Jumat, 22 Mei 2009

12 Jurus Untuk Menyalakan Spirit Motivasi




Buku-buku dan seminar tentang motivasi kini tumbuh subur bagaikan cendawan di musim hujan. Dan tengoklah bahasa bombastis dari iklan yang menyertai beraneka seminar itu : motivasi untuk mencapai sukses luar biasa..… membangkitkan inner motivation Anda untuk meraih peak performance.……atau kalimat heroik lainnya.

Persoalannya, spirit motivasi yang bersifat permanan acap tak bisa diciptakan dengan metode sim salabim semacam itu. Seminar yang penuh yel-yel semangat itu mungkin bisa menciptakan sensasi motivasi yang meletup; namun dalam hitungan hari bisa langsung lenyap tak berbekas. Sebab, disini memang tak ada lampu aladin yang mendadak bisa merubah mental kerja sesorang dalam sekejap.

Lalu, ikhtiar apa yang mesti diusung untuk merajut bentangan proses motivasi yang lebih bersifat permanen? Dan bukan sekedar sensasi sesaat?

Kita mungkin bisa menjawab pertanyaan itu melalui sebuah konsep penting dalam motivasi kerja. Para ahli menyebut konsep ini sebagai “work engagement”. Inilah sebuah tema yang ingin melihat sejauh mana totalitas dan keterlibatan seseorang dengan pekerjaan yang ditekuninya. Sejauh mana ia melakukan persenyawaan dengan pekerjaan beserta dengan segenap dinamikanya.

Ada sejumlah indikator kunci yang bisa digunakan untuk melacak sejauh mana seseorang memiliki work engagement yang kokoh. GallupOrganization, sebuah lembaga riset human behavior terkemuka, telah merancang sebuah instrumen yang mereka sebut sebagai Q -12 untuk mengidentifikasi level engagement itu.

Instrumen Q 12 ini berisikan 12 pertanyaan (questions) yang layak kita eksplorasi disini.

1. Pertanyaan yang pertama adalah : Dalam pekerjaan Anda, apakah Anda mengetahui dengan jelas ekspektasi yang diharapkan dari Anda? Pertanyaan ini penting, sebab jangan-jangan selama ini Anda tak tahu persis apa tujuan dan harapan dari atasan mengenai hasil akhir pekerjaan yang diinginkan.

2. Apakah Anda dibekali dengan peralatan dan bahan yang tepat serta diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan Anda dengan benar? Kira-kira fasilitas kantor Anda sudah oke atau belum? Apakah komputer yang Anda pakai sudah kelas Dual Core atau masih kelas Pentium (pentium 2 lagi); apakah ruang kerja Anda sudah nyaman, atau sebaliknya, kumuh bak terminal bis?

3. Dalam menuntaskan tugas, apakah Anda diberi kesempatan dan didorong untuk mempersembahkan yang terbaik setiap harinya? Adakah atasan dan segenap lingkungan kantor secara simultan mendorong Anda to do your best every single day?

4. Dalam tujuh hari terakhir, apakah Anda pernah menerima pujian dan apresiasi atas tugas yang telah Anda selesaikan dengan sempurna? Jangan-jangan selama kerja puluhan tahun, Anda ndak pernah menerima secuilpun apresiasi dan pujian? Duh.

5. Apakah atasan atau rekan kerja menganggap Anda sebagai “a person” ? Mungkin Anda sendiri tahu maknanya, tanpa perlu dijelaskan.

6. Apakah di kantor ada seseorang yang care dan selalu meng-encourage pengembangan diri Anda? Atau Anda dibiarkan untuk melakoni rute panjang pengembangan diri itu sendirian. Dibiarkan mengembara dalam sepi dan kesunyian…

7. Dalam proses penyelesaian pekerjaan, Apakah opini dan pendapat Anda dihargai? Atau sebaliknya, dicuekin melulu (aduh capek deh….).

8. Apakah visi/misi perusahaan membuat Anda merasa bangga dengan tugas yang Anda kerjakan sekarang? Atau jangan-jangan Anda sendiri tak pernah tahu visi/misi perusahaan Anda. Hello……

9. Apakah segenap rekan kerja Anda memiliki komitmen untuk merampungkan pekerjaan yang berkualitas? Atau semuanya bekerja dengan semangat ala kadarnya saja.

10. Apakah Anda memiliki best friend di kantor? Ah, temen sejati gw sih cuman ada di Facebook, begitu mungkin hati Anda berbisik. Wah cilaka, kalo begitu.

11. Dalam enam bulan terakhir, apakah ada someone yang berbicara dengan Anda mengenai perkembangan ketrampilan Anda? About your progress?

12. Dalam setahun ini, apakah Anda memiliki sejumlah peluang to learn and grow? Tumbuh dan berkembang menjadi insan yang produktif nan termotivasi?

Itulah 12 pertanyaan kunci dalam Gallup Q-12. Jika Anda memberikan jawaban negatif lebih dari 10 pertanyaan diatas; kemungkinan Anda mengalami apa yang disebut “actively dis-enganged”. Kalau ada lebih dari 6 jawaban negatif berarti Anda merasa “dis-engaged”.

Kalau demikian, jangan hanya pasif belaka. Do something. Email-kan 12 pertanyaan kunci diatas kepada CEO atau HR Director di kantor Anda; dan kemudian bangunlah dialog untuk mencari solusi yang paling optimal. Sebab hanya dengan itulah, spirit motivasi Anda dan semua rekan kerja Anda bisa terus menyala.

Oke, salam semangat pagi teman !! Semoga hari ini, motivasi Anda semua bisa terus berkibar sepanjang hari !!


Mencapai Work engagement yang kokoh.

Mengapa motivasi mudah meredup, jawabannya adalah karena kita terlalu banyak berharap dari sesuatu yang sangat tidak patut untuk dijadikan harapan karena kelemahannya yaitu - manusia atau atasan.

Ingat, mengharap anda termotivasi karena atasan yang baik, lingkungan yang menyenangkan adalah sangat sangat sulit. Berharaplah hanya kepada Tuham.

Bacalah 12 langkah dibawah ini jika mengharap motivasi selama 365 hari dalam setahun.

Nampaknya 12 Q dapat dan harus diubah menjadi 12 O (Obligation / Kewajiban) jika anda ingin selalu termotivasi. Mengharapkan 12 Q selalu positif adalah sulit karena sebagian tergantung pihak diluar kita. Jadi lebih baik mulai dari dari diri kita yaitu dengan menjalankan 12 O.

12 O ini merupakan jawaban langsung dari 12 Q.

O No. 1 : Sesuaikan pekerjaan kita dengan harapan atau tujuan Tuhan. Ingat tidak semua tujuan atau harapan Atasan sesuai dengan etika moral dan jika demikian maka yang terjadi adalah demotivasi. Contoh harapan atasan yang tidak sesuai etika moral yang baik yaitu peningkatan penjualan yang luar biasa dengan menggunakan cara-cara yang tidak halal misal menyuap.

O No. 2 : Jangan melihat apa yang disediakan Perusahaan. Lihat bahwa Tuhan memberi banyak kemampuan kepada anda untuk menaklukkan hambatan yang ada.

Binatang lebih rendah dari manusia tetapi dia tetap bisa hidup melawan rintangan alam.

O No. 3 : Jangan mengharapkan dorongan orang lain - anda akan kecewa. Sekali lagi jadikanlah niat Lillahi ta’ Ala sebagai dorongan abadi.

O No. 4 : Jangan pernah mengharap pujian dari manusia - mahluk ciptaan Tuhan yang sangat terbatas kemampuannya - anda akan kecewa. Yakinkan bahwa Tuhan melihat apa yang kita lakukan (niat kita, kemampuan kita, keterbatasan kita, kerja keras kita dll yang tidak mampu dilihat manusia biasa) dan ia yang berhak menilai kita.

O No. 5, No. 6 dan No 7 : Ulangi No 3 dan No. 4.

O No. 8 : Jangan gunakan Visi dan Misi Perusahaan, terlalu naif. Sekali lagi Visi Misi anda : Mencari ridha Illahi. Jangan mencari selain itu karena terlalu jauh dan biasanya abstrak - sulit untuk memotivasi dari kondisi seperti itu.

O No. 9 : Tetaplah bekerja sebaik mungkin / kerja keras (jihad) karena anda yakin bahwa Tuhan melihat apa yang anda lakukan.

O No 10. : Betul carilah teman baik sebanyak mungkin perbanyaklah silaturahim.

O No. 11 : Jangan pernah merasa tidak diperhatikan. Lihat O No. 9.

O. No 12. : Jangan kecewa jika tidak ada peluang untuk learn and growth. Sekali lagi jangan pernah menyandarkan apapun dari manusia. Jangan mengeluh terhadap apa yang diberikan kepada anda. Yakinlah bahwa apapun yang terjadi dengan diri anda adalah rencana terbaik yang diciptakan Tuhan untuk anda. Selalulah introspeksi diri dan perbaiki keadaan anda.

Inti dari semua 12 O ini adalah :

Jangan berharap termotivasi jika menyandarkan pada kehidupan dunia.

Jangan pernah berharap dari manusia, berharaplah pada Tuhan dan dalam kegiatan apapun. Jadilah manusia yang diinginkan Tuhan yaitu manusia yang beriman dan beramal saleh. Yakinkan diri anda dalam keadaan apapun bahwa yang sedang terjadi baik atau buruk (menurut anggapan anda) adalah rencana terbaik Tuhan untuk anda. Anda tidak akan pernah kecewa terhadap hasil akhir yang kan diberikan Tuhan pada anda selama anda pasrah terhadap ketentuannya.

Semoga anda selalu termotivasi 365 hari dalam setahun.


--



Lima Dimensi Kunci dalam Kecerdasan Sosial


Di suatu pagi yang cerah di sebuah gedung perkantoran yang menjulang, saya bergegas memasuki sebuah lift yang sudah penuh sesak terisi. Terlihat wajah-wajah segar dengan semangat pagi untuk segera menyambut tugas yang sudah menanti. Di dalam lift, semua terdiam, mungkin benak mereka tengah dipenuhi dengan beragam rencana yang hendak didapuk pagi itu. Mendadak – sekonyong-konyong – bau tak sedap merebak di ruang lift yang sempit dan penuh sesak itu. Segera semua penghuni lift menutup hidungnya, ada yang dengan tisu, dengan saputangan, atau dan dengan jari-jarinya.

Saya tak tahu siapa yang di pagi nan cerah itu, di sebuah lift yang penuh sesak, dan dengan tanpa rasa dosa, mengeluarkan gas dengan amat sempurna dari perutnya. Sebuah serangan pagi yang mendadak membuat semangat saya seperti lenyap dilumat oleh bau gas yang amat menyengat. Siapapun orangnya, ia mungkin termasuk golongan orang yang memiliki kecerdasan sosial yang pas-pasan.

Kecerdasan sosial (atau social intelligence) kini tampaknya kian menduduki peran yang amat penting ketika kita hendak membangun sebuah relasi yang produktif nan harmonis. Relasi kita dengan kerabat, dengan tetangga, dengan rekan kerja atau juga dengan atasan mungkin bisa berjalan dengan lebih asyik kalau saja kita mampu mendemonstrasikan sejumlah elemen penting dalam kecerdasan sosial.

Dalam konteks itulah, kehadiran buku bertajuk Social Intelligence : The New Science of Success karya Karl Albrecht ini patut disambut dengan penuh antusiasme (buku yang amat memikat ini telah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia oleh Penerbit PPM dengan judul Cerdas Bergaul : Kunci Sukses dalam Bisnis dan Masyarakat).

Secara garis besar, Albrecht menyebut adanya lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Kata S merujuk pada kata situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Orang yang tanpa rasa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak itu pastilah bukan tipe orang yang paham akan makna kesadaran situasional. Demikian juga orang yang merokok di ruang ber AC atau yang merokok di ruang terbuka dan menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya.

Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa diri). Bagaimana etika penampilan Anda, tutur kata dan sapa yang Anda bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya. Anda mungkin bisa mengingat siapa rekan atau atasan Anda yang memiliki kualitas presense yang baik dan mana yang buruk.

Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia nan bermartabat.

Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana kita dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide kita secara renyah nan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Acap kita memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan atau rekan kerja kita ndak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif barangkali memang hanya akan bisa dibangun dengan indah manakala kita mampu mengartikulasikan segenap pemikiran kita dengan penuh kejernihan dan kebeningan. (Saya sendiri sudah pernah mengulas teknis mengartikulasikan gagasan secara efektif ini, dan ulasannya bisa dibaca disini).

Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat terhadap sesama rekan kita.

Demikianlah lima elemen kunci yang menurut Karl Albrecht merupakan aspek penting yang layak diperhatikan untuk bisa menenun bingkai kecerdasan emosional secara optimal. Tentu saja kita harus selalu menyempurnakan diri dalam kelima dimensi penting ini, supaya kita semua juga bisa menjadi pribadi-pribadi yang cerdas secara sosial. Dan bukan seperti orang yang kentut di pagi hari nan cerah di sebuah lift yang penuh sesak itu……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar