Jacko sang legenda pop itu telah tiada. Dunia kehilangan salah satu musisi paling berbakat yang pernah dilahirkan sepanjang sejarah masyarakat modern. Kita mengenang suaranya yang mengalun memukau dalam lagu Heal the World. Kita mengenang tarian moonwalk-nya yang ajaib dalam dentuman irama lagu Thriller. Dan kita mengenangnya sebagai musisi fenomenal dalam videoklip bertajuk Black or White.
Dibalik reputasinya yang begitu melegenda, sosok penyanyi yang selalu bermimpi tinggal di Negri Neverland itu sesungguhnya juga memberi dua pelajaran penting bagi wacana human capital. Dua tema penting ini adalah tentang multiple intelligence dan konsep talent management. Mari kita membahasnya secara ringkas disini.
Konsep mutliple intelligence sejatinya merupakan sebuah ide yang digagas oleh psikolog terkemuka bernama Howard Gardner. Konsep ini ingin menunjukkan bahwa kecerdasan itu ternyata beragam sifatnya. Secara lengkap, Gardner menyebut adanya sembilan jenis kecerdasan. Beberapa diantaranya adalah kecerdasan linguistik (bahasa), kecerdasan numerik, kecerdasan interpersonal dan juga kecerdasan musical.
Setiap individu cenderung memiliki kelebihan dalam suatu kecerdasan tertentu; dan lemah dalam kecerdasan lainnya. Demikianlah, seseorang boleh jadi sangat pandai dalam dunia tulis menulis dan meracik bahasa (kecerdasan lingual), namun sangat buruk dalam arena mengolah angka (kecerdasan numerik). Atau juga seseorang memiliki kecerdasan musikal yang luar biasa (seperti Jacko), namun gagap dalam beragam kecerdasan lainnya (Jacko misalnya, dikenal sangat gagap dalam mengelola kecerdasan interpersonal-nya).
Pesannya adalah : setiap individu memiliki jenis-jenis kecerdasan tertentu yang harus diapresiasi kehadirannya. Sebaliknya, kita juga tidak perlu memaksakan setiap orang untuk memiliki kecerdasan tertentu. Sebagai misal, kini banyak orang tua yang cemas jika nilai matematika anaknya buruk; dan ini dianggap sebagai petaka. Tentu ini merupakan sebuah kenaifan. Sebab siapa tahu, sang anak justru memiliki kelebihan dalam kecerdasan yang lain, semisal kecerdasan lingual ataupun kecerdasan musikal.
Yang mungkin lebih penting adalah bagaimana kita bisa mengidentifikasi dimana kita memiliki kecerdasan yang paling menonjol. Disinilah muncul konsep tentang talent management. Jacko tentu saja merupakan sebuah contoh yang sempurna tentang bagaimana seseorang mesti mengolah talenta secara maksimal.
Konsep talent management memang mau mengatakan bahwa Anda akan menjadi star performers manakala terjun dalam bidang yang selaras dengan talenta Anda, atau pas dengan kecerdasan unggul yang Anda miliki. Dan sebaliknya, kita cenderung akan terseok-seok manakala menekuni arena yang tidak pas benar dengan talenta yang kita miliki.
Disini, Jacko kembali memberika contoh yang spesial. Dalam usia enam tahun, ia telah menunjukkan talentanya yang ajaib sebagai seorang musisi. Dan sepanjang hayatnya ia kemudian mengeksplorasi bakatnya itu hingga titik yang paling menjulang. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika ketika muda ia dipaksa menjadi pekerja kantoran misalnya.
Pelajaran yang mungkin bisa dipetik adalah ini : apakah dunia yang sekarang tengah kita tekuni sudah cocok dengan talenta kita? Apakah Anda sejatinya memiliki talenta terselubung yang selama ini nyaris tak pernah bisa dieksplorasi secara optimal? Talenta yang tak pernah bisa mendapat ruang untuk tumbuh lantaran tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang sekarang Anda lakoni?
Sebagai misal, Anda mungkin memiliki hobi tertentu yang selama ini Anda lakukan di waktu luang dengan penuh semangat? Jangan-jangan hobi itu sesungguhnya mencerminkan talenta terselubung Anda, dan disitulah kecerdasan unggul Anda bisa terus tumbuh berkembang? Jika demikian halnya, barangkali ada baiknya jika Anda terus mengeskplorasi hobi itu sebagai “sebuah keseriusan”. Sebab siapa tahu ada sejumlah potensi tak terduga yang bisa digali dari proses itu.
Itulah dua tema – yakni konsep tentang multiple intelligence dan talent management – yang bisa kita petik dari mendiang Michael Jackson. Sang legenda hebat dalam dunia musik ini memang telah memberikan pelajaran penting tentang bagaimana cara mengolah kecerdasan dan bakat secara paripurna.
Dan tentu saja, jika kita bicara tentang human capital, ia juga telah memberikan kontribusi yang sangat bermakna. Beragam syair lagunya telah memberikan jejak yang demikian menyentuh dalam membangun wajah kemanusiaan yang lebih humanis dan bermartabat.
Maka, mari kita simak bersama syair dalam lagu Heal the World yang amat menggetarkan itu:
Heal the world
Make it a better place
For you and for me and the entire human race
There are people dying
If you care enough for the living
Make a better place for
You and for me…..
Jacko, may you rest in peace….
It's Just A Piece Of Tin
For as long as I can remember, Dad had a saying that, to my adolescent mind, seemed rather strange. He would say, "Either you own the car or the car owns you." To make that point, he would refer to people who buy a really nice car, but won't let anyone drive it - including those closest to them. (I think we all know some of those people). They pamper the car more than they pamper the important people in their lives - and sometimes even themselves.
Little did I know at the time that a lesson Dad taught me when I was 17 would be a lesson I would teach my own son, 29 years later.
In 1976, Cadillac was producing "the last convertible". It was the beautiful, heart-stopping, powerful Eldorado. I remember vividly the day Dad drove that car into our driveway. It had a shining white exterior, with tan, ultra-soft leather. It seemed to silently glide into the drive. It looked enormous, even for the days of the giant gas guzzlers. I still remember the smell of the new interior, and the huge smile on Dad's face, as if it were yesterday.
I always loved driving that beautiful car. I learned to drive in it. I got my license in it. As far as cars go, it was "my first love."
Back then, like today, my father travelled a lot. He was - and still is - on the road more than he is home. When I was younger, this could be a big perk, because - yes, you guessed it - he would freely leave his car for me and my cousins. We all got to enjoy that very special vehicle while he was away.
During one of his trips, I got into a pretty serious accident. I drove into the back of another vehicle - it was completely my fault. I remember looking at the damage to the front of Dad's car, and feeling dread, sorrow and then fear, at having to tell him what I had done. I had no idea how my father would react, but my imagination took worry and fear to new heights.
It took awhile, but I mustered up the courage to call Dad. I told him the whole story - how it was my fault. I described the damage that his beautiful Eldorado had suffered.
I will NEVER forget the concern and the peacefulness in his voice, as he asked me, "Brian, are you ok? That's all that matters. The car is just a piece of tin. It can be fixed." Then he said, "It's called an accident because that is what it is. You didn't intentionally go out to wreck the car, so don't let it bother you another moment."
The car was repaired, and life went on. The next time Dad went out of town, I got to use the car again, without hesitation. Dad loved that car, but he didn't let it control him. This is a lesson I carry to this day.
How lessons can come back around in the strangest ways.
I am often asked what it's like to have Bob Proctor as a father. For a presentation to a large audience, I decided to incorporate a story about my dad, and I chose to tell the story of the Eldorado, because I really wanted everyone to understand what a great man my Dad truly is. It was fun reliving it, and I enjoyed the story as much as everyone else in the group.
Ironically, the very next day, I got a call from my son saying that he had wrecked my truck.
I could hear the worry in his voice. I believe I responded, word for word, exactly as my father had, 29 years earlier. I know my voice was also calm and peaceful; Danny hadn't been hurt, and that was truly the only important thing - not the piece of tin.
Brian Proctor
Excerpt from Inspired: The Secret of Bob Proctor
We read what motivational speakers teach us, but what do they teach their families behind closed doors?
The Proctor family shares what they have learned from the Godfather of motivation, Bob Proctor. From his 9-year old grandson relaying how Bob gently explained the meaning of death, to his son's view of money, the Proctor family relay what they have learned from living with Bob Proctor.
The chapters are honest, emotional and funny. They expose Bob Proctor's traits as a dad, husband, grandfather and much more! You may have experienced Bob Proctor in a business environment..this book gives you the personal application of his teachings.a must for every family!
SS Lazio
Butuh Pengganti Ledesma
Gencarnya pemberitaan mengenai kepindahan Cristian Ledesma ke Juventus atau Milan membuat Lazio langsung bergerak mencari pengganti sepadan. Maklum, pria Argentina ini merupakan motor dan otak serangan Lazio
Langkah pertama adalah mengamankan jasa Francelino Matuzalem. Setelah dianggap memuaskan ketika menjalankan masa peminjaman bersama I Biancoceleste musim lalu, kini Lazio tengah berusaha mengikatnya secara permanen.
Sosok Juan Pablo Carrizo, yang ingin hengkang, ditambah uang 6 juta euro (sekitar 85,9 miliar rupiah) menjadi tawaran maksimal. Belum ada jawaban dari pihak Real Zaragoza karena pertemuan kedua klub baru berlangsung Sabtu (4/7) mendatang. Tapi, tim ibu kota Italia itu yakin angka yang disodorkan sudah cukup.
Sembari menunggu, juara Italia 1974 dan 2000 ini mendekati target lama dalam diri Sebastian Battaglia. Ya sejak musim lalu, Tim Biru Langit mengincar gelandang Boca Juniors berusia 28 tahun tersebut. Bedanya sekarang Battaglia memberi respons positif.
“Lazio adalah tempat yang akan saya tuju. Tapi, memang saat ini belum ada kepastian. Kendati demikian, agen saya terus berhubungan dengan mereka dan semoga saja hasilnya positif,” ujar Battaglia pada lalaziosiamonoi.it. (gun)
Selasa, 07 Juli 2009
Kisah Talent Management dari King of Pop
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar