Malam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur. Pikiran saya bekerja ekstra keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sampai jam tiga dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang saya hadapi.
Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat kakak saya berobat. Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran kanker payudara yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua payudaranya. Untuk itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan sejumlah biaya untuk proses operasi tersebut.
Soal persetujuan, relatif mudah. Sejak awal saya sudah menyiapkan mental saya menghadapi kondisi terburuk itu. Sejak awal dokter sudah menjelaskan tentang risiko kehilangan payudara tersebut. Risiko tersebut sudah saya pahami. Kakak saya juga sudah mempersiapkan diri menghadapi kondisi terburuk itu.
Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah soal biaya. Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya sebagai redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus menghidupi keluarga dengan tiga anak.
Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup tanpa suami. Dia harus berjuang membesarkan kelima anaknya seorang diri. Dengan segala kemampuan yang terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat bertahan menghadapi kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga mendukungnya secara moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai pengganti ayah dari anak-anak kakak saya.
Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis menderita kanker stadium empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya mencoba menyembunyikan penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan ketakutannya dengan mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya selama ini. Kalau memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya. Seandainya kakak saya lebih jujur dan berani mengungkapkan kecurigaannya pada tanda-tanda awal kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi lain.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia memeriksakan diri ke dokter, kanker ganas di payudaranya sudah pada kondisi tidak tertolong lagi. Saya menyesali tindakan kakak saya yang “menyembunyikan” penyakitnya itu dari saya, tetapi belakangan -- setelah kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi keputusannya. Saya bisa memahami mengapa kakak saya menghindar dari pemeriksaan dokter. Selain dia sendiri tidak siap menghadapi kenyataan, kakak saya juga tidak ingin menyusahkan saya yang selama ini sudah banyak membantunya.
Namun ketika keadaan yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap menghadapinya. Salah satu yang harus saya pikirkan adalah mencari uang dalam jumlah yang disebutkan dokter untuk biaya operasi. Otak saya benar-benar buntu. Sampai jam tiga pagi saya tidak juga menemukan jalan keluar. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?
Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya pada saat dokter menganjurkan operasi. “Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak ada jaminan saya akan terus hidup,” ujarnya. Tetapi, di balik ucapan itu, saya tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul. Dia tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu.
Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung mampu menemukan jalan keluar, saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya mendengar begitu jelas doa yang saya panjatkan. “Tuhan, sebagai manusia, akal pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini.” Setelah itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental.
Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai perjalanan menuju kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal biaya operasi. Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa saya? Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan yakin Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak cukup kuat sehingga masih saja gundah.
Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di ujung telepon terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan public relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan terpaksa menelepon saya karena “keadaan darurat”. Pembicara yang seharusnya tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat menggantikannya.
Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan sahabat saya itu. Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara worskshop itu sukses. Sahabat saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi, katanya, para peserta puas. Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara lagi untuk acara-acara mereka yang lain.
Sebelum meninggalkan tempat workshop, teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara. Sungguh tak terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya berniat menyelamatkan sahabat saya itu. Tapi sahabat saya memohon agar saya mau menerimanya.
Di tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya sudah seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai dengan hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu.
Malam hari baru saya berani membuka amplop tersebut. Betapa terkejutnya saya melihat angka rupiah yang tercantum di selembar cek di dalam amplop itu. Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi kakak saya! Tidak kurang dan tidak lebih satu sen pun. Sama persis!
Mata saya berkaca-kaca. Tuhan, Engkau memang luar biasa. Engkau Maha Besar. Dengan cara-Mu Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan dengan cara yang tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib.
Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke rumah sakit. Setelah operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak saya. Dia hanya bisa menangis dan memuji kebesaran Tuhan.
Tidak cukup sampai di situ. Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan kembali kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia tempat saya bekerja, suatu malam datang menengok kakak saya di rumah sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita soal kakak saya.
Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya esok harinya. Dalam kunjungannya ke rumah sakit malam itu, Surya Paloh juga memutuskan semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun, akan dia tanggung. Tuhan Maha Besar.
Warm Regards,
-Limmy Hernywati Liunardy-
FC Barcelona
Tiga Sampai Empat
Bukan, ini bukan target trofi yang dipatok Barcelona pada musim kompetisi 2009/10, meski tampak cukup realistis karena Barca amat mungkin mengulangi musim triplete dan menambahkan silverware lewat Piala Super Eropa, Piala Super Spanyol, atau Piala Dunia Klub. Namun, maksud Joan Laporta saat menyebut tiga hingga empat adalah tambahan amunisi pemain.
“Kami mengantisipasi perekrutan tiga hingga empat pemain yang memiliki nama besar guna mengisi tempat sesuai kebutuhan tim teknik,” begitu ungkapPresidente Barcainimelalui situs resmi klub. “Kami yakin bahwa pemain mau datang ke Barcelona karena proyek klub yang solid.”
Beberapa hari sebelum komentar Laporta mengudara, Pep Guardiola lebih dulu menyatakan bahwa Barca butuh pemain dengan kualitas nyaris sama dengan tim inti. “ Ini dengan catatan mereka sanggup menerima kondisi bahwa rotasi akan berjalan kencang karena Barca melaju di empat kompetisi berat,” kata Guardiola.
Kembali ke omongan Laporta. Sang presiden hanya bersedia merogoh kocek jika harga belinya masuk akal. Artinyanama-nama seperti David Villa, Javier Mascherano, Zlatan Ibrahimovic, atau John Arne Riise, yang rata-rata berharga jual selangit, kecil kemungkinandibeli.
Pengecualian muncul jika aksi jual lebih dulu mereka lakoni. “Ada beberapa tawaran untuk Samuel Eto’o. Namun, sebelum bertindak, kami ingin menanyakan dulu rencana ke depan Eto’o,” ucap Laporta pada El Mundo Deportivo. “Kami ingin melayani dengan baik pemain-pemain yang telah memberikan segalanya untuk Barca. Bukan semata urusan gol, tapi juga tentang sikap dan karakter yang ia miliki.” (shr)
Valverde Membidik Eropa
Villarreal tidak perlu bersusah -payah mencari pengganti Manuel Pellegrini, yang hijrah ke Real Madrid. Ernesto Valverde langsung setuju pulang ke Spanyol dan menandatangani kontrak selama satu tahun sebagai pelatih anyar The Yellow Submarine.
“Saya adalah pria yang sangat beruntung dan akan berusaha mengangkat Villarreal ke level yang sedikit lebih tinggi dibanding saat ini,” ucap Valverde dalam situs resmi Villarreal.
“Saya datang dan menggantikan posisi seorang pelatih yang telah mencapaike sukses andengan klub ini. Karena alasan tersebut, saya berharap Villarreal akan terus disegani bukan hanya di Spanyol, tetapi juga Eropa,” ucap eks arsitek tim yang musim lalu menangani klub Yunani, Olympiacositu .
Pada awal kepemimpinannya, Valverde tidak akan terburu-buru melakukan perombakan dalam tim. Menurut AS, jual-beli pemain tidak akan dilakukan sebelum seluruh anak buahnya berkumpul pada 13 Juli.
Valverde sadar betul kondisi keuangan Villarreal saat ini tidak terlalu menggembirakan. Dengan status sebagai penghuni peringkat lima pada klasemen akhir La Liga 2008/09, Villarreal dipastikan gagal menembus Liga Champion musim depan. Mereka hanya akan berlaga di kompetisi “kelas dua” Europa League.
Meski begitu, sejumlah pemain dikabarkan sudah masuk dalam pantauan Valverde. Salah satunyaSalvador Cabanas, yang saat ini memperkuat klub Meksiko, Club America.
Menurut agen Cabanas, Jose Maria Gonzalez, pihak Villarreal telah menghubungi dirinya. Tapi, transfer baru bisa dilakukan dengan persetujuan Club America. (wta)
Rabu, 15 Juli 2009
Cara Tuhan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar