Tubuhnya yang kecil serta wajahnya yang naif, tak dapat menyembunyikan usianya yang memang baru belasan. Tepatnya, 16 tahun. Bagi saya, "anak" ini mewakili generasi sebayanya. Mungkin tak semuanya, namun paling sedikitnya sebagian dari mereka.
Pagi itu ia -- sebut saja namanya "Irene" -- datang, meminta agar pernikahannya dapat diberkati digereja. Tentu saja saya terkejut. Saya mengenal benar "anak" ini. Ia pernah jadi "anak didik" saya.
"Mengapa begitu cepat? Dan mengapa begitu tiba-tiba?", tanya saya. "Saya sudah hamil empat bulan,pak", jawabnya.
"Hamil? Empat bulan?"
"Ya, pak".
"Apa yang terjadi? Dengan siapa?" Lalu ia pun bercerita. Bla bla bla. Tanpa beban. Setelah itu, giliran saya ber"khotbah". Bla bla bla. Sangat penasaran.
Akhirnya saya bertanya, "Apa kamu tidak menyesal?".
"Menyesal sih menyesal,pak".
"Menyesal karena apa yang telah kalian lakukan, atau sekadar karena kamu hamil?"
"Ya terutama karena saya hamil, pak. Sebab sebenarnya saya 'kan masih pengen sekolah, pak".
"Itu artinya kamu tidak menyesal karena "dosa" yang telah kamu lakukan. Begitu, bukan?,"tanya saya - wah, gemasnya!
"Yah, namanya juga anak muda, pak, "jawabnya. Enteng sekali.
SAYA setuju dengan Barclay yan gmengatakan, bahwa etika Kristen harus berbicara mengenai masalah "seks pra-nikah" ini dengan serius. Bukan saja karena jumlahnya semakin banyak, tetapi terutama karena kegiatan seksual ini-- dengan lambat, tapi pasti -- kian menahbiskan diri sebagai kegiatan seksual yang "normal". Sekiranya tidak terjadi wabah HIV/AIDS, kecenderungan ini pasti kian tak terbendung.
Namun begitu, banyak orang toh memilih diam atau sekadar mencaci-maki tak keruan. Orang-orang yang menolak seks pra-nikah dengan sepenuh keyakinan kian terpinggirkan. Karenanya, enggan menampilkan posisinya dengan lantang dan terus terang.
Di Barat, sejak puluhan tahun silam, malah muncul teolog-teolog kristen yang justru membela praktik ini. Salah satunya yang paling terkenal adalah Joseph Fletcher. Profesor etika Kristen ini antara lain menulis,"Kultus keperawanan agaknya akan menjadi benteng perlawanan terakhir terhadap kebebasan seks, dan pasti akan ambruk. Sebab kini, berkat perkembangan di bidang kedokteran, orang bisa bebas melakukan kegiatan seksualnya tanpa dibayangi ketakutan seperti sebelumnya".
Memang tidak semua yang dikatakan Fletcher itu salah. Namun, saya mohon, jangan pula pandangan-pandangannya itu kita telan bulat-bulat. Sebab tidak semua yang walaupun dikatakan oleh seorang profesor, bermanfaat bagi kekristenan.
Ini telah diingatkan oleh seorang teolog lain, Malcolm Muggeridge, yang mengatakan, "Kita telah membiarkan seniman-seniman kita dengan bebas menghancurkan kesenian; penulis-penulis kita menghancurkan kesusastraan; sarjana-sarjana kita menghancurkan keilmuwanan; dan agamawan-agamawan kita menghancurkan agama. Kita mengembang-biakkan barbarian di rumah kita sendiri".
Kebungkaman banyak orang terhadap masalah seks pra-nikah, adalah ke"diam"an yang berbahaya. Seperti diilustrasikan oleh eksperimen terkenal dari seorang psikolog, Profesor John Court.
Seekor katak ia taruh di sebuah wadah yang berisi air dingin. Pelahan-pelahan sekali, suhu air itu dinaikkan. Sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ke titik didih. Namun yang mengherankan adalah, katak itu kalem-kalem saja. Tak sedikit pun ia berusaha menyelamatkan diri. Rupanya proses perubahan itu berlangsung begitu lambatnya, sehingga katak itu nyaris tak merasakan apa-apa. Karena ke"diam"annya itulah, ia mati.
APA yang disebutsebagai "revolusi seks", juga demikian. Ia terjadi dengan bergugurannya"tabu-tabu" - tidak sekaligus, melainkan satu demi satu. Tidak kentara. Eksperimen di atas mengingatkan, justru karena itulah "revolusi" ini layak kita cermati dengan serius. Sebelum kita terkejut, lalu cuma bisa tergagap-gagap.
Dalam salah satu refleksi kita yang terdahulu saya telah menyinggung, bagaimana orang modern cenderung memisahkan"seks" dari "pernikahan". "Seks pra-nikah" adalah salah satu wujudnya.
Menurut Barclay, ada tiga alasan yang paling kerap dikemukakan orang, guna membenarkan kegiatan seksual yang dilakukan sebelum -- atau di luar --perkawinan.
Pertama, adalah ANTISIPASI. Ini adalah kegiatan seksual yang dilakukan oleh sepasang anak manusia yang saling mencinta. Begitu rupa, sehingga mereka merasa yakin dan pasti, bahwa pada suatu saat mereka akan menikah.
Meng"antisipasi" pernikahan mereka yang "pasti" itulah, mereka tanpa ragu melakukan hubungan seks."Apasalahnya? Kami toh pasti akan menikah".
Tindakan yang mereka lakukan itu, mungkin secara esensial memang belum dapat dikategorikan sebagai "zinah". Motivasi mereka pun boleh jadi memang tulus. Namun,toh ada dua hal yang perlu dikemukakan.
(a) mereka mengatakan, bahwa untuk mengekspresikan cinta kasih mereka yang murni itulah, mereka melakukan hubungan seks. Pertanyaan saya adalah, mengapa tidak sebaliknya? Mengapa mereka tidak mengekspresikannya, justru dengan tidak melakukan hubungan seks sebelum mereka benar-benar suami-istri? Bukankah salah satu ekspresi cinta yang sejati. adalah kesanggupan mengendalikan diri?
Kemudian, (b), apa sih yang betul-betul pasti di dunia ini? Dari mana mereka bisa begitu yakin, bahwa mereka pasti akan menikah - pada satu hari? Dalam hidup ini, anak-anakku, tak ada yang 100% pasti. Buktinya amat banyak. Tidak bijaklah mengantisipasi sesuatu, yang di luar daya kita untuk meng"antisipasi"nya!
ARGUMENTASI kedua, saya sebut saja,SIMULASI. Atau "coba dulu baru beli". Kata mereka, "Membeli baju atau sepatu saja 'kan perlu mencoba dahulu. Apa lagi mau menikah. Sebab itu"mencoba" itu perlu, agar orang mengetahui dengan pasti, bahwa memang "dia"lah orangnya, dengan siapa ia akan menghabiskan seluruh sisa umurnya. Caranya? Dengan "hidup bersama" dulu. "Hidup bersama "dijadikan "simulasi" atau "tiruan" hidup perkawinan yang sesungguhnya.
Argumentasi ini sepintas lalu terkesan masuk akal. Tapi sebenarnya ia mengandung salah-perkiraan yang fundamental! Salah besarlah, orang yang menyangka bahwa hidup perkawinan itu dapat disimulasikan. "Hidup bersama" tidak pernah mungkin menggambarkan "hidup perkawinan" yang sesungguhnya.
Dalam kaitan ini, Barclay mengemukakan sebuah analogi yang menarik. Tentang seorang yang memutuskan, untuk beberapa bulan hidup di daerah kumuh bersama-sama dengan orang-orang miskin. Dengan jalan itu, ia berharap bisa mengalami secara langsung dan pribadi, bagaimana rasanya jadi orang melarat itu.
Maksud yang mulia! Tapi salah perhitungan. Tinggal di daerah kumuh memang dapat memberikan banyak pengalaman berharga. Tapi tetap tidak mungkin membuat orang benar-benar mengetahui "bagaimana sih rasanya jadi orang melarat itu" .
Mengapa? Sebab ada perbedaan yang sangat mendasar. Si relawan bisa setiap saat meninggalkan situasi kemiskinan itu. Pengalamannya dapat menjadi bagaikan petualangan dan ekskursi yang romantis, seperti ketika orang berlibur dengan berkemah di hutan. Tidak enak, tapi nikmat. Sedang orang-orang miskin itu? Mereka tidak punya pilihan lain. Seumur hidup mereka, mereka sudah terperangkap oleh ke melaratan mereka. Dan ini melahirkan dua sikap, bahkan mentalitas, yang berbeda!
Intinya adalah, "perkawinan" tidak pernah dapat di"eksperimen"kan. Sebab perkawinan adalah sebuah "komitmen". Orang tidak dapat meng"eskperimen"kan komitmen. Yang mungkin hanyalah, "menerima" atau "menolak". Tidak ada peluang untuk "coba-coba".
KETIGA, adalah alasan yang mengatakan bahwa ESENSI adalah segala-galanya. Perkawinan itu lebih daripada sekadar secarik kertas atau sebuah seremoni. Esensi sebuah perkawinan adalah komitmen untuk membangun relasi. Inilah yang terpenting, dengan atau tanpa perkawinan. Dengan atau tanpa formalitas.
Argumentasi yang jitu, bukan? Esensi dan kualitas tentu saja memang lebih utama ketimbang bungkus luarnya. Tapi apakah itu berarti, formalitas tidak ada nilainya? Kenyataan menunjukkan, walaupun formalitas bukan segala-galanya, tapi orang memerlukannya.
Sebuah "kontrak kerja", misalnya, memang tidak menjamin adanya komitmen yang tulus dari kedua belah pihak. Tapi paling sedikit ia memberi "pegangan". Orang bisa melakukan tindakan hukum bila itu dilanggar.
Yang saya khawatirkan adalah, orang yang mengatakan bahwa "komitmen, bukan formalitas yang penting", sebenarnya adalah orang yang menolak komitmen.
Orang yang mengatakan bahwa formalitas pernikahan tidak penting -- sebab hanya cinta kasih, relasi dan komitmen-lah yang penting -- sering adalah orang yang menolak untuk memberi komitmen "resmi".
Mereka masuk dari pintu depan, tapi diam-diam menyiapkan "pintu darurat" di belakang. Agar sewaktu-waktu mereka bisa melarikan diri dari komitmen dan relasi, yang selalu mereka katakan paling penting itu. Dan melarikan diri dengan mudah, tanpa direpotkan oleh tetek-bengek formalitas, seperti mengurus surat cerai dan sebagainya. Nah., ketahuan "belang"nya, bukan?
"You may have a fresh start any moment you choose, for this thing that we call failure is not the falling down, but the staying down."
Mary Pickford
1893-1979, Actress and Producer
--
I guess that one of the most important things I've learned is that nothing is ever completely bad. Even cancer. It has made me a better person. It has given me courage and a sense of purpose I never had before. But you don't have to do like I did...wait until you lose a leg or get some awful disease, before you take the time to find out what kind of stuff you're really made of. You can start now. Anybody can."
Terry Fox
1958-1981, Canadian man (with an artificial right leg) who ran across Canada to raise money for cancer research.
Man. United
Adu Keteguhan Mempertahankan Karakter
Masih ingatkah pembaca soal perubahan taktik Chelsea menuju final Liga Champion di Moskow musim lalu? Untuk menghentikan laju Cristiano Ronaldo, Avram Grant saat itu menempatkan Michael Essien sebagai bek kanan.
Ternyata CR7 tetap saja bisa mencetak gol pembuka dengan tandukan kepalanya di paruh pertama setelah dalam dua kesempatan sebelumnya pun bisa melewati Essien lewat sayap kiri atau merepotkan Ashley Cole di right flank.
Perpindahan posisi Ronaldo di kedua sisi ini sudah bisa dibaca Avram, tapi Sir Alex Ferguson toh tetap bisa mengeksploitasi kemampun terbaik CR7 dengan maksimal untuk mendulang gelar juara.
Lewat analogi daya baca taktik yang bagus pulalah akhirnya bursa-bursa taruhan Eropa kini "sedikit mengunggulkan" Barcelona menuju Olimpico pada Rabu (27/5). Pep Guardiola dianggap sama pintarnya dengan Avram dalam meraba taktik United, namun Barca dinilai punya daya ledak lebih baik ketimbang Chelsea musim lalu.
So, sekarang marilah kita berandai-andai membaca isi kepala Fergie untuk melihat tren di atas. Celah di kedua sisi backfour Barcelona, yang tanpa Eric Abidal dan Daniel Alves, mau diapakan oleh The Scotman?
Jujur saja, hilangnya kedua fullback yang mungkin harus ditutupi Carles Puyol dan Sylvinho itu jadi tidak penting. Ini terjadi mengingat sejak perempat final kedua melawan Porto secara kasat mata United memajang Ronaldo sebagai striker, bukan sebagai pemain sayap seperti di final setahun lalu.
Duet Yaya Toure dan Gerard Pique, atau siapa pun, sebagai bek tengah La Blaugrana sayangnya juga terlalu tangguh bagi Dimitar Berbatov, yang terlalu ringkih dalam duel one on one di udara dan bola-bola datar.
Alhasil, taktik untuk memasang Park Ji-sung di kanan, Wayne Rooney di kiri, dan CR7 di tengah sepertinya tetap bakal dijalankan Fergie.
Jangan Meniru Hiddink
Strategi umum yang mirip dengan penampilan United dalam semifinal kedua menghadapi Arsenal memang pas untuk menghadapi klub-klub Spanyol, yang bermodalkan umpan-umpan pendek dan pergerakan cepat. Faktor yang membedakan hanyalah absennya Darren Fletcher di posisi gelandang sentral.
Tanpa Fletcher, sosok yang paling tepat sebagai pengganti pemain asal Skotlandia adalah Paul Scholes, bukan Ryan Giggs. Scholesy memang punya karakter yang kuat dalam bertahan ketimbang Giggsy atau Anderson Oliveira.
Pemilihan holding midfielder pendamping Michael Carrick di tengah ini amat menentukan lantaran Barca amat sulit diredam. Dengan bermodalkan sepuluh pemain saja, di semifinal kedua Chelsea dibuat kocar-kacir oleh skuad Guardiola.
Guardian menyebut resep terbaik bagi United untuk menghentikan kubu Catalan adalah tampil dengan karakter asli dan jangan bertahan terlalu rapat seperti yang Guus Hiddink terapkan di semifinal bersama The Blues.
Rasa takut suporter United, yang merebak oleh kehadiran Lionel Messi, Samuel Eto’o, atau Thierry Henry, disebut media berpengaruh di Inggris itu sama besarnya dengan kekhawatiran pendukung lawan untuk mengamati pergerakan Ronaldo, Rooney, hingga Carlos Tevez.
Pengejaran tahta kali ini memang memiliki beribu makna dan sisi untuk diantisipasi. Bagi United, keberhasilan di Roma nanti akan membuat mereka kian dipandang prestisius lantaran menjadikannya sebagai klub pertama yang berhasil mempertahankan gelar di era Liga Champion, yang dimulai pada 1991.
Bisa Samai Paisley
Sebelum Fergie, tercatat ada sembilan pelatih yang berhasil mempertahankan gelar di era lama perebutan Piala Champion, yaitu Jose Villalonga (1956, ‘57), Luis Antonio Carniglia (1958, ‘59), Bela Guttman (’61, ‘62), Helenio Herrera (’64, ‘65), Stefan Kovacs (’72, ‘73), Dettmar Cramer (’75, ‘76), Bob Paisley (’77, ’78), Brian Clough (’79, ‘80), dan Arrio Sacchi (’89, ‘90).
Raihan gelar di 2009 ini juga bakal membuat Fergie sejajar dengan mantan bos Liverpool, Paisley, dalam mengoleksi tiga Piala Champion setelah Glaswegian itu bersama United sukses di 1999 dan 2008.
Tercatat sudah tiga dekade Sir Alex merambah kompetisi antarklub UEFA. Pengalaman pertama lelaki berumur 67 tahun itu adalah ketika menangani Aberdeen di kancah Eropa 1978/79 alias ketika Guardiola tengah berusia tujuh tahun!
Namun, kekayaan pengalaman Fergie itu bisa punah dengan kreativitas spontan yang termaktub dalam kebeliaan sang pelatih lawan yang kini baru berusia 38 tahun.
Well, apalagi tak satu pun pemain utama United kini yang mengenali karakter klub Spanyol lewat pengalaman mengarungi La Liga.
Sebaliknya Gerard Pique, sebelum menjadi pilar belakang Blaugrana, sempat tiga musim membela Setan Merah dan mencetak dua gol di Liga Champion bagi United musim lalu.
Praktis hanya Scholes dan Giggs yang memiliki jam terbang tinggi menghadapi Barcelona. Scholesy adalah pencetak gol tunggal kemenangan United dengan agregat 1-0 atas klub Catalan di semifinal musim lalu.
Sementara itu, Giggsy terlibat di putaran grup 1994/95 untuk menghadapi Guardiola, yang kala itu masih bermain di kubu Barca. Tak bisa disangkal bahwa akumulasi pengalaman Gary Neville, Scholes, Giggs, dan Fergie kini amatlah kuat untuk mengatasi antusiasme permainan ofensif Barcelona.
Nah, saat bicara adu kekuatan untuk mempertahankan karakter asli masing-masing klub saat menghadapi final ideal ini, variabel jam terbang jelas amat penting.
Ingatlah, musim lalu di Moskow kartu merah Scholes membuat United hanya bermain dengan sepuluh pemain pada extra time dan adu tendangan penalti. Nyatanya mereka tetap jadi kampiun karena punya aura juara yang kuat dengan kematangan jiwa United sebagai sebuah entitas elite di sepak bola Eropa. (Darojatun)
PRAKIRAAN FORMASI
---------------------------------------
MAN. UNITED (4-4-2) 1-Van der Sar; 22-O’Shea, 5-Ferdinand, 15-Vidic, 3-Evra; 7-Ronaldo, 8-Anderson, 16-Carrick, 13-Park Ji-Sung; 10-Rooney, 9-Berbatov
Cadangan: 29-Kuszczak; 23-Evans, 21-Rafael, 18-Scholes, 17-Nani, 11-Giggs, 32-Tevez.
Pelatih: Sir Alex Ferguson (Sko)
Absen: Fletcher (hukuman)
Gol Man. United
Tipisnya Batas Antar-Lini
Wilayah yang tersubur di kubu United adalah lini depan dengan sumbangan total sepuluh gol. Tapi, terlalu naif untuk mengatakan bahwa kondisi tersebut murni lantaran ketajaman para penyerangnya.
Jangan lupa, pencetak gol terbanyak United di ranah Eropa musim ini ada tiga orang dengan salah satunya adalah Cristiano Ronaldo (4 gol). Sebanyak tiga gol CR7 dicetak justru saat dirinya diposisikan sebagai penyerang tunggal sejak laga kedua perempat final, bukan sebagai winger.
Pertukaran posisi gelandang-striker ini memper lihatkan bahwa batas antarlini di United amat tipis. (toen)
Sebaran Gol Man. United
Dua Masa Paceklik
Red Devils memiliki karakter sebagai tim yang cepat mengambil kendali dalam pertandingan. Hal ini terlihat dari besarnya persentase gol mereka di 15 menit pertama pertandingan.
Namun, mereka memiliki dua periode paceklik gol selama LC 2008/09, yaitu pada menit ke-16 hingga ke-30 dan pada menit ke-61 hingga ke-75. Kecenderungan ini bisa dipahami karena sebagai tim yang lebih dulu mencetak gol mereka justru lebih menahan diri dalam menyerang untuk mempertahankan keunggulan.
Ini pun konsisten dengan kenyataan bahwa persentase pencetakan gol terbesar kedua adalah di 15 menit terakhir. Pada menit krusial itu CR7 cs. kerap mencetak gol lewat serangan balik dengan memanfaatkan keunggulan stamina para pemainnya. (toen)
--
Kostum Final
Tuah United Putih
Barcelona mendapat keuntungan cukup besar di Olimpico nanti. Raksasa Catalan ini dapat memakai seragam kebesarannya, biru-merah, karena dianggap tuan rumah.
Efek tak mengenakkan dirasakan Man. United. Sebagai tim “tamu”, The Red Devils tak bisa memakai warna kebesarannya, merah. Putih, yang merupakan seragam tandang pertama, akan dipakai.
Barca dengan blaugranes merasakan banyak kesuksesan domestik. Sebagian besar dari 25 titel Copa del Rey diraih dengan biru-merah, termasuk atas Bilbao dua pekan lalu.
Di duel puncak Liga Champion, Barca toh merasakan kedua hasil akhir, kalah dan menang. Trofi terakhir, 2006, diambil dengan biru-merah. Titel pertama pada 1992 justru diraih memakai kostum kuning ketika mengalahkan Sampdoria.
Yang tampaknya lebih menarik adalah menanti pengaruh kostum putih pada pasukan Sir Alex Ferguson. Setan Merah cukup sering menelan kekalahan jika memakai putih di laga puncak.
Putih Pertama
Di dua duel puncak Piala Liga, 1983 dan 2003, United gagal saat mengenakan putih. Liverpool, lawan di dua final itu, memaksimalkan warna merah.
Di final Piala FA, United berkaus putih sekali kalah. Dua kali menjadi juara dengan warna putih, tapi kesuksesan pada 1990 atas Crystal Palace terjadi saat berkostum merah. Replay diadakan setelah skor 3-3 di partai pertama dengan kostum putih itu.
Well, kostum putih pernah memberi memori indah saat melawan Barcelona. Benturan kedua kubu sebelumnya di final, yaitu final Piala Winner almarhum, pada 1991, menelurkan United sebagai kampiun. Satu gol Ronald Koeman tak cukup mengejar dua gol Mark Hughes kala itu. Akankah kenangan tersebut terulang? (chrs)
--
Rekor Duel Inggris versus Spanyol
Anomali Buku Rekor Barca
Roma Finale 2009 bukanlah pertemuan pertama Manchester United dengan Barcelona di sebuah puncak perhelatan pentas sepak bola antarklub Eropa. Pada 1990/91, United menyabet Piala Winner dengan menumpas El Barca 2-1 di final yang digelar di Rotterdam. Bila menilik compang-campingnya lini belakang La Blaugrana, sepertinya momen kemenangan United bakal berulang. Apalagi bila menilik fakta bahwa Red Devils tak pernah kalah dalam setiap penampilannya di total tiga final perebutan Piala Champion.
Namun, hitungannya jadi berbeda bila kita menilik track record United setiap kali menghadapi klub-klub La Liga. Ingatlah bahwa di final-final sebelumnya klub asal Manchester itu belum pernah bersua kubu Spanyol.
Secara keseluruhan, rekor United pun tidak terlalu superior bila menghadapi tim Spanyol. Dalam 37 kali kesempatan, Setan Merah hanya bisa menang sepuluh kali saja (11 kalah, 16 imbang).
Sebaliknya, Barcelona justru lumayan dominan bila meladeni gaya kick and rush Britania. Sudah 52 kali El Barca menghadapi wakil Inggris dengan rekor 20 kali menang, 17 imbang, dan 15 kali kalah.
Uniknya kecenderungan ini menjadi inkonsisten bila menilik sembilan pertemuan sebelumnya antara United dan Barcelona sendiri, di mana justru skuad United justru unggul tipis (3 menang, 4 imbang, 2 kalah).
Ini artinya Red Devils adalah sebuah fenomena anomali klub Inggris dalam buku rekor Barcelona.
Messi dan Ronaldo Mandul
Lebih hebat lagi ternyata bintang kedua kubu, yaitu Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, tidak pernah mencetak gol dalam pertemuan Inggris versus Spanyol. Dalam sepuluh kesempatan menghadapi wakil Premier League, Messi selalu mandul seperti halnya CR7 dalam enam pertemuan melawan klub-klub La Liga. (Darojatun)
REKAMAN FINAL ANGLO-SPANISH
----------------------------------------------------------------
1963 Final Piala UEFA: Tottenham vs Atletico Madrid 5-1
1971 Final Piala Winner: Chelsea vs Real Madrid 2-1
1980 Final Piala Winner: Valencia vs Arsenal 0-0 (ap. 5-4)
1981 Final Piala Champion: Liverpool vs Real Madrid 1-0
1991 Final Piala Winner: Man. United vs Barcelona 2-1
1995 Final Piala Winner: Real Zaragoza vs Arsenal 2-1
2001 Final Piala UEFA: Liverpool vs Alaves 5-4
2006 Final Piala UEFA: Sevilla vs Middlesbrough 4-0
2006 Final Liga Champion: Barcelona vs Arsenal 2-1 (uefa/toen)
--
Pemain Kunci Absen di Final
Tak Selalu Sumber Kekalahan
Pada partai final Rabu besok, Barcelona dan Manchester United sama-sama kehilangan pemain kuncinya karena skorsing. Barcelona tidak bisa diperkuat dua bek sayap mereka, Daniel Alves dan Eric Abidal. Sementara itu, gelandang bertahan Darren Fletcher absen membela United.
Kehilangan pemain-pemain penting akan mem engaruhi kekuatan tim. Jika terjadi di final, kehilangan pemain kunci acap disebut sebagai penyebab kekalahan sebuah tim.
Sejarah Liga Champion mencatat absennya Dejan Savicevic, Jens Nowotny-Ze Roberto, dan Pavel Nedved membuat Milan, Bayer Leverkusen, dan Juventus masing-masing kalah di final 1995, 2002, dan 2003.
Tapi, tidak selamanya kehilangan pemain kunci membuat sebuah klub kalah di partai final. Ada juga tim yang mampu keluar sebagai juara kendati tidak diperkuat pemain penting miliknya.
Milan menjadi kampiun tahun 1994 saat mereka tidak bisa menurunkan dua bek tengah utama, Franco Baresi-Alessandro Costacurta, karena skorsing. Manchester United dan Barcelona pun pernah merasakan sensasi itu.
Ketika menjadi juara tahun 1999, United kehilangan duet gelandang Roy Keane-Paul Scholes,yang terkena akumulasi kartu. Pada final2006, Barcelona juga tidak diperkuat Lionel Messi karena sang striker mengalami cedera. Nyatanya, El Barca tetap bisa mengalahkan Arsenal 2-1 di partai final. (wid)
Jumat, 29 Mei 2009
NAMANYA JUGA ANAK MUDA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar