Jumat, 10 Juli 2009

2 Pilihan Mengenai Ketegaran dalam Tantangan



Oleh: Hingdranata Nikolay
"Kalau banteng tidak punya tanduk, semua orang mau jadi matador!" - anonim
"Kesulitan memperkuat pikiran, sebagaimana kerja keras memperkuat tubuh" - Seneca
Dalam sebuah seminar baru-baru ini, seorang peserta mengunkapkan perasaannya kepada saya mengenai pekerjaannya yang saat ini sedang memberikan tantangan emosional yang sangat besar kepadanya. Kesan pertama saya adalah betapa cintanya pada kerjaannya. Ia pun terkesan sebagai seorang yang sangat pandai dan mempunyai kompetensi tinggi. Dari interaksi dengan teman-temannya di kelas training, saya persepsikan ia sebagai seorang yang cukup disegani di antara mereka.
Saya katakan sebuah kalimat sederhana, "Standard kemampuan seseorang dinilai dari tantangan yang ia hadapi!". Ia dengan cepat menangkap maksud saya dan segera air mukanya berubah seketika. Lalu saya lanjutkan, "Tantangan tersebut tidak akan datang ke Bapak, seandainya Bapak dianggapnya tidak punya kelas yang cukup untuk menghadapinya! "
Kesulitan, tantangan, masalah, apapun istilahnya, datang menghampiri setiap orang, dengan tingkat dan kapasitas yang berbeda-beda. Semakin tinggi reward yang terjanjikan, semakin tinggi tingkat tantangan yang akan tersedia. Kalau mudah untuk menjadi seorang Direktur, maka siapapun mau dan bisa menjadi Direktur. Kalau mudah duduk di sebuah posisi yang tidak mengenakan, maka tidak ada satupun posisi atau fungsi di dunia ini yang akan dihindari. Semakin tinggi posisi, semakin besar tanggung jawab, semakin lebar jangkauan, semakin besar tantangan, semakin luar biasa reward. Saat kita menghindari tantangan tertentu, kita sebenarnya sedang menentukan batasan kualitas atau ukuran kelas kita. Apakah kita harus hadapi semuanya? Tidak harus, itu soal PILIHAN. PILIHAN tingkat kita masing-masing. Yang pasti, saat banteng mempunyai tanduk yang besar dan tajam, hanya matador sejati yang berani maju dan menghadapinya. Kalau bantengnya tidak mempunyai tanduk, apakah ada bedanya antara seorang matador dengan siapa saja?
Hanya orang-orang dengan pikiran terlatih oleh masalah atau tantangan yang bertumbuh menjadi bijak. Pikiran kita menjadi kuat dengan menghadapi kesulitan, bukan dengan kemudahan. Karena itu pilihannya adalah berterima kasih atas kesempatan untuk memperkuat pikiran kita saat kita menghadapi tantangan. Saat tubuh kita terlatih setiap hari untuk mengangkat beban 50kg, maka apapun dengan berat 50kg tidak akan menjadi masalah bagi kita. Saat kita naikan latihan beban kita ke 100kg, maka kekuatan kita pun bertambah. Pikiran pun sama saja. Setiap kesulitan akan mendorong keluar setiap kemampuan berpikir kita, sadar maupun bawah sadar. Semakin besar kesulitan, semakin tinggi pula kekuatan pikiran kita!
PILIHAN hari ini, kawanku: maju dan hadapi tantangan dan kesulitan Anda. Tantangan tersebut melambangkan kelas Anda, dan ingat bahwa setiap kesulitan hanya akan memperkuat Anda!



--
Bukan Sembarang Presiden


Oleh : Emha Ainun Nadjib

Presiden reformasi Indonesia bukan sembarang presiden. Sejak bangkitnya bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang presiden terpilih, jangan dipikir itu sekedar hasil pilpres satu hari, melainkan ujung dari sebuah proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari tingkat masyarakat RT hingga ke puncak kursi kenegaraan.

Bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman peradaban selama berpuluh-puluh abad untuk memilih pemimpinnya. Pemilihan presiden di abad ke-21 ini jauh lebih sederhana karena hanya sekedar melibatkan penduduk atau warga negara. Adapun pengalaman sejarah bangsa Indonesia pernah membawa mereka memilih pemimpin tertingginya dengan melibatkan Nyi Roro Kidul, Walisongo, ruh-ruh leluhur, pasukan lebah, lembu atau kerbau, bahkan untuk sebagian secara sembunyi-sembunyi juga melibatkan masyarakat rekanan hidup manusia yang dikenal dengan nama Jin.

Sejak reformasi di akhir abad ke-20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi dewasa. Maka, skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak warga negara yang berjenis makhluk manusia sehingga mekanismenya jauh lebih simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari malaikat sampai hewan tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern umat manusia karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, mandataris Tuhan di seluruh bumi. ***

Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya paling memiliki kedekatan dengan Allah SWT. Jumlah hajinya terbanyak seluruh dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta’lim, istighotsah, yasinan dan tahlilan, kursus sholat khusyu, biro pengelolaan kalbu, tafsir-tafsir aplikatif dari surah dan ayat-ayat quasi emosi dan spirit, dan bebagai aktifitas keagamaan lainnya yang iblis ampun-ampun untuk berani menerobosnya.

Maka, mekanisme demokrasi modern dijalankan di Indonesia jauh lebih mulus dibanding negara mana pun di dunia. Ditambah faktor plus yang mendasari kekokohannya sebagai sebuah sistem bernegara yang hampir bisa dikatakan tak mungkin bisa digoyahkan oleh apa pun saja. Faktor plus itu misalnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang sudah jauh memadai sebagai prasyarat tumbuhnya kedewasaan demokrasi.

Matangnya kebudayaan bangsa iNdonesia sebagai individu manusia maupun sebagai kumpulan komunitas, menjadikan pelaksanaan demokrasi sedemikian gagahnya, penuh kemerdekaan dan kreatifitas, penuh kelincahan dan ketrampilan, tetapi tetap berada dalam kontrol bersama yang komprehensif di antara semua kelompok, segmen, strata dan kantong-kantong lain bangsa Indonesia. ***

Demokrasi di tangan bangsa Indonesia bagaikan bola di kaki Maradona, tongkat ganda di tangan Bruce Lee, bola basket di tangan Kareem Abdul Jabbar atau Michael Jordan, mobil Formula-1 di kendali Schumacher, Ayrton Senna atau Fernando Alonso. Kalau mau agak puitis, demokrasi bangsa Indonesia itu bak gelombang di pangkuan samudra, bak panas di ujung lidah api, bak kokok di tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau.

Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid, tetapi dinamis sejak dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat pembelajaran dialog-dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin. Aspirasi dari keluarga-keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan interaksi masyarakat se RT. Kemudian fondasi aspirasi itu meningkat dan meluas hingga ke skala desa atau kelurahan. Demikian seterusnya sampai ke babak “semifinal” dan “final” di panggung puncak kepemimpinan nasional.

Jadi, kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi presiden, sesungguhnya itu hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia sudah “memiliki” presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang presiden sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warga Negara sebenarnya sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden dalam peradaban bangsa Indonesia adalah seorang yang sudah diuji oleh seluruh dan setiap rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal sepuluh tahun. Sistem budaya masyarakat Indonesia sudah memiliki infrastruktur kualitatif dan mekanisme identifikasi yang berlangsung mendasar, permanen dan dinamis. ***

Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi caleg dan gambar-gambar wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang bukan hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturnya, lebih dari itu mereka sudah di uji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan pengabdiannya, ketrampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya wawasan dan tingginya keilmuannya.

Bahkan, tatkala seorang presiden memilih menteri-menteri, dan para menteri memilih bawahan-bawahannya, itu sama sekali bukan soal selera, bukan berdasarkan power share atau pembagian kekuasaan, bukan berlatar belakang kepentingan golongan atau penyeimbangan perolehan antar kelompok. Pemilihan atasan ke bawahan itu juga diselenggarakan dengan terlebih dulu mempelajari data-data dan fakta-fakta dari lapangan paling bawah, yakni siapa yang benar-benar sudah lulus dari penyaringan sosial masyarakat.

Kader keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikian ketat dan kualitatif oleh system social masyarakat Indonesia membuat mustahil muncul pemimpin-pemimpin yang nyasar dan ahistoris. Kepemimpinan nasional dan perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi dan mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung jalan, hanya alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah diproses sangat matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis parpol juga sangat memahami hal itu sehingga mereka sangat bersikap rendah hati dan tidak merasa dirinya penentu utama kepemimpinan nasional. ***

Presiden Indonesia dan wakil-wakil rakyat adalah orang-orang yang memang harus mereka yang menjadi presiden dan wakil-wakil rakyat.

Vox populi vox dei. Demikian lah “sabda rakyat” melalui mekanisme system yang mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun, dari era ke era. Bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan wakil-wakil rakyat adalah tokoh-tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri. Dengan demikian, bisa dipastikan merekalah memang yang paling layak kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannnya, paling unggul ilmu dan wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas wawasannya, paling terampil kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan direstui oleh semua makhluk-makhluk Allah nonmanusia.

Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak puluhan abad yang lalu memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya. Harus mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi, Tuhan sendiri pun tak mungkin mengganti meeka karena ia mengikatkan diri ada kegembiraan dan kebanggaan menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara Indonesia. [Emha Ainun Nadjib, Budayawan - Kompas]

----------

Maka ketika proses koalisi berlangsung beberapa minggu terakhir, rakyat semakin diajak belajar untuk melihat, memahami dan mengerti bahwa itulah bagian dari kebisingan ‘ubyang-ubyung’, ‘iyik’ dan ‘grudag-grudug’ dari proses elit partai berambisi dalam proses memproduksi sebuah kekuasaan - kita semua menjadi lebih tahu – Padahal kekuasaan sangatlah berbeda dengan kepemimpinan. Maka hanya pemimpin yang benar-benar teruji dan dikehendaki rakyat lah [bukan hanya dikehendaki elite partai] yang akan menjadi pemimpin nyata bagi Indonesia ke depan. Kepada ketiga kadidat presiden/wakil presiden, Anda semua benar-benar layak mendapat bintang kepemimpinan Indonesia. Silakan raih, buktikan dan baktikan jiwa raga bagi kemajuan Indonesia, rakyat sudah tidak sabar menanti...!

Mandia Tukangi Racing
Janjikan Hiburan

Kepercayaan pada pelatih muda tampak bukan menjadi tren sesaat di Primera Division La Liga 2008/09. Menjelang bergulirnya kompetisi terwahid ranah Spanyol kali ini, sokong-an terhadap el entrenador “hijau” terbukti masih berlanjut.

Juan Mandia, tak sabar ingin melatih. (Foto: as.com)

Jika musim kemarin muncul muka-muka segar, seperti Pep Guardiola (Bercelona), Michel (Getafe), Mauricio Pochettino (Espanyol), Jose Maria Nogues (Real Betis), yang selain muda juga tanpa pengalaman di level utama, kali ini nongol sosok Juan Ramon Lopez Muniz dan Juan Carlos Mandia.

Keduanya tergolong muda. Muniz baru menginjak usia 40 tahun, sedangkan Mandia 42 tahun. Praktis hanya Unai Emery (Valencia, 37) dan Guardiola (38) yang memiliki usia lebih sedikit ketimbang mereka.

Menyangkut duet anyar ini, terdapat kesamaan sekaligus perbedaan unik. Baik Muniz maupun Mandia sama-sama punya relasi dengan klub Racing Santander. Bedanya Muniz tak lagi menukangi Racing di musim mendatang karena menerima tawaran comeback dari Malaga.

Sementara itu, Mandia justru mendarat di El Madrigal sebagai pengganti Muniz. Faktor pembeda lainnya adalah Mandia datang bermodal pelatih yang gagal saat mencoba membawa Hercules promosi dari Segunda A. Ini tak seperti Muniz, yang hijrah ke Santander setelah meloloskan Malaga ke Primera musim lalu.

“Saya ingin menekankan pada pemain bahwa para penonton datang ke stadion untuk mencari hiburan. Pemain diharapkan memberi suguhan terbaik dengan mengusung tinggi-tinggi kaus serta emblem klub. Dengan motivasi seperti ini, saya sudah tak sabar untuk mulai melatih,” ujar Mandia di situs resmi klub, dihadapan Racinguistas, saat diperkenalkan oleh manajemen Racing. (shr)


--


Birmingham
Tengah Profil Tinggi

Pekan ini, Birmingham dapat dibilang tak segiat dua klub promosi lain. The Blues hanya memastikan kedatangan Joe Hart. Penjaga gawang pinjaman dari Man. City itu menjadi rekrutan kelima Blues pada musim panas ini.

Namun, Birmingham tampaknya belum berniat menghentikan geliat mereka usai memperkuat pertahanan. Bos Alex McLeish masih mengincar sekurangnya tiga nama berprofil lumayan tinggi untuk sektor tengah.

Incaran pertama adalah Patrick Vieira. Si Biru malah sudah melakukan pendekatan yang dapat digolongkan mengejutkan. Chairman David Gold bahkan tak yakin usaha kubunya bisa berbuah.

“Pendukung akan melihat Vieira sebagai Dugarry kedua jika datang ke sini. Walau tidak mustahil, peluangnya tak terlalu bagus. Kami mungkin hanya punya kans satu banding 10 saja,” tutur Gold seperti dikutip 4thegame.

Target lainnya adalah kapten Glasgow Rangers, Barry Ferguson. Gelandang berusia 31 tahun ini bermasalah musim lalu dan kontraknya di Ibrox tinggal setahun lagi.

Sasaran terbaru adalah bek Tottenham, Gareth Bale. “Jika namanya dimasukkan ke daftar transfer, Gareth Bale adalah salah satu nama yang kami pertimbangkan,” sebut McLeish.

“Kami jelas memperlihatkan secercah ambisi dengan uang yang dikeluarkan untuk dua bek sentral muda. Diikuti kedatangan Christian Benitez, juga dengan uang besar, saya tentu tak bisa berkata tidak didukung direksi,” kata eks pelatih Rangers itu. (chrs)


Hull City
Tekanan Dua Arah

Kerja tiga klub promosi tampak mengesankan pada bursa transfer musim panas ini. Tak pelak, tim-tim yang musim lalu terancam terdegradasi akan semakin gerah dengan geliat trio baru tersebut, terutama jika gerak di bursa lebih banyak menemui kegagalan.

Hull adalah salah satu kubu yang mendapat tekanan besar baik eksternal maupun internal. Repotnya, tanda-tanda perbaikan tak kunjung tiba.

Pada Selasa (30/6), bos The Tigers, Phil Brown, mengungkapkan frustrasinya pada penun­daan keputusan Marc-Antoine Fortune. Striker Nancy yang musim lalu dipinjam West Brom ini juga diminati Celtic dan West Ham.

“Proses mandek dalam dua hari terakhir. Banyak yang mengatakan ada dua tawar­an lain yang diterimanya. Kami yakin peluang kami masih terbesar, tapi situasi ini mengkhawatirkan. Kalau tak ada kemajuan dalam dua sam­pai empat hari, kami akan meng­alihkan bidikan,” kata Brown mengultimatum di 4thegame.

Kegalauan Brown berlipat karena Frazier Campbell juga didekati Sunderland. Sekali lagi Brown berupaya meyakinkan diri. “Kami melakukan kontak konstan dengan Man. United, Frazier, dan ayahnya. Semoga kami bisa menemukan kata sepakat sebelum keluarganya berlibur,” sebutnya.

Kelanjutan pendekatan pada Michael Owen pun masih kabur. Tigers pun terancam. (chrs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar