaha yang lebih.
Upah yang seharusnya rendah menjadi tinggi secara artifisial. Padahal seharusnya upah rendah bisa menjadi salah satu daya tarik bagi perusahaan asing untuk masuk membuka lapangan kerja di negara itu. Seiring dengan semakin banyaknya perusahaan yang beroperasi, akan terjadi kompetisi untuk menarik pekerja sehingga tingkat upah akan naik dengan alami.
Contoh nyata dari apa yang saya kemukakan di atas bisa dilihat di kota propinsi GuangZhou, Cina. Sepuluh tahun lalu, upah buruh di sana relatif sangat murah. Ini lalu memancing berbagai perusahaan untuk membuka usaha di sana. Akibatnya terjadi persaingan untuk menarik pekerja sehingga tingkat upah pun meningkat. Dalam dua-tiga tahun terakhir misalnya, tingkat upah di kota Shenzhen meningkat hingga sekitar 2 kali lipat, bahkan jauh di atas nilai UMRnya.
Di Indonesia, setiap tahun penentuan nilai UMR selalu diwarnai oleh ‘pertentangan’ antara pengusaha dan pihak serikat buruh. Dalam kondisi ekonomi saat ini, tanpa adanya saling pengertian dari kedua belah pihak, yang akan dirugikan pada akhirnya adalah keseluruhan perekonomian mereka. Bayangkan suatu lingkaran ’setan’ dimana berbagai perusahaan tidak mampu memenuhi tuntutan buruh sehingga terpaksa tutup. Pengangguran semakin tinggi sehingga daya beli masyarakat semakin turun dan perusahaan lainnya semakin ’susah. Saya yakin, bahwa tidak ada orang yang berpola pikir sehat menginginkan hal ini terjadi.
Nah, teman-teman pembaca blog, bagaimana opini anda tentang masalah kompensasi perburuhan ini?
--
Duri-Duri Derita Derivatif: Pelajaran dari Kasus Perbankan Indonesia
Jump to Comments
Baru-baru ini, saya menerima sebuah e-mail dari pembaca blog ini. Isi emai itu sendiri sangat singkat:
Bung Edison, tolong dong diulas mengenai transaksi derivatif yang terjadi di bank akhir-akhir ini.
Karena topik itu agak menarik, saya pikir tidak ada salahnya saya memenuhi request/permintaan tersebut. Apalagi mengingat sudah agak lama sejak saya terakhir kali menulis artikel seri ‘Saya suka cerita ekonomi’.
Jadi apa sih sebenarnya ‘derivatif‘? Dan derivatif apa sih yang sedang dihebohkan akhir-akhir ini di Indonesia?
—–oOo—–
Pertama-tama mari kita lihat kata ‘derivatif‘. Derivatif, secara harafiah, mempunyai arti ‘turunan‘. Oleh karena itu, produk derivatif itu pada dasarnya berarti ‘produk turunan‘. Sebagai ilustrasi sederhana, misalkan saja kita lihat kacang kedelai. Jika kacang kedelai kita anggap sebagai ‘produk inti‘, maka tempe, tahu, susu kacang dan kecap bisa dikatakan sebagai produk turunan/derivatif dari kacang kedelai.
Setelah teman-teman mempunyai gambaran kasar tentang apa itu produk derivatif, pertanyaan berikutnya yang mungkin ditanyakan adalah produk derivatif apa yang dihebohkan? Dalam kasus yang sedang ramai dibicarakan di Indonesia saat ini, produk derivatif yang sedang dihebohkan itu adalah sesuatu yang lazimnya dikenal sebagai Forward Contract, atau yang lebih akrab dipanggil sebagai Forward (saja).
Forward, secara umum didefinisikan sebagai kontrak yang mengikat antara 2 pihak untuk melakukan transaksi jual-beli suatu asset di masa depan. Definisi tersebut terlalu rumit? Sederhananya mari kita lihat ilustrasi sederhana saja:
* Ilustrasi 1: Saya ingin menjual sepetak tanah milik saya dengan harga Rp 20 juta. Alina ingin membeli tanah tersebut dan ia mempunyai uang Rp 20 juta. Alina membayar Rp 20 juta ke saya, dan saya lalu menyerahkan surat tanah tersebut saat itu juga.
* Ilustrasi 2: Saya ingin menjual sepetak tanah milik saya dengan harga Rp 20 juta. Alina ingin membeli tanah tersebut, TETAPI sayangnya saat ini ia tidak mempunyai uang Rp 20 juta. Ia baru akan mempunyai uang sebesar itu di tahun depan. Akhirnya setelah bernegosiasi, kami berdua menandatangani kontrak untuk melakukan jual beli di tahun depan, tetapi dengan harga Rp 22 juta. Kontrak tersebut mengikat secara hukum dan transaksi tidak bisa dibatalkan secara sepihak saja, baik oleh saya ataupun oleh Alina (ingat baik-baik aspek ini, karena sangat penting).
Apakah anda bisa menebak, mana kira-kira dari 2 ilustrasi transaksi di atas yang merupakan transaksi Forward? Jika anda menjawab ilustrasi yang ke-2, maka berarti anda telah mempunyai gambaran seperti apa kira-kira transaksi forward itu.
PS: Sebagian dari teman-teman yang cermat mungkin lalu bertanya, kenapa dalam ilustrasi ke-2, harga transaksinya menjadi Rp 22 juta? Jawabannya adalah karena saya (dalam ilustrasi tersebut) tidak ‘bodoh’. Jika seandainya transaksi jual-beli tanah tersebut dilakukan saat ini, maka saya bisa mendapatkan Rp 20 juta. Jika uang tersebut saya masukkan ke deposito (asumsi bunga bersih 10%), maka di tahun depan uang tersebut sudah akan menjadi Rp 22 juta. Jika transaksi jual beli tersebut dilakukan secara Forward, dan harganya tetap Rp 20 juta, maka tentunya saya ‘rugi’ bunga selama setahun.
—–oOo—–
Nah, jika dalam ilustrasi di atas yang menjadi produk ‘inti‘ adalah sepetak tanah, apa produk ‘inti‘ dari kontrak Forward yang menjadi kasus saat ini? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Dollar. Bagaimana jalan ceritanya? Untuk mengerti cerita ini, mari kita lihat sebuah ilustrasi sederhana tentang bisnis seorang Eksportir sepatu.
Misalkan saja saya adalah seorang eksportir sepatu. Saya menerima pesanan ekspor sepatu senilai $10.000,-. Anggap saja kurs saat ini adalah 1$=Rp 10 Ribu.
Untuk memproduksi sepatu pesanan tersebut, saya perlu mengeluarkan berbagai biaya (biaya bahan baku, upah buruh, dll). Berbagai biaya tersebut tentunya saya bayar dalam Rupiah. Anggaplah saja total seluruh biaya yang saya bayarkan itu adalah Rp 90 juta. Dengan sedikit berhitung, kita bisa melihat bahwa keuntungan saya adalah sebesar Rp 10 juta, yaitu dari ($10.000 x Rp 10 ribu)-Rp 90 juta.
Sayangnya, dalam prakteknya kenyataannya tidak sederhana itu. Dalam melakukan ekspor, umumnya si pembeli baru akan membayar setelah menerima produk tersebut. Ini akan memakan waktu yang lumayan lama (bisa mencapai beberapa bulan). Anggaplah saja dalam ilustrasi ini, uang $10.000 tersebut baru bisa saya terima 3 bulan lagi.
Bagaimana seandainya jika dalam masa 3 bulan itu nilai dollar naik drastis menjadi Rp 12.o00/dollar? Tentunya saya akan senang sekali karena keuntungan yang saya dapatkan membengkak dari Rp 10 juta menjadi Rp 30 juta.
Tetapi bagaimana jika seandainya nilai dollar turun menjadi 1$=Rp 8.000? Jika ini terjadi, maka alih-alih untung, saya malah akan menderita kerugian, karena nilai uang yang saya terima tinggal menjadi Rp 80 juta (bahkan tidak cukup untuk menutup biaya yang saya keluarkan).
Pelaku bisnis yang sehat BIASANYA tidak terlalu ingin menanggung resiko seperti di atas. Keuntungan yang mereka harapkan adalah berasal dari operasi bisnis mereka, dan tidak terlalu mengharapkan ‘durian runtuh‘ dari pergerakan kurs tukar.
Apa solusinya? Saya pun melakukan proteksi dengan melakukan transaksi Forward. Saya dan bank D mengikat kontrak forward, dimana saya berjanji bahwa 3 bulan kemudian, saya akan menjual $10.000 dollar kepada bank tersebut. Dalam ilustrasi ini, anggap saja bank D tersebut berpendapat bahwa 3 bulan lagi nilai dollar akan naik banyak. Akibatnya mereka berani membeli dari saya dengan harga lebih tinggi dari sekarang. Misalnya saja dengan kurs 1$=Rp 11.000.
Bagaimana jika 3 bulan kemudian nilai dollar menjadi 1$=Rp 12.000? Saya tetap terpaksa menjual dengan harga Rp 11.000 karena sudah terikat kontrak. Meskipun sepintas, terlihat bahwa saya seperti rugi, tetapi secara operasional saya tetap menikmati keuntungan karena biaya yang saya keluarkan hanya Rp 90 juta, dan uang yang saya dapatkan adalah Rp 110 juta. Saya tetap menikmati keuntungan kenaikan kurs, hanya saja keuntungan kursnya tidak sebesar seandainya saya tidak terikat kontrak Forward tersebut.
Sebaliknya, jika ternyata tanpa diduga, nilai dollar turun ke 1$=Rp 8500, saya tetap terlindungi karena bank akan tetap harus membeli dari saya dengan harga 1$=Rp 11.000.
—–oOo—–
Ilustrasi di atas merupakan contoh dari transaksi Forward yang digunakan secara ‘sehat‘ untuk menjaga kelancaran operasional. Praktek seperti di atas lazimnya dikenal sebagai ‘Hedging’ dan biasanya tidak menimbulkan masalah. Permasalahannya justru timbul ketika Forward dilakukan untuk spekulasi.
Melanjutkan ilustrasi di atas, anggaplah saja Mister Gekko adalah seorang spekulan sejati. Ia tidak mempunyai pendapatan dalam dollar seperti saya. Tetapi ia mempunyai ‘firasat’ bahwa 3 bulan lagi, meskipun dollar bisa mengalami kenaikan, kenaikannya maksimal mencapai kurs 1$=Rp 10.500,-.
Jadi apa yang dilakukan oleh Mister Gekko? Ia pun mengambil kontrak forward tersebut sebanyak-banyaknya. Harapannya adalah, dalam 3 bulan lagi, ia akan bisa membeli dollar dengan harga Rp 10.500 di pasar, padahal saat itu bank akan harus membeli darinya dengan harga Rp 11.000,-. Seandainya spekulasinya tepat, ia akan bisa menikmati keuntungan Rp 500 per dollarnya.
Tetapi bagaimana jika ternyata 3 bulan kemudian ‘ramalan‘ Mister Gekko salah total dan dollar menggila ke kurs 1$=Rp 15.000? Pada saat itu (karena ia tidak mempunyai pendapatan dalam dollar), ia pun terpaksa membeli dollar di pasar dengan harga Rp 15.000/dollar dan menjual rugi kepada bank dengan harga Rp 11.000/dollar, alias rugi Rp 4000/dollar.
Ilustrasi kasus Mister Gekko di atas, bisa dikatakan tidak berbeda jauh dengan kisah nasabah-nasabah yang terjerat kasus derivatif akhir-akhir ini. Seperti yg bisa dibaca di artikel harian Kompas ini, seorang nasabah mengikat kontrak untuk menjual dollar kepada bank dengan harga 1$=Rp 9.650. Ketika itu dollar masih berkisar di 1$=Rp 9.100,-. Ia optimis bahwa jikalau naikpun, maksimal dollar hanya akan mencapai 1$=9.575,- (alias ia masih bisa untung Rp 75).
Tetapi apa daya, seperti kita tahu, rupiah kini melemah drastis. Akibatnya untuk memenuhi kontrak Forward tersebut, sang nasabah harus membeli dollar di pasar dengan harga 1$=Rp12.000++ dan menjualnya ke bank dengan harga Rp 9.650,- alias rugi lebih dari Rp 2.000/dollarnya. Sakit kepala kan?
—–oOo—–
Masih seputar kasus Forward ini, dikabarkan bahwa meskipun kontrak Forward yang ‘jebol‘ kebanyakan bersifat spekulasi, ada beberapa kontrak Forward yang sebenarnya untuk ‘proteksi’ pun jebol. Ini karena tidak sedikit pembeli luar negeri yang membatalkan pesanan dari negara kita (karena kondisi ekonomi negaranya pun lesu). Akibatnya beberapa eksportir tidak mendapatkan dollar seperti yang diperhitungkan. Mereka pun akhirnya kekurangan dollar untuk memenuhi kontrak Forwardnya.
Kasus derivatif ini sendiri kemudian ikut ‘melilit‘ bank-bank yang memasarkan produk derivatif Forward tersebut. Mengapa demikian? Karena bank lokal pun melakukan kontrak forward dengan bank asing. Dollar yang mereka beli dari nasabah melalui kontrak forward, langsung ‘dioper‘ lagi dengan kontrak forward kepada bank asing. Ketika nasabah gagal memenuhi kontrak Forwardnya, bank lokal pun ‘kalang-kabut‘ karena tetap harus memenuhi kontrak forward dollar mereka ke bank asing.
--
Kisah Seputar Bobroknya Manajemen Operasional Bank
Jump to Comments
Kemarin pagi istri saya bercerita tentang sebuah Surat Pembaca yang dilihatnya di harian Kompas beberapa waktu yang lalu. Setelah mendengar ceritanya, saya lalu teringat pengalaman pribadi saya beberapa tahun yang hampir ‘sejenis‘. Akhirnya artikel ini pun saya tulis karena saya merasa pengalaman pribadi saya dan juga cerita di surat pembaca tersebut bisa menjadi bahan ‘pelajaran’ bagi teman-teman pembaca.
Pertama-tama, mari kita lihat pengalaman pengalaman pribadi saya terlebih dahulu.
—–oOo—–
Teman-teman pembaca yang rajin mengikuti blog ini, mungkin ingat bahwa saya selalu menekankan pentingnya untuk mempunyai dana darurat yang harus ditempatkan dalam bentuk yang sangat likuid, yaitu tabungan dan deposito (bisa juga obligasi jangka pendek). Dalam kasus saya, sebagian dari dana darurat yang saya miliki, saya tempatkan di tabungan di Bank Mandiri. Karena memang dana darurat itu tidak boleh ‘disentuh‘ kecuali jika ada keperluan darurat, maka tabungan tersebut memang tidak aktif alias jarang ada transaksi. Rekeningnya pun jarang sekali saya periksa (setahun mungkin cuma 1-2 kali).
Seperti saya katakan di awal artikel, kejadian ini terjadi beberapa tahun lalu. Suatu hari, saya meminta seorang anak buah saya membawa buku tabungan rekening tersebut untuk dicetak. Seusai dicetak, ketika memeriksa buku tabungan tersebut, saya lalu menemukan keanehan. Ternyata di rekening saya yang seharusnya tidak aktif tersebut, malah timbul beberapa transaksi keluar masuk, dan saldo akhirnya jauh berkurang dari yang seharusnya.
Saya pun langsung berangkat ke cabang Mandiri yang bersangkutan untuk meminta penjelasan. Setelah diusut, ternyata salah satu karyawati bagian Kasir merupakan biang keladinya. Karena ia tahu bahwa rekening saya tersebut tidak aktif, maka ia pun lalu menarik dana saya dan digunakan untuk keperluan pribadinya. Sepertinya dalam kasus saya tersebut, manajemen operasional bank tersebut tidak baik, sehingga bisa terjadi penarikan dana nasabah (saya) tanpa otorisasi.
—–oOo—–
Ironisnya, kisah horor yang menimpa saya ini tidak berakhir di sana.
Meskipun ini sudah jelas merupakan kasus kesalahan internal Bank, oleh pihak Bank Mandiri, kasus ini justru dilempar kepada saya dan karyawati Bank tersebut. Bank Mandiri pada awalnya ingin ‘cuci tangan‘ dan meminta saya untuk meminta pertanggung-jawaban dari karyawati tersebut. Singkat kata, saya diminta untuk menagih sendiri uang saya yang hilang itu dari yang bersangkutan.
Tentunya saya menolak mentah-mentah urusan konyol itu, karena berbagai alasan:
Alasan pertama dan paling utama adalah bahwa karena saya ‘menitipkan‘ (menabung) uang saya kepada Bank Mandiri dan bukan kepada karyawati tersebut. Produk tabungan tersebut adalah produk Bank Mandiri dan bukan ‘Bank Karyawati’.Jika Bank sampai kehilangan uang saya, tentunya Bank yang harus bertanggung jawab kepada saya.
Alasan kedua, adalah karena uang yang hilang jumlahnya jauh lebih besar daripada gaji karyawati tersebut sehingga akan membutuhkan waktu yang sangat lama bagi karyawati tersebut untuk mengembalikan dana saya.
Saya pun dengan keras meminta pertanggung-jawaban dari Bank. Permintaan saya hanyalah bahwa uang saya dikembalikan utuh dengan memperhitungkan juga selisih bunga yang hilang selama dana saya disalahgunakan. Saya tidak tertarik untuk menuntut secara hukum karyawati yang bersangkutan, karena itu seharusnya menjadi keputusan Bank apakah ingin memperkarakan karyawati tersebut atau tidak.
Di belakang cerita ini sendiri, ada sebuah kisah yang agak ‘lucu‘. Karena ia sepertinya tidak menemukan jalan keluar untuk mempertanggung-jawabkan dana tersebut, si karyawati yang bersangkutan malah menelpon ayah saya, karena ayah saya merupakan nasabah lama di bank tersebut. Di kontak telpon itu, ia mengutarakan niatnya untuk meminjam uang dari ayah saya dengan jaminan rumah. Jika dikabulkan, uang pinjaman tersebut akan dipakai untuk mengembalikan dana ke saya.
Ketika ayah saya menceritakan hal ini, saya langsung melarang ayah saya untuk mengabulkan permintaannya tersebut. Ini karena jika dikabulkan, Bank Mandiri benar-benar bisa ‘cuci tangan‘ dan kasus ini malah benar akan menjadi kasus pribadi antara keluarga saya dengan karyawati tersebut.
Kekisruhan ini berlangsung selama beberapa bulan, sebelum akhirnya saya bisa menerima kembali dana di tabungan saya tersebut. Saya pribadi tidak tahu (dan juga tidak tertarik untuk tahu) bagaimana Bank Mandiri menyelesaikan masalah tersebut. Sampai kini, saya masih menyimpan buku tabungan tersebut sebagai ‘kenang-kenangan‘.
—–oOo—–
Lain kisah saya, lain lagi kisah yang dibaca oleh istri saya di surat pembaca (Redaksi Yth) di harian Kompas 12 Februari 2008.
Dalam surat pembaca tersebut, saudara Irving Hutagalung menuliskan pengalaman ‘mimpi buruknya‘ dengan bank Danamon. Pada bulan November 2008, saudara Irving tersebut menerima kiriman rekening koran dari Bank Danamon, padahal ia tidak memiliki rekening apapun di Bank Tersebut.
Merasa aneh, saudara Irving lalu menghubungi Call Center Bank Danamon. Dari sana ia ‘dioper‘ ke Bank Danamon cabang Radio Dalam. Setelah mengecek langsung ke cabang tersebut, ternyata rekening tersebut dibuka atas instruksi dari bagian Kartu Kredit di Bank Danamon Pecenongan, Jakarta. Saudara Irving dan staf Danamon Radio Dalam pun bersama-sama menuju ke cabang Pecenongan tersebut.
Sesampainya di Danamon cabang Pecenongan, ternyata ditemukan orang yang bertanggung jawab atas pembukaan rekening tersebut (berinisal A?) dari bagian Sales. Yang bersangkutan (A?) membuka rekening kartu kredit dan Kredit Tanpa Agunan (KTA) menggunakan data pribadi saudara Irving, dan lalu menggunakannya untuk keperluan pribadinya. (Ini lazimnya dikenal sebagai kasus Identity Theft).
Mirip dengan yang terjadi di kasus saya, Saudara Irving, dalam surat pembaca tersebut bercerita bahwa pada awalnya pihak Bank Danamon melempar masalah ini kepada pelaku (saudara A), dan saudara Irving diarahkan untuk meminta pertanggung-jawaban dari yang bersangkutan. Saudara Irving menolak karena ini merupakan permasalahan internal Bank Danamon. Kesan yang saya dapatkan dari surat pembaca itu, (dan juga mengingat pengalaman pribadi saya di atas) bukan tidak mungkin malah saudara Irving yang diminta menagih uang kepada saudara A.
Sayangnya di surat pembaca tersebut, tidak jelas bagaimana akhir dari kasus ini.
PS: Kebetulan saya berhasil menemukan nama Irving Hutagalung di internet (mudah-mudahan tidak salah orang). Saya telah mencoba mengkontak saudara Irving tersebut untuk meminta detil kisahnya. Tetapi sayangnya sampai sekarang belum ada respon dari yang bersangkutan.
—–oOo—–
Sebagian pembaca blog mungkin juga telah mendengar tentang kisah 2 kali bobolnya Safety Box (Kotak Aman) di BII cabang Thamrin. Dua orang penyewa safety box di bank tersebut mengklaim telah kehilangan barang berharganya yang dititipkan di sana. Kasus ini sendiri belum jelas bagaimana akhirnya, dan kemungkinan memang akan sulit diusut. Ini karena memang dalam menyewakan safety box, Bank tidak bisa mengetahui apa saja yang dimasukkan oleh si penyewa ke dalam safety box. Akibatnya kasus ini akan menjadi kasus ‘Ucapan saya VS Ucapan Kamu‘. Meskipun demikian, mengingat kasus yang sama terjadi sampai 2 kali di cabang yang sama, tentunya tidak aneh jika sebagian dari kita mempertanyakan apakah ini kasus ini bukan terjadi karena kekacauan manajemen operasional bank.
Jadi kira-kira pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah-kisah di atas?
Kisah-kisah yang kita lihat hari ini, memang sarat dengan hal-hal yang di luar kendali kita. Tetapi tentunya ini bukan berarti kita lalu tinggal diam saja. Saya pribadi melihat ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan:
* Tetaplah rajin memeriksa rekening tabungan anda meskipun tabungan tersebut tidak aktif. Dalam kasus pengalaman saya, jika seandainya saya rajin memeriksa rekening tabungan tersebut (buku selalu rutin diprint setiap bulan), maka mungkin si kasir bank tersebut tidak akan berani mengotak-ngatik dana di tabungan saya karena akan cepat ketahuan.
* Jagalah data pribadi anda baik-baik. Hindari memberikan data pribadi dan copy KTP kita kepada orang lain, kecuali memang sangat diperlukan. Seperti kita tahu, kerap kali kita ditawarkan kartu kredit dengan iming-iming ‘Cuma perlu KTP saja pak‘. Kadang-kala mereka pun menawarkan souvenir kecil seperti boneka kecil ataupun pen, sehingga tidak sedikit di antara kita yang berpikir ‘lumayan, cuma dengan modal KTP bisa dapat hadiah gratis‘. Data dan copy KTP yang kita berikan itu, terkadang tidak ‘dijaga’ dengan baik dan rentan untuk dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
* Jika anda menyewa safety box (kotak aman), ada baiknya kita membuat sebuah catatan yang berisi daftar-daftar barang yang kita masukkan ke sana. Perbaharui catatan tersebut setiap kali kita memasukkan ataupun mengeluarkan barang di safety box. Selain itu periksalah isi safetybox tersebut secara rutin. Ini memang tidak bisa mencegah ‘kasus aneh pembobolan safety box’ seperti yang kita baca tersebut. Tetapi minimal dengan cara ini, kita bisa menginventarisasi barang kita sehingga jika ada yang barang yang hilang dari safetybox tersebut, kita bisa menyadarinya dengan lebih cepat. Ini juga untuk mencegah kita ‘lupa‘ dan mengira barang kita lenyap dari safety box, meskipun sebenarnya barang tersebut memang tidak kita masukkan ke sana.
--
Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS)
Jump to Comments
Article by Alina
Berbicara mengenai Lembaga Penjaminan Simpanan, rasanya saya yakin tidak ada pembaca blog ini yang tidak mengenal badan yang satu ini. Bahkan jika ada orang yang belum pernah mendengar tentang LPS, maka hanya dari namanya saja, orang tersebut akan bisa menebak bahwa ‘tugas’ LPS adalah menjamin simpanan.
Nah, masalahnya kini, apakah anda sudah benar-benar mengerti cara menentukan simpanan/tabungan mana saja yang dijamin oleh LPS? Sebagian dari pembaca blog mungkin akan mengatakan bahwa ‘asalkan bunganya tidak di atas bunga penjaminan dan nilainya tidak di atas Rp 2 milyar, maka termasuk simpanan/tabungan yang dijamin’.
Meskipun jawaban tersebut benar, tetapi sebenarnya ada beberapa hal lagi yang masih terkait dengan penjaminan simpanan yang justru kerap tidak diketahui oleh banyak orang. Dalam artikel ini, kita akan melihat bersama-sama cara penentuan simpanan yang dijamin oleh LPS.
—–oOo—–
Sebelum kita melihat sistem penjaminan simpanan, pertama-tama mari kita lihat dahulu ’sejarah’ dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). LPS adalah suatu badan hukum independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). Kenapa ada lembaga ini? Untuk menjelaskan hal ini kita flashback dulu pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan menerpa ekonomi di Indonesia, ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank. Hal ini mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia untuk menyimpan uangnya di bank. Untuk meningkatkan kembali tingkat kepercayaan masyarakat agar mau kembali menyimpan uangnya di bank, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee).
Blanket guarantee yang diberikan pemerintah pada tahun 1998 memang berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank. Hanya saja, kebijakan ini disalahgunakan dan menimbulkan moral hazard. Oknum bank membawa kabur uang ke luar negeri, meninggalkan hutang Rp600 triliun yang harus dibayar negara menggunakan pajak. Untuk menimalisasi terjadinya moral hazard inilah dibentuk Lembaga Penjaminan Simpanan.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS memiliki dua fungsi, yaitu :
1. Menjamin simpanan nasabah bank yang sesuai dengan ketentuan berlaku saat itu.
2. Melakukan penyelesaian atau penanganan bank yang tidak berhasil disehatkan atau bank gagal.
Bank peserta program penjaminan LPS adalah semua Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik bank konvesional maupun bank syariah.
—ooO00–
Saat ini syarat yang berlaku untuk simpanan nasabah yang dijamin oleh LPS adalah :
1. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank adalah paling banyak sebesar Rp 2 Milyar
2. Suku bunga maksimal yang dijamin oleh LPS (per saat artikel ini ditulis) :
* Simpanan mata uang Rupiah di Bank Umum 8.25% dan di Bank Perkreditan Rakyat 11.75%
* Simpanan mata uang Dollar di Bank Umum 2.75%
Sebagai gambaran, saya akan berikan ilustrasi untuk syarat yang pertama, yaitu saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank adalah paling banyak sebesar Rp 2 Milyar.
Konobe, Bung Edison, dan Alina merupakan nasabah dari Bank JanganSerakah (anggap semua simpanan di Bank JS suku bunganya tidak melebihi suku bunga maksimal penjaminan LPS) . Bank JS merupakan salah satu bank yang masuk penjaminan LPS. Di Bank JS Konobe memiliki tabungan Rp 700 juta dan deposito Rp 1,5 milyar. Bung Edison memiliki deposito Rp 2,7 milyar. Alina memiliki tabungan Rp 300 juta dan deposito Rp 1,5 milyar. Wah pada banyak uangnya ya, ingat ini cuma ilustrasi saja, mengkhayal dikt gpp kan…
Akibat krisis ekonomi Bank JS kesulitan likuiditas dan akhirnya Bank JS mengalami kebangkrutan dan ijin usahanya dicabut oleh BI. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) selanjutnya akan segera menyelesaikan klaim penjaminan simpanan nasabah Bank JS. Klaim penjaminan yang akan dibayar oleh LPS maksimal Rp 2 milyar untuk setiap nasabah. Perhitungan nilai simpanan yang dijamin untuk masing-masing nasabah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Rp 2 milyar kepada Konobe
2. Rp 2 milyar kepada Bung Edison
3. Rp 1,8 milyar kepada Alina
Nah bagi nasabah yang sebagian simpanannya tidak dibayarkan oleh LPS arena saldo simpanannya telah melebihi jumlah maksimum simpanan yang dijamin, LPS akan menerbitkan Surat Keterangan mengenai saldo rekening yang tidak dibayarkan tersebut, yaitu:
1. Konobe, simpanan yang tidak dibayar LPS Rp 200 juta (total simpanan – Rp 2 milyar)
2. Bung Edison, simpanan yang tidak dibayar LPS Rp 700 juta (total simpanan – Rp 2 milyar)
Kemudian nasib sisa uangnya bagaimana? Sisa simpanan yang tidak dibayar oleh LPS akan diselesaikan dengan mekanisme likuidasi, yaitu semua kewajiban (hutang) Bank JS dibayar dari hasil penjualan seluruh aset Bank JS. Nah sisa simpanan yang tidak dibayar oleh LPS ini termasuk kewajiban (hutang) Bank JS.
—ooO00–
Sebagai gambaran berikutnya, saya berikan ilustrasi untuk syarat ke dua, yaitu suku bunga maksimal yang dijamin oleh LPS.
Setelah Bank JS dilikudasi, Konobe, Bung Edison dan Alina memutuskan untuk pindah bank (ya iya, nyimpen di Bank JS lagi udah ga bisa), tapi ketiganya memilih bank yang berbeda (wah marahan ya nie). Konobe menyimpan uangnya ke dalam deposito rupiah di Bank Umum A dengan tingkat bunga 8.5%. Bung Edison menyimpan uangnya ke dalam deposito dolar di Bank Umum B dengan tingkat bunga 3%. Alina menyimpan uangnya ke dalam deposito rupiah di Bank Perkreditan Rakyat C dengan tingkat bunga 11.75% (anggap semua simpanan masing-masing besarnya tidak melebihi Rp 2 milyar).
Ternyata krisis ekonomi masih terus berlanjut dan ketiga bank tersebut juga mengalami kesulitan likuiditas seperti Bank JS. Akhirnya ketiga Bank tersebut diambil alih oleh LPS dan akan segera menyelesaikan klaim penjaminan simpanan nasabahnya. Klaim penjaminan yang akan dibayar oleh LPS adalah nasabah dengan bunga simpanan tidak melebihi suku bunga maksimal penjaminan LPS. Jadi bagaimana nasib simpanan mereka ?
* Konobe klaimnya tidak dibayar oleh LPS karena simpanannya dalam deposito rupiah di Bank Umum A dengan tingkat bunga 8.5%. Tingkat suku bunganya berada di atas suku bunga maksimal penjaminan LPS untuk simpanan rupiah di Bank Umum (8.25%), meskipun nilai simpananya tidak melebihi Rp 2 milyar.
* Bung Edison klaimnya tidak dibayar oleh LPS karena simpanannya dalam deposito dolar di Bank Umum B dengan tingkat bunga 3%. Tingkat suku bunganya berada di atas suku bunga maksimal penjaminan LPS untuk simpanan dolar di Bank Umum (2.75%), meskipun nilai simpananya tidak melebihi Rp 2 milyar.
* Alina klaimnya dibayar oleh LPS karena simpanannya dalam deposito rupiah di Bank Perkreditan Rakyat C dengan tingkat bunga 11.75%. Tingkat suku bunganya sama dengan suku bunga maksimal penjaminan LPS untuk simpanan rupiah di Bank Perkreditan Rakyat.
—ooO00–
Nah dari seluruh dana masyarakat yang disimpan di Bank senilai Rp 1,783.74 triliun, 46% (Rp 818.89 triliun) diantaranya besarnya lebih dari Rp 2 milyar. Beberapa hari lalu saya menemukan pernyataan di 3 web berita nasional yang menyatakan 46% dana nasabah tersebut tidak berhak mengikuti penjaminan karena punya saldo di atas Rp 2 miliar. Meskipun bernilai di atas Rp 2 milyar, bukan berarti 46% dana nasabah tersebut tidak berhak mengikuti penjaminan. Simpanan mereka tetap dijamin sebagian oleh LPS, karena yang dijamin maksimal hanya Rp 2 milyar (lihat ilustrasi di atas).
Meskipun secara nominal cukup banyak namun tidak demikian dengan jumlah rekening. Dari total 82,546,217 jumlah rekening (meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu) 99.9% (82,466,260 rekening) nilai nominalnya berada di bawah Rp 2 milyar, sedangkan sisanya 0.1% (79,957 rekening) nilai nominalnya berada di atas Rp 2 milyar.
Ayo seperti Bung Edison ikutan kasih pertanyaan juga nih. Tiga pembaca blog JS memiliki simpanan di Bank Umum ABC dengan rincian sebagai berikut :
* Felicia (minjem namanya ya) memiliki tabungan dengan bunga 2% senilai Rp 800 juta dan deposito rupiah dengan bunga 8% senilai Rp 1,6 milyar.
* San (minjem namanya juga) memiliki tabungan dengan bunga 2% senilai Rp 2,1 milyar dan deposito dolar dengan bunga 2.5% senilai Rp 200 juta (setelah dikurskan ke rupiah)
* Putrie (minjem nama juga ya) memiliki deposito rupiah dengan bunga 8.25% senilai Rp 2,5 milyar
Nah seperti cerita yang sudah-sudah, Bank Umum ABC bangkrut dan LPS harus membayar klaim penjaminan nasabah Bank LPS. Bagaimana perhitungan nilai simpanan yang dijamin untuk ketiga nasabah tersebut?
--
Mal-Mal Yang Malang: Perkembangan Krisis Sektor Properti
Jump to Comments
Sekedar artikel ringan seputar ekonomi yang saya tulis sambil menunggu siaran Liga Inggris.
Beberapa hari yang lalu ketika sedang berjalan-jalan di mal, saya bersua dengan seorang kenalan saya yang sudah agak lama tidak saya jumpai. Kami berdua pun lalu menanyakan kabar masing-masing setelah sekian lama ini, dari kabar tentang keluarga, anak hingga ke perihal pekerjaan. Kebetulan pekerjaan teman saya itu di bidang properti. Saya pun lalu menanyakan tentang berita-berita ‘hangat’ di pekerjaannya.
‘Wah, properti rata-rata lesu son. Kamu tahu Mal-Apartemen XYZ di Jakarta Barat yang sedang dibangun itu? Itu saja developernya sekarang menghentikan untuk sementara proses pembangunannya.’
Waktu itu saya sempat agak kaget dan tidak percaya, mengingat sepengetahuan saya, Mal-Apartemen yang disebutkan oleh teman saya tersebut dikembangkan oleh salah satu developer yang cukup ternama. Tetapi ternyata ketika saya melewati situs mal-apartemen XYZ tersebut, memang tidak tampak adanya buruh yang bekerja.
Melihat hal ini, mau tidak mau pikiran saya pun terbawa ke berita yang saya baca di minggu ini.
—–oOo—–
Jika selama ini, fokus krisis properti di Amerika lebih kepada sektor properti perumahan (yang biasa dikenal dengan istilah Housing) maka kini kabar buruk juga sudah mulai merebak di sektor properti komersial (yang biasa dikenal dengan istilah Commercial Property). Ini mencakup properti dalam bentuk Mal, Pusat Perbelanjaan, Perkantoran dan sejenisnya.
Badan Riset Properti REIS baru-baru ini melaporkan bahwa hanya dalam 3 bulan pertama tahun 2009 ini, sebanyak 8,7 juta kaki persegi (square feet) properti komersial kehilangan penyewanya. Padahal, sepanjang tahun 2008 lalu, angka tersebut hanya sebesar 8,6 juta kaki persegi.
Berita ini sendiri tentunya tidak mengherankan. Dalam kondisi ekonomi saat ini, daya beli (dan juga minat belanja) masyarakat mengalami penurunan drastis. Berbagai perusahaan pun terpaksa mengencangkan ikat pinggangnya untuk menghadapi kondisi ini. salah satu ’solusi’ yang paling sering dipakai adalah menutup beberapa cabangnya. Akibat fenomena ini, beberapa daerah metropolitan di Amerika, kini mengalami krisis dalam sektor properti komersial. New York, Philadelphia, Chicago, San Fransisco, Austin, Houston, Las Vegas, Miami, Phoenix, Detroit dan Los Angeles, semua tidak luput dari permasalahan ini.
Lalu apakah masalah ini hanya sampai di sini? Tentunya tidak.
Sama seperti dengan properti perumahan, pembangunan ataupun pembelian properti komersial biasanya juga menggunakan hutang/kredit. Diberitakan, bahwa di 10 bank terbesar Amerika, jumlah kredit yang dikucurkan untuk properti komersial mencapai US$ 327,6 Milyar dollar. Dengan lesunya sektor properti komersial, kini angka kredit bermasalah di sektor ini pun mulai meningkat.
Akibat dari fenomena ini, tidak sedikit orang yang mengkhawatirkan akan timbul ‘gelombang’ susulan dalam krisis ekonomi yang timbul dari sektor ini.
—–oOo—–
Kembali ke Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini di Jakarta, pembangunan properti komersial termasuk sangat aggresif. Tanpa perlu berpikir panjang saja, ada beberapa mal dan Trade Center baru yang bisa saya sebutkan di luar kepala: Mal Grand Indonesia, Mal FX, Pacific Place, Podomoro City, Senayan City, Pluit Junction, Emporium Pluit, Seasons City. Jika teman-teman pernah mengunjungi mal ataupun trade center tersebut, mungkin akan melihat bahwa masih cukup banyak unit yang belum terisi.
Jika berpatok kepada kondisi ekonomi Indonesia saat ini, mungkin kondisi di atas belum akan berubah dalam waktu dekat. Tidak jauh berbeda dengan konsumen di Amerika, daya beli (dan minat belanja) masyarakat Indonesia saat ini juga boleh dikatakan mengalami penurunan. Saya teringat dengan satu artikel yang saya baca sekitar 1-2 tahun lalu (entah di mana),. Dalam artikel tersebut, salah satu nama besar di sektor properti, Ir. Ciputra, mengatakan bahwa ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ‘jor-joran‘-nya pembangunan trade centre di Jakarta. Melihat kondisi saat ini, nampaknya kekhawatiran Ir. Ciputra tersebut tidak meleset.
--
Detik-Detik Menjelang Hukuman Mati Raksasa Otomotif Chrysler
Jump to Comments
Sewaktu kuliah dahulu, di antara saya dan teman-teman saya ada sebuah ‘adat’ yang sejujurnya sangat menjengkelkan. ‘Adat’ jelek tersebut membuat ‘adegan’ di bawah ini kerap sekali terjadi dalam kelompok kami, terutama di sekitar waktu makan siang..
Edison: Wah, lapar nih!! Makan yuk?
Teman A: Yuk! Tapi makan apa ya?
Teman B: Gue sih terserah… Makan apa juga oke…
Teman A, C, D dan F: (dengan harmonis seperti paduan suara) Gue juga terserah….
Edison: Kalau gitu makan Bakmi gang Kelinci yuk? (P.S: sekarang Grand Kelinci)
Teman B: Wah, jangan Bakmi gang Kelinci deh…
Teman A: Gimana kalau Wendy’s?
Teman F: Duh… masak Wendy’s lagi? Bosen ah… yang lain aja…
Teman C: Food Court aja kalau gitu…
Teman A: Yaaaah, masak lagi panas-panas begini makan di food-court… keringetan nanti…. Gimana kalau MacDonald aja?
Teman C: Duh, MacDonald jam segini rame banget…antrinya lamaa!!!! Jangan di sana deh…
Edison: (Mengurut dada…. bingung di mana ‘terserah‘-nya)
—–oOo—–
Bagi teman-teman yang tidak tahu, Chrysler (salah satu perusahaan otomotif utama Amerika yang juga memiliki merek Dodge dan Jeep) sekarang ini ibaratnya sedang duduk di kursi listrik menunggu hukuman mati. Agar tetap bisa beroperasi, Chrysler membutuhkan modal kerja, tetapi kini tidak ada seorang pun yang berani meminjamkan uangnya kepada mereka. Satu-satunya harapan yang tersisa hanyalah pemerintah Amerika.
Sayangnya, pemerintah Amerika pun ragu bahwa Chrysler bisa menjadi perusahaan yang sehat dan dikemudian hari tidak akan terus menerus kembali meminta bantuan dari pemerintah. Oleh sebab itu, sebelum mereka mau mengucurkan dana bantuan, Chrysler diminta untuk ‘membenahi diri sendiri’ dahulu (alias restrukturisasi). Karena pemerintah menganggap Chrysler sudah tidak layak lagi ‘berdiri’ sendiri, Chrysler diwajibkan untuk mencapai kesepakatan merger dengan Fiat, perusahaan otomotif asal Italia. Jika Fiat dan Chrysler bisa mencapai kesepakatan untuk bergabung dan pemerintah merasa puas dengan restrukturisasi yang dilakukan, maka pemerintah akan meminjamkan lagi US$ 6 Milyar. Tetapi Chrysler hanya diberikan waktu hingga 30 April (Kamis ini) untuk menyelesaikan restrukturisasi tersebut.
Tentunya restrukturisasi ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ibaratnya pernikahan, Fiat tentunya tidak mau ‘kawin’ dengan orang penyakitan. Dalam hal ini, ‘penyakit’ paling parah perusahaan otomotif Amerika adalah permasalahan buruh, dimana biaya buruh mereka sangat tinggi sehingga tidak kompetitif dengan perusahaan otomotif seperti Toyota dan Honda (ini sudah pernah saya bahas di artikel lama ini dan ini). Oleh sebab itu,agar ‘pernikahan’ bisa berlangsung, Chrysler pertama-tama harus meminta agar serikat buruh mereka mau berkorban dan menerima kompensasi serta pensiun yg lebih rendah agar perusahaan tetap bisa berjalan. Sebagai ‘imbalan’-nya para buruh Chrysler akan mendapatkan saham dalam perusahaan Chrysler
Permasalahan Chrysler sendiri tidak berhenti di sana. Selain pihak buruh, ada satu pihak lagi yang perlu ‘dirayu’ oleh Chrysler, yaitu para kreditor, terutama pihak Bank-Bank dan para pemegang Obligasi yang diterbitkan oleh Chrysler. Fiat tentunya juga tidak ingin terlalu dibebani oleh hutang-hutang lama Chrysler. Oleh sebab itu Chrysler juga harus merayu para kreditornya agar mau memberikan keringanan hutang. Dalam hal ini, Chrysler meminta agar para kreditornya rela sebagian hutangnya dipotong, dan sebagian lagi ditukar dengan saham baru Chrysler.
Dengan model restrukturisasi ini, nantinya Chrysler yang ‘baru’ sebagian besar akan dimiliki oleh serikat buruh, Fiat dan para kreditornya.
—–oOo—–
Jadi apa kaitan cerita saya mengenai ‘adat’ jelek di kelompok saya dulu di atas dengan nasib Chrysler?
Negosiasi antara 2 pihak dimana kedua pihak tersebut harus sama-sama ‘berkorban’, bukanlah sesuatu hal yang mudah. Tentunya normal jika masing-masing pihak ingin agar lawannya berkorban lebih banyak. Negosiasi seperti ini biasanya akan berjalan alot. Jika negosiasi antara 2 pihak saja sudah ‘alot’, bisakah teman-teman membayangkan bagaimana dengan negosiasi 5 pihak (Chrysler, Fiat, Serikat Buruh, Kreditor, dan Pemerintah USA)?
Tentunya dalam hal ini saya bukan ingin membandingkan negosiasi ‘makan siang di mana’ saya dengan negosiasi yang kritis seperti kasus Chrysler ini. Tetapi firasat saya mengatakan bahwa tarik menarik antara kepentingan masing-masing pihak akan membuat kesepakatan sangat sulit utk dicapai (meskipun bukan mustahil). Apalagi dengan adanya batas waktu yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika.
Kemarin, diberitakan bahwa telah terjadi kesepakatan antara para pengurus serikat buruh (UAW) dengan Chrysler. Tetapi kesepakatan tersebut tentunya harus mendapat persetujuan dari para anggota serikat buruh. Rencananya ini akan diputuskan dalam pengambilan suara (voting) oleh para anggota serikat buruh hari Rabu besok. Jika para anggota serikat buruh tersebut menyetujui kesepakatan itu pun, Chrysler tetap harus berhadapan dengan para kreditor yang menurut firasat saya justru akan lebih sulit utk ‘dirayu’, terlebih mengingat Chrysler hanya punya waktu 1 hari.
Seandainya ‘pernikahan’ Chrysler-Fiat ini gagal, dan pemerintah USA tidak mengucurkan dana bantuan maka Chrysler kemungkinan besar akan terpaksa menyatakan bangkrut.
……
Bagaimana menurut anda? Apakah Chrysler akan berhasil dalam negosiasinya? Ataukah para pihak-pihak yang terlibat akan ‘kelaparan’ seperti saya waktu kuliah dulu?
Jumat, 16 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sesungguhnya, semua ini telah kuperhatikan, semua ini telah kuperiksa, yakni bahwa orang-orang yang benar dan orang-orang yang berhikmat dan perbuatan-perbuatan mereka, baik kasih maupun kebencian, ada di tangan Allah; manusia tidak mengetahui apapun yang dihadapinya.
BalasHapusSegala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah.
Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati.
Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati.
Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap.
Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari.
Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu.
Biarlah selalu putih pakaianmu dan jangan tidak ada minyak di atas kepalamu.
Nikmatilah hidup dengan isteri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari.
Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.
Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua.
Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.