Selasa, 19 Mei 2009

Mengapa susu paling jelek untuk manusia?


TIDAK ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum susu kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah tidak anak-anak lagi tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti menyalahi perilaku yang alami seperti itu?

"Itu gara-gara pabrik susu yang terus mengiklankan produknya," ujar Prof Dr Hiromi Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme (Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah makanan/minuman paling buruk untuk manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana anak sapi yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu manusia, katanya.

Mengapa susu paling jelek untuk manusia?

Bahkan, katanya, bisa menjadi penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga ketika masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak sempat berinteraksi dengan enzim yang diproduksi mulut kita. Akibat tidak bercampur enzim, tugas usus semakin berat. Begitu sampai di usus, susu tersebut langsung menggumpal dan sulit sekali dicerna. Untuk bisa mencernanya, tubuh
terpaksa mengeluarkan cadangan "enzim induk" yang seharusnya lebih baik dihemat. Enzim induk itu mestinya untuk pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang. Namun, karena enzim induk terlalu banyak dipakai untuk membantu mencerna susu, peminum susu akan lebih mudah terkena osteoporosis.

Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus terkemuka di dunia. Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun. Berarti dia sudah sangat berpengalaman menjalani praktik kedokteran. Dia sudah memeriksa keadaan usus bagian dalam lebih dari 300.000 manusia Amerika dan Jepang. Dia
memang orang Amerika kelahiran Jepang yang selama karirnya sebagai dokter terus mondarmandir di antara dua negara itu.

Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiromi sekalian melakukan penelitian. Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus dengan kebiasaan makan dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang ususnya berantakan pasti yang makan atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia sebut tidak bermutu itu antara lain susu dan daging.

Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan makanan/minuman yang "jelek": benjol-benjol, luka-luka, bisul- bisul, bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan karet gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang diinginkan usus. Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.

Karena tugas usus adalah menyerap makanan, tugas itu tidak bisa dia lakukan kalau makanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bukan saja ususnya kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak banyak. Akibatnya, pertumbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan tubuh sangat jelek, sel radikal bebas bermunculan, penyakit timbul, dan kulit cepat menua. Bahkan, makanan yang tidak berserat seperti daging, bisa menyisakan kotoran yang menempel di dinding usus: menjadi tinja stagnan yang kemudian membusuk dan menimbulkan penyakit lagi.

Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan. Dia hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh makanan yang masuk ke perut.

Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya rasa, keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, dia minta kita menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya mengoyak-ngoyak makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur untuk makan daging 15 persen dari seluruh makanan yang kita perlukan.

Dia juga menyebut contoh harimau yang hanya makan daging. Larinya memang kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak "lomba lari" oleh mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.

Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan itu, katanya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih penting agar di mulut makanan bisa bercampur dengan enzim secara sempurna. Demikian juga kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan yang baik. Minum itu, tulisnya, sebaiknya setengah jam sebelum makan. Agar air sudah sempat diserap usus lebih dulu.

Bagaimana kalau makanannya seret masuk tenggorokan? Nah, ini dia, ketahuan. Berarti mengunyahnya kurang dari 30 kali! Dia juga menganjurkan agar setelah makan sebaiknya jangan tidur sebelum empat atau lima jam kemudian. Tidur itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut kosong. Kalau semua teorinya diterapkan, orang bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang umur, awet muda, dan tidak akan
gembrot.

Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah diberi "modal" oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang tersimpan di dalam "lumbung enzim- induk". Enzim-induk ini setiap hari dikeluarkan dari "lumbung"-nya untuk diubah menjadi berbagai macam enzim sesuai keperluan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke perut, semakin boros menguras
lumbung enzim-induk. Mati, menurut dia, adalah habisnya enzim di lumbung masing-masing.

Maka untuk bisa berumur panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan langsing haruslah menghemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa ditambah dengan cara selalu makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal makanan segar ini. Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka mengalami karatan. Bahan makanan pun demikian.

Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri sudah persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka. Minyak yang oksidasi, katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu memerlukan enzim yang banyak.

Apa saja makanan yang direkomendasikan?

Sayur, biji-bijian, dan buah. Jangan terlalu banyak makan makanan yang berprotein. Protein yang melebihi keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu harus dibuang. Membuangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya
juga harus menguras lumbung enzim.

Prof Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu dengan sungguh- sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 tahun, tapi belum pernah sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia juga makan makanan yang di luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa. Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan "jelek" itu masuk ke dalamnya secara terus-menerus atau
terlalu sering.

Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga menerapkan "pengobatan" seperti itu. Pasien-pasien penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan dengan "pengobatan" alamiah tersebut. Pasiennya yang sudah gawat dia minta mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya melalui sistem tubuh secara keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke jantung. Padahal, penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus.

Demikian juga dokter-dokter spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah yang menghancurkan ilmu kedokteran yang sesungguhnya.

Saya mencoba mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru bisa 50 persennya. Entah, persentase itu akan bisa naik atau justru turun lagi sebulan ke depan.

Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus makan makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa membuat enzim-induk bertambah.



---

Belakangan ini, setiap perusahaan berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi para pelanggannya. Sejalan dengan judul Majalah Marketing Mei 2009 ini "Service Quality or DIE !!!". Kelihatannya judul Majalah Marketing cukup provokatif, namun perlahan tapi pasti kita akan melihat perusahaan yang dulu besar akan perlahan-lahan mati jika tidak mempertahankan kualitas pelayanan dan jika tidak terus melakukan inovasi untuk meningkatkan daya saing....!!

Dalam bisnis taksi: mobil keluaran terbaru, pengetahuan sopir terhadap jalan-jalan utama, berseragam, keramahan sopir sudah menjadi GENERIK. Artinya, sudah menjadi keharusan atau ditinggalkan pelanggan. BlueBird sebagai perusahaan taksi yang menjadi pionir dalam pelayanan, Blue Bird tidak menjadikan taksi hanya sebagai sarana transportasi bagi penumpang. Tapi, perasaan aman dan nyaman adalah tambahan selain tujuan utama bisa tiba ditempat tujuan dengan tepat waktu.

Sekarang, Rasa Nyaman dan Aman saja mulai dirasakan kurang. Harus ada tambahan yang harus diberikan kepada pelanggan agar dapat menjadi loyal terhadap sebuah merek. Kalau tidak, ya itu tadi... akan menjadi Generik... artinya naik taksi Express, Gamya, Gading, Golden, Celebrity, Taxicab atau Taksiku sama saja. Fenomena ini seharusnya dijadikan WARNING serius bagi para pemilik merek. Akan sangat berbahaya bagi sebuah merek, jika pelanggan tidak lagi melihat ada keunggulan dari sebuah merek dibanding merek-merek lainnya.

Saya melihat merek TAKSIKU berusaha keluar dari pakem ini. Awalnya dengan mengGRATISkan biaya tol untuk semua penumpang yang menuju bandara (katanya: saat ini yang menuju bandara dulu, nantinya akan digratiskan pula yang dari Bandara). Lalu bersama beberapa taksi lainnya, TAKSIKU menerapkan tarif bawah dengan perhitungan Rp 2500 per kilometer (tarif atas Rp 3000 per kilometer) dan biaya buka pintu Rp 5000 (tarif atas Rp 6000). Nah, yang teranyar, semua perjalanan menggunakan TAKSIKU dari dan ke bandara yang menggunakan taksi bandara (taksi ber-sticker bandara) sudah dapat meminta bon. Didalam bon tersebut tertulis : biaya yang harus dibayar, jarak tempuh, jam berangkat dan jam tiba. Hal ini dapat digunakan perusahaan untuk mengontrol pengeluaran karyawan yang sering bepergian dengan taksi.

--

Barca Kostum Kebesaran, MU Putih-Putih

Nyon - Barcelona dipastikan memakai kostum kebesarannya di laga puncak Liga Champions musim ini. Sementara Manchester United akan mengenakan kostum putih-putih. Kedua tim memiliki cerita unik di balik warna kostum yang akan mereka pakai.

Seperti diberitakan Telegraph, UEFA memberikan status tim tuan rumah bagi Barcelona dan tim tamu bagi MU di partai final Liga Champions, Kamis pekan depan.

Berhubung seragam utama kedua tim memiliki unsur warna merah, maka MU yang bertindak sebagai tim tamu harus "mengalah" menanggalkan warna kebesarannya. Kostum putih menjadi pilihan tim besutan Sir Alex Ferguson untuk perjuangan terakhir guna meraih supremasi tertinggi antarklub Eropa ini.

Sebenarnya MU memiliki kostum berwarna biru. Namun berhubung warna biru juga menjadi bagian dari seragam Barca, maka warna itu tidak bisa dipilih.

Dalam dua gelaran final Liga Champions terakhir, MU selalu mengenakan kostum merah, masing-masing di musim 1998/99 dan 2008/09. Hasilnya, The Red Devils keluar sebagai pemenang. Ada pun ketika menjuarai Piala Champions 1967/68, MU meraihnya dengan berbalut kostum biru.

Bagaimana dengan Barcelona? Ketika berbalut kostum biru-merah, Azulgrana sukses memenangi Liga Champions 2005/06. Ada pun lawan saat itu adalah klub Inggris, Arsenal yang tampil mengenakan kostum kedua.

Meski tak populer, kostum putih MU ternyata cukup "sakti" untuk menahan Barca. Pada semifinal leg pertama Liga Champions musim lalu, Cristiano Ronaldo dkk. yang mengenakan kostum putih memaksa Barca main imbang 0-0 di Camp Nou.

Yang bisa membuat The Red Devils bernafas lega, ternyata MU-putih pernah membekuk Barca dalam sebuah laga final. Kejadiannya berlangsung hampir 20 tahun silam, tepatnya di final Piala Winners 1990/91. Saat itu gol persembahan Steve Bruce dan Mark Hughes mengantarkan Setan Merah menjadi juara dengan menekuk Barca 2-1.

Isu Pemecatan Claudio Ranieri
Menjaga Rekor 40 Tahun

Prestasi buruk Juventus akhir-akhir ini membuat isu pemecatan pelatih Claudio Ranieri beredar kencang. Kabarnya, dalam empat laga terakhir, I Bianconeri akan ditangani Ciro Ferrara sebagai caretaker hingga akhir musim.

Claudio Ranieri. (Foto: AFP)

Orang ini pernah membela Juventus antara tahun 1994-2005 sebagai difensore. Saat ini Ferrara bekerja sebagai asisten pelatih tim nasional Italia, Marcello Lippi. Tapi, ia juga pelatih tim junior Juventus.

Sampai Selasa (5/5), manajemen Juventus tidak memberi konfirmasi isu tersebut. Ranieri masih berstatus pelatih Si Nyonya Tua. Boleh jadi pengurus I Bianconeri tidak ingin membuat cacat sebuah rekor yang sudah berusia 40 tahun.

Rekor itu pantas diacungi jempol. Dalam 40 tahun terakhir, Juventus tidak pernah memecat pelatihnya, seberapa pun buruk prestasi mereka.

Pelatih terakhir yang dipecat Juventus adalah Luis Carniglia. Pria asal Argentina ini digantikan Ercole Rabitti di pertengahan musim 1969/70.

Setelah itu, ada catatan lain di mana Juventus mengganti pelatih saat musim kompetisi belum berakhir. Kejadiannya saat mereka tampil di Serie B pada musim 2006/07.

Ketika itu, Didier Deschamps digantikan Giancarlo Corradini. Tapi, Deschamps bukan dipecat. Ia mengundurkan diri karena bersitegang dengan Direktur Olah Raga Alessio Secco. (wid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar