Rabu, 01 Juli 2009

Jangan Galak-galak"




Kamis, 7 Mei 2009 | 02:59 WIB

Oleh : EFFENDI GAZALI

“Hati-hati, jangan terlalu galak mengatakan curang. Pemilu 2004 belum lama berlangsung. Saya punya memori yang banyak, tetapi biarlah menjadi bagian masa lalu. Jangan banyak menguliahi soal curang dan tidak curang. Saya juga punya pengetahuan tentang beliau-beliau pada waktu lalu. Tetapi, biarlah ini proses dari pendewasaan demokrasi,” ujar Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 22/4).

Kalimat ini mengandung multi-interpretasi. Pertama, beberapa tokoh yang bersuara galak belakangan ini pernah berbuat curang pada Pemilu 2004. Jadi, SBY mengingatkan mereka untuk tidak menguliahinya.

Kedua, karena ada yang berbuat curang pada Pemilu 2004, maka kami lebih ahli soal itu.

Ketiga, meski ada yang pernah berbuat curang, pihaknya tidak pernah melakukan! Karena itu, hendaknya ia jangan dikuliahi.

Pertanyaan mendesak itu multi-interpretasi. Mengapa Presiden bereaksi agak berlebihan, dengan pilihan kata semacam ”jangan banyak menguliahi soal curang dan tidak curang” ?

Kemenangan menyilaukan

Dalam komunikasi politik ada peringatan serius, kemenangan jangan sampai menyilaukan. Untuk itu, yang sedang menang bergegas melakukan dua hal. Pertama, hemat bicara meski media akan sungguh mendesak untuk bicara dan bicara; kapan perlu sampai melakukan kesalahan-kesalahan sendiri!

Kedua, segera membentuk tim pascakemenangan, yang mengatur strategi berbicara, seperti apa, kepada siapa, dan oleh siapa, dengan berhati-hati.

Saya sudah mengungkapkan betapa Fox Indonesia memiliki kemampuan political marketing management yang tinggi, integratif, satu pintu, dan budget menakjubkan (Kompas, 17/3). Mereka juga berhasil, langsung atau tidak, membuat mata banyak partai dan pemilih tersilaukan oleh kemenangan Partai Demokrat yang nyaris 300 persen! Padahal, data menunjukkan, jika golput Pemilu 2009 sekitar 30 persen (hitungan konservatif) , pemilih Partai Demokrat hanya — berdasarkan hitung cepat — 20 persen dari 70 persen atau cuma 14 persen! Artinya, ada 86 persen pemilih yang belum tertarik dengan PD dan calegnya pun ada pesona ”SBY factors” yang disebut-sebut sebagai penyebab utama raihan spektakuler. Jangan lupa, 86 persen pemilih ini rela bercapek-capek dan mengantre di TPS, namun tetap menyatakan belum berminat dengan PD.

Mereka ini (86 persen) adalah pangsa pasar amat besar dengan rumus berapa capres sebagai bilangan pembaginya dan siapa cawapresnya. Diakui atau tidak, asumsi saya tentang kemenangan menyilaukan dan akibatnya kini terbukti. Tidak mudah lagi orang menyatakan, dengan siapa pun SBY maju, dia pasti menang. Salah-salah, malah modal awal 14 persen pemilih riil bisa beralih sebagian ke pasangan lain.

Ancaman gaya Orde Baru

Dalam komunikasi politik juga dikenal heating trend, artinya seseorang belum sampai ke suatu posisi, tapi tren atau daya tariknya sudah terasa. Sebelum pemilu, Prabowo sempat menikmati tren ini. Jika betul Prabowo punya bukti lebih dari 50 juta hak politik rakyat dizalimi (Kompas, 22/4), tentu bisa dijelaskan mengapa trennya tidak sedahsyat hasilnya. Kini tren sejenis sempat singgah di kubu JK-Wiranto. Golkar yang tiba-tiba menyadari konstelasi 86 persen pemilih belum tertarik pada PD (ditambah korban DPT) langsung deklarasi! Pasti ada simpati publik bahwa Golkar yang selalu menempel pada kekuasaan ternyata sekarang siap menjadi oposisi.

Survei terakhir Puskaptis UI menunjukkan, sambutan terhadap JK-Wiranto bahkan di atas elektabilitas SBY jika dipasangkan dengan sejumlah cawapres. Kini, soal survei, seharusnya tidak ada dominasi lembaga karena banyak yang telah terbukti tak akurat. Misalnya, yang menyatakan PD akan menang dengan 26, bahkan 28, persen (jauh dari fakta 20-21 persen).

Tentang konsultan, JK-Wiranto harus belajar manajemen pemasaran politik dari berbagai kampanye modern, termasuk dari gaya Fox. Soal isi komunikasi politik, mereka harus memasang target lebih unggul! Tak boleh lagi ada iklan-iklan serabutan yang tidak masuk peta strategi yang jelas! Mengulang seruan Johnson (2000, 2007): no place for amateurs. Juga tak boleh ada yang membanggakan diri sebagai mereka yang membantu memenangi Pemilu Presiden 2004. Konstelasi Pemilu Presiden 2009 adalah berbeda total!

Sayang, di luar soal kapabilitas, kini posisi konsultan atau media serius terancam. Terasa bagaimana sebagian pihak sedang mengategorikan media atau konsultan tertentu sebagai musuhnya. Padahal, dewasa ini, baik secara teoretik maupun praktik, media telah sah berpihak. Media hanya diwajibkan selalu menjelaskan alasan-alasan rasional lalu boleh menyatakan media kami mengusulkan pemilih ke calon A atau B. Independensi media mutakhir adalah ketika menyusun alasan-alasan itu hanya berdasarkan kepentingan publik.

Sekali lagi, kita harus melawan sikap pihak tertentu yang bukannya berusaha winning the heart, tetapi malah menganggap media yang mengurai fakta atau konsultan lain sebagai musuh! Mereka sebenarnya menyiratkan teror psikis, jika kami menang, (awas) kalian akan mendapat kesusahan! Jangan galak-galak, kita tak perlu dikuliahi. Itu semua persis semangat Orde Baru. [Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI- Kompas]

--------

Pasangan capres/cawapres

Kompetisi pemilu capres/cawapres 8 Juli 2009 akan memberikan pembelajaran banyak pihak, baik bagi para pelaku, elite dan aktifis politik maupun masyarakat Indonesia. Inilah pemilu capres/wawapres ke-2 di Indonesia. Kesiapan dan dinamikanya semakin terasa dewasa dan elegan. Kita akan segera disuguhi tiga (3) menu paket khusus capres/cawapres istimewa. Mereka berasal dari partai-partai pemenang pemilu, yang akan membawa suara rakyat menuju muara kekuasaan RI-1/RI-2. Yang mendeklarasikan pertama adalah pasangan ideal, disusul pasangan ideal dan potensial lainnya.

Jadi untuk semua paket pasangan capres cawapres; jangan galak-galak, jangan kenceng-kenceng, jangan boros-boros… Sejarah akan mencatat bagaimana Anda bermain dan memberi contoh yang baik kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Karena rakyat sekarang sudah pada paham, mengerti dan semakin pinter memilih mana yang baik dan yang terbaik untuk pemerintahan RI lima (5) tahun ke depan...maka fair play adalah panglima pilpres 2009.

Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat!

Lena Maria adalah seorang wanita yang luar biasa. Terlahir tanpa tangan dan hanya satu kaki yang tumbuh normal, tidak merintangi Lena untuk menjadi wanita mandiri dan menorehkan prestasi-prestasi gemilang dalam hidupnya serta menjadi inspirasi bagi banyak orang. Lena bisa menyetir mobil, memasak, menulis dan beragam hal yang biasa dilakukan orang biasa. Dan hebatnya lagi, Lena memenangkan 4 medali emas dalam Kejuaraan Renang Eropa dan ikut dalam kejuaraan Paralympic di Seoul mewakili Swedia.

Tidak puas sampai di situ, Lena berhasil lolos seleksi masuk Music Conservatory School, Faculty for Individual Musicians. Dari situ, karier Lena di bidang musik makin gemilang dan mendapatkan beasiswa dari Ratu Swedia. Kini, Lena adalah seorang artis penyanyi profesional yang telah menghasilkan belasan album. Acara-acara TV yang mengangkat kisah hidupnya menuai sukses dan menarik simpati di banyak negara. Kisah nyata perjalanan hidup Lena dalam buku ini telah memberikan inspirasi bagi banyak orang. Membaca buku ini niscaya akan mengubah hidup Anda.

Membaca buku ini tidak membutuhkan waktu lama, tapi begitu selesai membacanya aku langsung mendapatkan inspirasi, menjadi yakin, penuh harapan, dan bersukur!
—R. Martin, pembaca, AS

Jika pembaca menerapkan cara pikir Lena ke dalam kehidupannya, dunia akan menjadi tempat yang lebih indah
—www.forewordmagazin e.com

Pengeluaran Tinggi Klub
Pemerintah Mulai Intervensi

Pembelian pemain dengan harga spektakuler seperti yang dilakoni Real Madrid baru-baru ini tampak mulai membuat gerah pemerintah Spanyol. Setidaknya kekhawatiran menyangkut kantong klub La Liga yang mayoritas terlilit utang disuarakan Menteri Negara Urusan Olah Raga Jaime Lissavetzky.

“Ketiadaan solusi klub dalam menang­gulangi utang massive sangat mengkhawatirkan. Sudah saatnya ada langkah guna memperbaiki situasi,” papar Lissavetzky pada As. “Tak ada mekanisme paksaan yang bisa dibuat oleh sebuah badan finan­sial. Namun, peraturan (peme­rintah) ini paling tidak bisa mem­berikan garis merah yang tak boleh dilanggar. Mereka yang melang­gar harus siap didegradasi.”

Lissavetzky tampak sulit mene­rima kenyataan bahwa Madrid berani mengucurkan dana hingga 153 juta euro guna mem­beli Kaka dan Cristiano Ronaldo, tapi di saat yang bersamaan juga terlilit utang hingga sekitar 400 juta euro. Hal sama berlaku bagi 16 klub La Liga lain yang jika ditotal menyentuh angka 2,083 miliar euro, tapi toh berani berbelanja jorjoran.

Garis merah yang hendak ditekankan adalah soal batasan belanja serta gaji pemain yang tak boleh melebihi 60% dari total pendapatan klub. Sejauh ini, belum ada tanggapan dari Madrid, Barcelona, atau Valencia, tiga klub dengan utang tertinggi. Akan tetapi, Barcelona, lewat wapres klub bidang komisi ekonomi, Xavier Sala Martin, menegaskan bahwa kubu Camp Nou tak akan mengeluarkan dana tinggi menjelang La Liga musim ini. (shr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar