Jumat, 26 Juni 2009

Si Brilian di Negeri Merlion





Imlek sudah lama berlalu. Tapi tulisan Gong Xi Fa Cai masih menempel di dinding kamar asrama Wahyu Saputra di Singapura.

”Biar selalu ingat keluarga di Medan,” kata Wahyu, mahasiswa asli Medan yang kini memasuki semester empat di program sarjana Nanyang Technological University (NTU) Jurusan Teknik Kimia dan Biomolekuler.

Sekalipun berotak encer, belajar di negeri orang tidak selalu mudah dilalui. Tahun pertama merupakan saat tersulit. Bahasa, lingkungan, budaya, dan kultur akademis semua berbeda dengan di Tanah Air.

Awalnya, Wahyu mengenal NTU dari kakaknya yang terlebih dahulu berkuliah di universitas itu. Keluarganya lantas mendorong Wahyu mengikuti jejak sang kakak.

Wahyu yang pernah mengikuti Olimpiade Matematika Tingkat Provinsi Sumatera Utara itu lolos seleksi. Bahkan ia pun lolos seleksi dan menerima beasiswa bergengsi CN Yang.

Beasiswa yang dinamai sesuai penerima Nobel Fisika tahun 1957, Chen Ning Yang, bertujuan meng-kader generasi muda periset.

Beasiswa lebih dari Rp 100 juta per tahun itu tanpa ikatan, tetapi sebagai penerima tuition grant atau semacam subsidi dari Pemerintah Singapura, Wahyu akan menjalani ”ikatan dinas” selama tiga tahun.

Mahasiswa lainnya, Pascal Gekko, memilih jadi mahasiswa National University of Singapore (NUS) Jurusan Teknik Elektro. Ia mengetahui tentang NUS dari kunjungan wakil universitas itu ke sekolahnya di SMAK 1 BPK Penabur. Biaya kuliah ditutupi dari tuition grant dan beasiswa Sembcorp yang totalnya mewajibkan dia untuk bekerja bagi perusahaan terdaftar Singapura selama enam tahun.

Kompetitif

Menemukan mahasiswa asal Indonesia berprestasi, sebut saja para peserta olimpiade keilmuan tingkat internasional, di universitas publik Singapura tidak terlalu susah. ”Di sini mengaku juara olimpiade kalau hanya tingkat kabupaten atau provinsi, malu,” ujar Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di NTU (PINTU) Budi Raharjo Santoso.

Para mahasiswa berpendapat, universitas- universitas di negara itu jauh lebih agresif dalam menawarkan kesempatan dan kemudahan belajar ketimbang universitas di negeri sendiri.

Selain mendapat beragam fasilitas, di Singapura, para mahasiswa tersebut belajar di tengah iklim yang dibangun sangat kompetitif. Di mata Director Office of Admissions National University of Singapore (NUS) R Rajaram, kompetisi menjadi suatu kewajaran. ”Di sini berkumpul mahasiswa internasional dari lebih dari 30 negara. Mereka biasanya pemuda-pemuda terbaik di negaranya,” ujarnya.

Kompetisi di kalangan mahasiswa juga terlihat dari penelitian yang mereka lakukan. Wahyu, misalnya, meneliti carbon nanotubes, sejenis material sangat menjanjikan. ”Material itu punya daya tahan seribu kali lebih kuat daripada besi, tetapi sepuluh kali lebih ringan dan pengantar listrik yang baik. Sudah diproduksi, tetapi masih skala kecil dan belum stabil,” ujarnya.

Sistem kompetisi itu pula yang rupanya mendorong David Hartono Widjaja bekerja ekstra keras. Di kalangan teman-temannya, tersiar kabar David menghasilkan temuan perangkat lunak komputer bernilai tinggi.

”Temuan ini dikhawatirkan berdampak ekonomi luas,” kata Iwan Piliang, Ketua Tim Verifikasi Kematian David Hartono. David diketahui tewas di kampusnya di Singapura pada 2 Maret 2009 dan hingga kini kematiannya masih penuh misteri.

Tak mau kalah

Salah seorang alumnus dari NUS yang kini bekerja di Singapura, Risyad, masih mengingat ungkapan khas di kalangan pelajar. ”Istilahnya, kiasu... kiasu.... Semacam ungkapan memperolok-olok yang artinya takut atau tidak mau kalah. Iklimnya memang semua tidak mau kalah,” ujar Risyad.

Sistem penilaian di universitas- universitas mendukung atmosfer tersebut. Di kalangan pelajar dikenal sistem kurva bel.

Nilai mereka ditentukan pula oleh kemampuan siswa-siswa lain yang mengikuti subyek tersebut. ”Kalau merasa mampu mengerjakan tugas dan ujian, tetapi ternyata anak-anak lain lebih bagus lagi, otomatis nilainya jeblok. Tidak ada pilihan lain, harus belajar semampu kita dan mengusahakan yang terbaik,” ujar Anthony Lie, mahasiswa NTU yang peraih medali perunggu di Olimpiade Sains Nasional Bidang Kimia tahun 2005.

Pesaing terberat biasanya mahasiswa asal Republik Rakyat China. Mereka belajar sangat keras dan sebagian besar penerima beasiswa yang indeks prestasi kumulatifnya tidak boleh kurang dari 3,5 dari 5. ”Itu kira-kira harus rata-rata B plus,” kata Budi.

Para pemuda Singapura sendiri, menurut sejumlah mahasiswa Indonesia, lebih nyantai. Ada yang berpendapat, para pemuda Singapura sebelumnya menjalani wajib militer atau tugas negara selama dua tahun dengan disiplin ketat sehingga di kampus mereka ingin menikmati masa-masa di perguruan tinggi.

Kompetisi dipertajam dengan adanya top lima persen yang disebut ”daftar dekan” atau dean list. Daftar mahasiswa dengan nilai-nilai tertinggi tersebut diumumkan terbuka. Pelajar Indonesia termasuk yang unjuk gigi terkait daftar itu. Pascal dan Wahyu, misalnya, termasuk dalam daftar dekan semester lalu. Indeks prestasi kumulatif Wahyu terakhir malah mencapai 5, yang merupakan angka sempurna dan bukan pertama kalinya dia masuk dalam daftar dekan.

Di tengah iklim penuh persaingan, kegiatan di luar akademis menjadi oase. Perhimpunan- perhimpunan mahasiswa Indonesia, misalnya, aktif mengadakan berbagai kegiatan. ”Biasanya kami olahraga bersama atau ngumpul-ngumpul makan, Indonesian dinner,” ujar Budi.

Pascal mengikuti berbagai kegiatan di asrama atau hall di tengah kesibukannya belajar guna mendapatkan suasana berbeda. Kamar mungil Pascal yang berantakan penuh tempelan stiker dan kertas warna-warni.

Di atas meja tergeletak pelat tugas elektro yang belum selesai dia kerjakan berdekatan dengan sebuah raket tenis, alat olahraga kesayangannya.

Tiba-tiba telepon selulernya berdering. Rupanya teman paduan suara Pascal menanyakan kostum yang akan mereka kenakan pada pertunjukan mendatang. Alangkah sibuknya anak-anak brilian di Negeri Merlion, Singapura... .

------



Pendidikan praksis

Hari-hari ini para elite politik di Indonesia sedang menjalani masa orientasi pendidikan praksis; melobi, menjajagi dan saling menguji calon pasangan koalisi. Demikian pula siswa-siswi SMU pun hari ini pun mulai menjalani tahap penting pendidikannya, yaitu Ujian Nasional (UN). Keduanya sama-sama dalam proses tahap belajar dan sama2 sedang menghadapi masa2 ujian nasional - untuk masa depan Indonesia. Siapa yang tekun, rajin, disiplin dan giat belajar dalam menggapai prestasi, kecerdasan dan kemampuannya, maka merekalah yang akan berhasil untuk membawa kemajuan tahap kehidupan bangsa Indonesia selanjutnya.

Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat!

--

Sumpah palapa yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada tercantum dalam catatan sejarah. Dan sang maha patih, memegang teguh sumpah itu hingga dia bisa menunaikannya. Orang-orang yang konsekuen tidak sembarangan mengumbar sumpah. Sebab, mereka tahu bahwa sumpah itu pantang dilanggar. Dan jika seseorang bersumpah, biasanya kita menjadikan sumpah itu sebagai pegangan bagi sebuah kepercayaan. Bagaimana seandainya yang bersumpah itu adalah Tuhan? Guru mengaji saya disurau dulu menyampaikan sebuah petikan dari kitab suci yang menyatakan bahwa Tuhan bersumpah demi waktu. Lho, mengapa kok Tuhan bersumpah demi waktu?

Dalam sebuah penerbangan international, kami berhenti untuk transit selama dua jam disebuah bandara. Para penumpang memanfaatkan waktu 2 jam itu untuk urusan masing-masing. Ada yang mampir ke toko buku. Ada yang mejeng di cafe. Dan, tentu saja ada yang belanja belanji. Satu jam lima puluh lima menit kemudian seluruh penumpang sudah kembali berada di pesawat untuk meneruskan perjalanan. Setidaknya begitulah yang dipikirkan orang-orang. Namun, tidak demikian halnya dengan data yang ada dalam catatan awak kabin. Sehingga pilot mengumkan bahwa pintu pesawat belum bisa ditutup karena masih menunggu 2 orang penumpang yang belum kembali.

Para penumpang lain tidak terlampau peduli dengan pengumuman itu karena toh masih ada waktu 5 menit untuk terbang. Namun, ketika lima menit kemudian penumpang yang ditunggu itu belum juga kembali, mulai ada yang menggerutu. Sepuluh menit sesudah itu; mereka tidak kunjung muncul juga. Sudah ada yang mulai marah. Dan sekitar lima belas menit kemudian dari arah depan terdengar suara berisik. Oh, rupanya penumpang yang ditunggu-tunggu itu sudah masuk kedalam pesawat. Kedua tangan mereka menggenggan beragam barang belanjaan. Dan, ketika mereka melintasi gang menuju ketempat duduknya mereka berkata sambil cengar-cengir; "Walaaah pada nungguin..., sory sory ya...hihihi. ...." mendengar cekikikannya, orang tahu bahwa mereka sama sekali tidak menyesal. Dalam hati saya berbisik; "duh, ternyata mereka orang Indonesia... ...."

Dari jaket seragam yang dikenakannya, kita bisa tahu bahwa mereka berangkat dalam rombongan. Dan ketika mereka sampai ke kursi bersama rombongannya, temannya menegur;"kemana aja sih elo? Penumpang laen udah pada kesel tuch...."

Salah satu orang yang telat itu menjawab;"tapi kita ditunguin kaaaann....hihihi. ...." Hati saya kembali menjerit. Ingin rasanya telinga ini mendengar penumpang berkebangsaan lain berkata;"Tenang saja mas, kami semua tidak mengerti apa yang bangsa anda katakan..... "

Diruang meeting sebuah kantor di Jakarta; seorang penyelenggara rapat duduk menunggu. Lalu muncul seorang direktur. "Lho, yang lain pada kemanan nih?"
"Masih belum pada datang Pak," jawabnya.
"Wah, kalau begitu saya balik ke ruangan dulu. Kalau yang lain sudah datang, kasih tahu saya." Lalu beliau keluar dari ruang meeting.

Setelah itu, direktur lain datang. Mengajukan pertanyaan yang sama. Lalu pergi lagi. Direktur lainnya lagi datang. Bertanya lagi. Dan pergi lagi. Akhirnya, penanggung jawab rapat yang terbilang paling yunior itu hanya bisa mengurut dada.

Pada kesempatan lain, ada rapat sebuah lembaga pelayanan masyarakat. Para tokoh diundang untuk hadir membicarakan kepentingan masyarakat. Diundangan tertera rapat dimulai jam 19.30 WIB. Anehnya, tepat pada jam itu ditempat rapat baru ada 2 orang manusia aneh. Walhasil, rapat dimulai jam sembilan malam. Dan diisi perdebatan seru hingga larut malam.

Dua minggu kemudian, rapat lanjutan dilakukan. Seperti biasa, diundangan ditulis rapat dimulai jam 19.30 WIB. Kali ini, prestasi dicapai dengan lebih baik, karena rapat sudah berhasil dimulai pada jam 20.30 WIB. Lalu, salah seorang peserta rapat yang sok sibuk, dan pura-pura menghargai waktu angkat bicara. "Bapak pimpinan rapat," katanya. "Saya sangat menghargai rapat ini..." katanya. Seluruh mata memandang tajam kearahnya. "Karena," orang itu melanjutkan. "Rapat kali ini lebih baik dari rapat sebelumnya. Jika rapat sebelumnya kita molor satu setengah jam dari jadwal, namun rapat kali ini hanya molor satu jam saja." Semua orang memelototinya seperti melihat alien yang baru mendarat di kebun jagung orang.

"Saya berharap semoga rapat mendatang bisa terlambat setengah jam. Dan rapat-rapat selanjutnya, bisa terlambat enol menit......" Sang alien mengakhiri pidatonya. Setelah itu, terdengar tertawaan nyaris seperti di panggung pentas srimulat. Setelah argumen ini dan itu keluar, sang Alien akhirnya menyadari bahwa kata-katanya tidak bisa mengubah keadaan.

Ketiga peristiwa yang saya ceritakan itu adalah kisah-kisah nyata yang sungguh-sungguh terjadi didunia ini. Hanya saja, saya sedikit menyamarkannya supaya tidak menyinggung kepentingan siapapun. Tapi, jika saya mengingat peristiwa-peristiwa itu; saya jadi mulai lebih mengerti; mengapa Tuhan bersumpah atas nama waktu. Mungkin saja kita tidak akan mengerti sepenuhnya mengapa Tuhan melakukan itu. Tapi, setidaknya itu menunjukkan bahwa Tuhan pun sangat prihatin dengan bagaiman cara kita menghargai waktu. Dan menghargai orang-orang yang menghargai waktu.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangka darusman. com/

Catatan Kaki:
Menjadi orang yang menghargai waktu, kadang-kadang terlihat aneh. Namun, jika semakin banyak orang yang bersedia menjadi 'aneh' seperti itu, menghargai waktu bisa menjadi sesuatu yang tidak aneh lagi.


--

Seorang Maharaja akan berkeliling negeri untuk melihat keadaan rakyatnya. Ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Baru beberapa meter berjalan di luar istana, kakinya terluka karena terantuk batu. Ia berpikir, "Ternyata jalan-jalan di negeriku ini jelek sekali. Aku harus memperbaikinya."

Maharaja lalu memanggil seluruh menteri istana. Ia memerintahkan untuk melapisi seluruh jalan-jalan di negerinya dengan kulit sapi yang terbaik. Segera saja para menteri istana melakukan persiapan-persiapan . Mereka mengumpulkan sapi-sapi dari seluruh negeri.

Di tengah-tengah kesibukan yang luar biasa itu, datanglah seorang pertapa menghadap Maharaja. Ia berkata pada Maharaja, "Wahai Paduka, mengapa Paduka hendak membuat sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan-jalan di negeri ini, padahal sesungguhnya yang Paduka perlukan hanyalah dua potong kulit sapi untuk melapisi telapak kaki Paduka saja."

Konon sejak itulah dunia menemukan kulit pelapis telapak kaki yang kita sebut "Sandal".



Renungan :



Ada pelajaran yang berharga dari cerita itu. Untuk membuat dunia menjadi tempat yang nyaman untuk hidup, kadangkala kita harus mengubah cara pandang kita, hati kita dan diri kita sendiri, dan bukan dengan jalan mengubah dunia itu.

Karena kita seringkali keliru dalam menafsirkan dunia. Dunia dalam pikiran kita terkadang hanyalah suatu bentuk personal. Dunia kita artikan sebagai milik kita sendiri, yang pemainnya adalah kita sendiri. Tak ada orang lain yang terlibat di sana , sebab seringkali dalam pandangan kita, dunia adalah bayangan diri kita sendiri.

Ya, memang jalan kehidupan yang kita tempuh masih terjal dan berbatu. Manakah yang kita pilih, melapisi setiap jalan itu dengan permadani berbulu agar kita tak pernah merasakan sakit, atau melapisi hati kita dengan kulit pelapis agar kita dapat bertahan melalui jalan-jalan itu?

--

Ma'af, sekedar nambahin, cara ilangin stress : just arrange your Mind!...stress and happiness is only the choices of our thinking, right?..."tidak ada yang bisa membuat saya stress, marah, tertawa ataupun bahagia..TANPA SEIZIN saya...?!...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar