Rabu, 24 Juni 2009

Kepemimpinan dalam Catur




Tak banyak orang yang tahu perihal riwayat catur
sebagai sebuah permainan. Mungkin dari Mesir, mungkin
dari Cina, atau entah dari belahan dunia yang mana ia
berasal. Terlebih lagi bila kita menginventarisir
kembali jenis-jenis permainan catur. Namun demikian,
tetap saja kita memahami catur sebagai sebuah
permainan, suatu aktifitas dengan muatan peraturan di
dalamnya. Tapi benarkah catur hanya sekedar permaian ?
Ada suatu telaah (pemaknaan) yang mungkin dapat kita
gali dari permainan ini. Mari kita lihat !

TERIKAT PERATURAN
Layaknya sebuah permainan, catur mempunyai peraturan
yang mengikat, baik berhubungan dengan pemain maupun
dengan alat permainan itu sendiri. Penempatan dan
protokol bidak sudah diatur sedemikian rupa, antara
lain ; kuda dengan langkah letter L dan raja yang
hanya boleh melangkah satu demi satu kotak
(sebagaimana repotnya menjadi aristokrat). Tidak
setuju dengan peraturannya ?
Jangan main !

ADIL
Lihatlah betapa adilnya permainan ini :
1. Daerah bertahan dan daerah serang yang sama luas
dan bentuk
2. Materi dan komposisi ‘pasukan’ yang sama kuat
3. Formasi awal yang sempurna-serupa
4. Bila putih membuat satu langkah, maka hitam juga
hanya boleh membuat satu langkah
5. Ingat, ini perang terbuka. Bidak tidak boleh
menyusup, melangkah ke luar arena, kecuali bila sudah
‘dimakan’ musuh.

STRATEGI DAN TAKTIK
Atas keterikatan aturan dan ‘keadilan’ material tadi,
kemenangan hanya dapat diraih dengan memilih dan
menjalankan strategi yang jitu. Ingat, kita ingin
memenangkan peperangan (war) bukan sekedar pertempuran
(battle). Tidak jarang, untuk mengelabui lawan, pemain
cenderung ‘mengorbankan’ salah satu bidaknya, dengan
tujuan untuk mendapatkan bidak lawan yang lebih
‘fight’. Memilih perang di daerah lawan, di daerah
sendiri, atau di daerah netral ? Terserah.
Anda ingin menang ‘ kan ? Atau mungkin remis adalah
bagian dari strategi anda ?

GET THE REWARD !
Permainan catur sangat menghargai sebuah kerja keras.
Prajurit bintara (pion) yang berjuang sempurna,
bertempur dengan berani, pada akhirnya akan bisa
menjadi perwira dengan pangkat apa pun yang ia mau.
Dan lahirlah perwira baru !

WHO IS THE KING ?
Ini sisi lain permainan catur, perihal hakiki predikat
pemimpin. Seseorang diangkat menjadi pemimpin karena
dianggap mampu melindungi orang-orang yang
dipimpinnya. Tidak sangat aneh bila kita ingat bahwa
dalam catur, kita tidak mengenal presiden, tapi Raja,
dan raja itu diangkat, bukan dipilih. Strategi apa pun
akan digunakan pemain untuk melindungi sang Raja, the
symbol of the power. Masalahnya, banyak pemimpin yang
merasa dan bertindak sebagai ‘Raja’. Pertanyaannya,
bagaimana dengan pemimpin anda ?

And……. WHO IS THE REAL KING ?
Catur merupakan permainan yang sudah demikian akrab di
kalangan masyarakat. Kadang-kadang, bahkan seringkali,
sebuah papan catur yang sedianya hanya untuk dua
pemain diramaikan dengan kehadiran penonton yang
merasa sebagai pemain. Manakala catur dimainkan (bukan
dikompetisikan) , seringkali justru penonton yang
mendominasi permainan. Kata lainnya ‘pembisik’.
Bagaimanapun, the other voice(s) ini akan mengganggu
stabilitas permainan, strategi menjadi kacau,
kekalahan yang menyakitkan, atau kemenangan yang
terasa hambar. Pertanyaannya, siapakah anda ? Bidak,
pemain atau ‘pembisik’ ?


tau gak, kan saya sudah pernah bilang...!!!!!"


Pembaca, ini adalah tulisan pertama saya, sebelum membaca dengan nikmatnya, saya mau cerita bahwa saya senang berkumpul dengan teman teman saya, pada suatu malam, kami berkumpul di daerah Kuningan di depan salah satu dept store , untuk menikmati nasi goreng gila yang sedap itu yang membuat lidah kami juga bergoyang, kami saling menceritakan pengalaman di kantor, bisa keluhan bisa juga cerita cerita lucu, dan akhirnya kepada teman saya, dia ini baru masuk kerja kurang lebih hampir sebulan, dia 2 hari yang lalu mendapat masukan dari atasannya bahwa setiap minggu dia harus mengumpulkan laporan secara mingguan kepada atasannya, untuk laporan demi laporan bisa dikatakan baik, pada saat minggu ke tiga, dia mendapat masukan yang membuat dia tercengang. dan atasannya itu berkata kepada dia, “ tahu gak laporan kamu ini gak sesuai dengan keinginan saya, tahu gak apa yang saya mau itu, kok gak ada, kan saya sudah bilang…..”



Teman saya itu sempat kaget, padahal waktu minggu pertama untuk membuat laporan dia sempat bertanya kepada atasannya, apakah ada bentuk laporan yang baku, dan apa saja yang menjadi alur yang perlu diketahui, atasannya berkata “bebas kok bentuk laporannya gak ada laporan yang baku atau yang seragam” maka dia selama masa pembelajaran itu dikirim lah ke pabrik untuk berlajar kepada asal produk itu dibuat, dimana teman saya bekerja di bagian penjualan.



Atasan teman saya juga bilang ke teman saya, “ kok kamu gak tahu apa yang saya mau, sepertinya kita gak nyambung nih”



Jadi sepotong cerita di atas, saya tarik kesimpulan, artinya saya yakin bukan hanya teman saya saja yang mengalami seperti apa yang dilakoninnya, berapa banyak kita dihadapkan dengan situasi seperti ini, baik kita sebagai atasan yang pernah menegur bawahan kita dengan kata “ kan sudah saya bilang……” atau kita yang sering mendengar dari atasan kita dengan kata kata yang hampir sama.



Padahal yang namanya komunikasi dasar adalah antara apa yang disampaikan penyampai pesan sama dengan si penerima pesan, jika antara si penyampai dan penerima pesan tidak tersambung apa bisa menjadi komunikasi? dengan kata lain si penyampai pesan hanya mengeluarkan suara beberapa decibel (db) dan jika si penerima pesan juga tidak menerima pesan dengan baik, maka yang ada terjadi bias, bisa saja bias pengertian atau bias tindakan, yang ada di penyampai stress dan si penerima pun stress.



Menurut saya yang terbaik komunikasi itu adalah kita menyampaikan dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh pendengar kita (model dunia), dan lebih baik lagi agar si penerima pesan mengulangi apa yang telah dibicarakan, dan dari sisi penyampai pesan, sebagai tanda hormat juga bukan mendikte atau membeo ( itu lho beo kan kalau kita bilang apa, maka akan diikuti persis), si penerima pesan pun mempunyai tugas yang sama yaitu mengulangi instruksi dengan bahasa si penerima dengan arti atau maksud yang sama.



Ini merupakan salah satu berkomunikasi sederhana, jika anda mempunyai metode yang lebih baik, dipersilahkan, karena saya membantu anda untuk mengingatkan atau menambah lagi, karena semua akan memperkaya dunia ini dengan warna.

PEMERINTAH DAN GLOBALISASI: TAKE IT OR DIE.
oleh : Justiani


Ekonom penerima Hadiah Nobel, Jospeh Stiglitz mengkritik bagaimana proses globalisasi yang dikelola oleh IMF telah menciptakan kemiskinan dan gejolak sosial dimana-mana, namun ia percaya, bahwa globalisasi itu sebenarnya bisa menguntungkan negara kaya maupun miskin. Kaum miskinpun bisa memanfaatkan globalisasi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Tentu saja, gejala pemiskinan, ketimpangan dan erosi budaya lokal, harus ditolak dan dicegah. Tapi fakta juga menunjukkan, bahwa bangsa Cina dan India justru mampu menunggangi arus globalisasi. Di India umpamanya, telah timbul pusat teknologi informasi di Bangalore semacam Silicon Valey di AS. Di desa teknologi tersebut tumbuh perusahaan-perusaha an skala global yang melayani pesanan-pesanan software dari perusahaan-perusaha an multinasional dari AS, Eropa-Barat dan Jepang.

Bukan hanya itu, ada kisah sukses di salah satu pantai India dimana dengan diberikannya fasilitas handphone dengan aplikasi multimedia di tangan para keluarga nelayan, maka para ibu-ibu nelayan bisa melakukan “future trading” sementara bapak-bapak nelayan masih berada di tengah laut. Ketika mau merapat mereka sudah tahu tangkapan apa saja yang didapat para nelayan, dan segera para ibu mulai melakukan “future trading” sebagaimana di bursa saham atau komoditi saja. Para tengkulak tidak lagi mendapat tempat karena data harga yang selalu “up-to-date” dapat diakses lewat handphone multimedia tadi. Dari Indonesia pun tidak kalah kreatif, ada yang membuka sekolah tari melalui internet, muridnya dari seluruh dunia. Dengan cara ini, kan justru budaya lokal jadi mengglobal. Maka, istilah ”global village” nya Mac Luhan tadi menjadi sangat relevan.

Kemajuan Teknologi Informasi Komunikasi mendorong revolusi sosial melalui revolusi senyap (silence revolution). Hampir semua ahli sepakat bahwa globalisasi yang didorong oleh teknologi informasi komunikasi sedang memerankan sebuah revolusi sosial. Revolusi sosial ini secara pasti merasuki semua sudut kehidupan. Ia mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan, merombak struktur dunia usaha, mendorong pemaknaan ulang perdagangan dan investasi, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.

Dalam era globalisasi, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Karena globalisasi adalah sebuah kepastian sejarah, maka pemerintah perlu bersikap. ”Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah ”The Death of Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera diubah menjadi public services management. Yang pasti high-cost bureaucarcy pada akhirnya berakibat pada kesengsaraan rakyat dan punahnya peran pemerintah.

Sebenarnya, dalam “economy circle” (lingkaran ekonomi) di era pasar bebas, dimana kekuatan kapital sangat dominan, maka peran pemerintah adalah penyeimbang lingkaran ekonomi tersebut. Yang kalau diterjemahkan secara kongkrit, maka tugas besar pemerintah adalah pelindung lapisan masyarakat yang paling bawah melalui berbagai bentuk insentif kesejahteraan sosial ekonomi (welfare program) tidak hanya melalui sumbangan pajak dari mereka yang kuat, namun lebih dari itu melalui korporasi kerakyatan yang terorganisir dengan sistem berbasis multimedia sehingga rakyat juga bisa merasakan nilai tambah secara langsung tanpa melalui tangan-tangan elite politik dan partai-partai.

Mekanisme pasar (market mechanism) yang sekaligus menunjukkan peranannya secara nyata dalam hal distribusi sosial, sehingga bisa dibilang mendorong terjadinya “the death of government”. Bukan tidak mungkin, sebuah nation-state baru yang berbasis “wired-society” terbentuk secara pasti menurut dorongan pasar. Disamping menawarkan produk dan layanan, juga ditawarkan pembagian insentif, apakah itu revenue atau profit, secara langsung kepada rakyat. Kalau dengan sistem pemerintah, dalam sistem kontrak sosial melalui negara, insentif semacam itu dikembalikan lewat mekanisme pajak (tax return) kepada kelompok yang kurang mampu, ditambah dengan layanan sosial berupa “shelter” (rumah perlindungan) , santunan anak (child care), asuransi kesehatan (health care), subsidi pengangguran (unemployment care), dll. Inilah negara baru yang akan kita hadapi dalam waktu tidak lama lagi. Berbagai model persaingan layanan masyarakat, semakin hari semakin menunjukkan
kecanggihannya. Siapa yang pandai memikat hati rakyat dengan berbagai produk dan layanan (jasa), dialah yang akan berhasil membentuk negara baru.

Perdebatan global antara ”Market Forces versus Government Forces” amat menarik. Peran pemerintah semakin hari semakin berkurang diambil alih oleh mekanisme pasar, apalagi pemerintah yang lembam, lambat, tidak efisien ditambah lagi korup. Maka persoalan negara gagal bukan hal yang mustahil, bahkan bisa jadi berimbas pada terancamnya eksistensi negara bangsa. Karena pemerintah semacam itu hanya akan menjadi beban bagi rakyatnya dan buat keseluruhan sistem karena high-cost bureaucracy.

Bagi pemerintah yang cerdas, ini adalah peluang dalam tarik-menarik kekuatan menuju “borderless world”, “the end of nation-state” dan lain-lain yang katanya fungsi pemerintah akan tergeser oleh mekanisme pasar. Hanya saja, pemerintah tidak mungkin dengan terus mempertahankan cara-cara lama. Kita harus berpikir “out-of-the-box”, bahkan kalau dalam buku ”Blue Ocean Strategy” (Strategi Samudra Biru, menciptakan ruang pasar baru, sehingga kompetisi tidak lagi relevan). Pemerintah juga jelas pasarnya, yaitu rakyat, jadi peranannya jauh lebih sederhana. Tinggal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana tuntutan MDG (Millenium Development Goals). Masih mengacu kepada “Blue Ocean Strategy”, kalau disitu dikatakan bagaimana membuat kompetitor tidak lagi relevan, maka sesungguhnya pemerintah adalah mudah sekali, karena pada dasarnya kompetitornya tidak ada. Pemerintah itu bentuk monopoli kekuasaan. Kalau korporasi masih harus bekerja
keras untuk mendapatkan atribut-atribut tersebut, sementara pemerintah tidak perlu lagi. Semua sudah ada di tangan. Jadi jauh lebih mudah menerapkan strategi baru tersebut.
Keberhasilan Revolusi Teknologi Informasi Komunikasi yang bisa mendorong diterapkannya ”Blue Ocean strategy” secara sadar atau tidak sadar terabaikan oleh bangsa kita. Padahal kedepan rakyat perlu memiiliki alat untuk mengorganisir diri melalui sistem manajemen yang berbasis pada teknologi informasi komunikasi (ICT). Dan yang terpenting, pesan yang disampaikan dalan strategi samudra biru adalah sikap kepemimpinan, yang harus pandai mengubah segala macam persoalan menjadi peluang dan tantangan. Disini perlu pemimpin yang cerdas, tegas dan berwawasan.

Gelombang pasar bebas dan globalisasi sedang menguji kembali konsep dan kekukuhan (soliditas) dari bentuk "negara-bangsa" (nation-state) di dunia. Gelombang ini pula yang telah mendorong semua negara untuk menata kembali "perusahaan negara bangsa" (nation-state corporation) yang sedang dikelolanya untuk bisa masuk dalam integrasi global secara elegan dan percaya diri. Pemerintah di seluruh dunia sedang berbenah untuk merumuskan kembali peranan mereka untuk menjaga eksistensinya. Dalam era yang serba "market driven", peran pemerintah juga akan dinilai dari kinerjanya dalam mekanisme pasar. Apakah kinerjanya mengganggu kondisi pasar, apakah kebijakannya membebani keseluruhan sistem karena tidak-mampuannya dalam menjaga keseimbangan. Apakah peran pemerintah sudah efisien dari kacamata manajemen perusahaan modern.

Peluang dan dinamika inilah yang mendasari pemimpin-pemimpin cerdas dari beberapa negara untuk memutuskan untuk melakukan revolusi cerdas, terpimpin, dan senyap (silence revolution) melalui perombakan mendasar yang dipimpin oleh kepala negaranya, sebagaimana dilakukan oleh Thaksin Shinawatra mengubah menjadi Thailand Incorporated, demikian juga Mahathir Mohammad mengubah negaranya menjadi Malaysia Incorporated 2020 yang berbasiskan paradigma Multimedia Supercorridor. Demikian juga Hun Jin Tao dari China, Ahmadinejad dari Iran, dan Hugo Chavez dari Venezuela dengan berbagai versi strategi revolusi cerdas sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Pemerintah yang korup dan tidak efisien akan berhadapan langsung dengan mekanisme pasar yang semakin hari semakin menawarkan efisiensi dan biaya manajemen termurah tapi dengan layanan terbaik. Mekanisme pasar bebas ini langsung berhadapan dengan rakyat sehingga rakyat secara demokratis dapat menentukan
pilihannya. Indonesia di persimpangan jalan. Kalau tidak segera bertindak dan menyikapi globalisasi dengan tepat, maka Indonesia menuju kehancuran, tanpa disadari, namun pasti akan terjadi. PUNAH.

APA NASIONALIME INDONESIA MAMPU MENJADI PEMENANG (VICTOR) DALAM GLOBALISASI?

Globalisasi di Indonesia sudah terjadi sejak jaman Hindu masuk ke Indonesia, dimana Nusantara merupakan sekumpulan Kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri. Lalu disusul masuknya para Wali yang sambil berdagang menyebarkan ajaran Islam, disusul dengan jaman kolonial dimana perusahaan dagang Belanda, yaitu VOC menguasai Nusantara dan mengontrol perdagangan rempah-rempah, kopi, teh, kelapa sawit, coklat, gula, dll komoditi yang ada di bumi Nusantara. Makanya masih bisa kita lihat berbagai peninggalan jaman Belanda berupa perkebunan dimana-mana, yang sekarang menjadi BUMN yang disebut PTPN (PT Perkebunan Negara).

Dengan keterpurukan Indonesia saat ini, serta persoalan yang multidimensi tanpa penyelesaian, banyak yang mengkhawatirkan thesis Huntington tentang perpecahan bisa terjadi di Indonesia. Saya percaya Indonesia dengan Pancasila nya memiliki kedewasaan berbangsa yang tinggi. Memorandum Helsinki merupakan salah satu contoh nyata bagaimana persoalan Aceh bisa diselesaikan dengan damai dengan suatu model kompromistis terbaik dalam kerangka globalisasi.

Propinsi NAD ”defacto” merdeka secara ekonomi namun secara politik tetap mengakui Republik Indonesia sebagai kedaulatan negara. Kalau kita cermati isi perjanjian Helsinki, provinsi NAD boleh memiliki bank sentral sendiri artinya boleh mencetak matauang sendiri, boleh melakukan perdagangan antar negara serta transaksi keuangan atau pinjaman (loan) dengan negara lain secara mandiri, boleh mendirikan partai lokal, berhak atas aset sebesar 70%, sementara 30% adalah hak pemerintah pusat (Republik Indonesia). Dari sisi globalisasi, kompromi ini bisa dilihat sebagai model yang paling efisien. Bagi hasil aset 30% untuk Pemerintah Pusat boleh dianggap sebagai biaya franchising bendera Indonesia, sehingga provinsi NAD tetap mengakui “merah putih” ketimbang harus mengeluarkan ongkos mendirikan keduataan besar atau konsulat di setiap negara dan membangun militer sendiri yang biayanya tidak sedikit. Maka, 30% adalah biaya pinjam bendera. Demikianlah dari
kacamata globalisasi yang disandarkan pada ekonomi. Sebagai model mungkin bisa menjelaskan aplikasi dari teori yang anda kemukakan diatas.

Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, dalam wawancara dengan saya, mengatakan bahwa kalau sampai terjadi perpecahan di Indonesia, maka biayanya amat besar. Anda ingat satu Bosnia yang pengungsinya hanya belasan ribu orang sudah menjadi beban dunia. Kalau Indonesia terpecah belah maka jutaan orang akan menjadi pengungsi dan akan menjadi beban dunia yang sangat berat. Ini tentu tidak diinginkan oleh warga dunia. Kita tahu bahwa suku-suku bangsa di Indonesia sudah tersebar diseluruh penjuru tanah air dengan identitas bangsa Indonesia tidak peduli dimanapun dia berada. Kalau sampai terjadi perpecahan, maka sukubangsa yang sudah menetap tidak daerah asalnya akan dikejar-kejar dan dibunuhi oleh suku asli seperti yang terjadi di Bosnia. Padahal sejak Sumpah Pemuda 1928 dikumandangkan, suku-suku bangsa di Indonesia sudah banyak melakukan kawin campur antar suku tanpa ada sutu masalah karena mereka percaya dan meyakini diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Bahkan juga
kawin antar agama, bukan hanya antar suku. Konsep Indonesia semacam itu indah sekali. Maka secara geo politik, tidak mungkin Indonesia dihancurkan atau dipecah-belah dengan dalih apapun karena dunia akan ikut menanggung akibatnya.

Maka, solusi kompromistis seperti provinsi NAD akan memberikan inspirasi kepada daerah-daerah lain. Ini adalah tantangan untuk pemerintah pusat apaibila tetap tidak melakukan perubahan yang bisa mensejahterakan rakyat serta mengarahkan proses otonomi daerah yang secara konvergen dan konsisten menuju suatu bingkai baru ”Smart Indonesia Incorporated”. Intinya, liberalisasi politik dan ekonomi untuk Indonesia perlu dirumuskan berbasis kerakyatan, sehingga akumulasi kapital juga didisitribusikan untuk rakyat..

Sering dinyatakan bahwa Indonesia amat didikte oleh asing. Globalisasi mencakup proses dikte-mendikte antar negara. Indonesia tidak terkecuali. Sesungguhnya semua negara saling ”mengintervensi”, Amerika sendiri saat ini kewalahan menghadapi Cina yang mampu menawarkan harga produk yang jauh lebih murah. Di kita sendiri, bukankah Outlet Factory disejumlah kota tak terkecuali di Bandung, saat ini justru didominasi produk dari Taiwan, RRC dan juga Thailand, sama sekali bukan produksi industri setempat.

Soal ”dikte-mendikte” di tingkat global, itu tergantung kemauan kita sebagai bangsa. Lihat saja Cina yang boleh dibilang ”suka-suka”, ”maunya sendiri”. Kita ini yang tidak jelas maunya apa sebagai bangsa. Dalam hal kedaulatan negara terlebih dibidang ekonomi, tidak seharusnya Indonesia sampai didikte seperti yang terjadi dewasa ini, karena Indonesia kaya raya. Sumberdaya alam dan mineral kita yang berlimpah itu seharusnya dikelola dengan orientasi untuk kepentingan rakyat banyak. Bukan konsesi tambang diberikan kepada si A yang tentu saja membuat si A dan kroninya kaya raya, dengan bermodalkan lisensi melalui pasar modal mereka bisa mengeruk uang dalam jumlah yang besar. Sementara pada saat yang bersamaan, Pemerintah Daerah sibuk mondar mandir mencari investasi untuk membangun rumah sakit, pasar, terminal, air bersih, dll.

Jadi kalau dengan kekayaan alam yang melimpah serta rakyat yang demikian tangguh, tapi nyatanya Indonesia masih didikte, itu berarti yang salah kita sendiri. Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang aset-aset yang dimiliki, seperti dikatakan oleh Hernando de Soto. Kesadaran itulah yang bisa memulai proses transformatif untuk mengubah aset-aset itu menjadi modal produktif yang bisa menggerakkan lokomotif perekonomian. Disinilah pentingnya kesadaran publik, bahwa dalam diri kita sebagai bangsa ada yang salah. Dan mestinya setelah diketahui dimana letak kesalahan tersebut, tidak perlu ada resistensi dalam menyatukan segenap kekuatan untuk menata kembali, agar kita segera bangkit dari keterpurukan, untuk segera mengejar ketertinggalan yang sudah terlanjur terjadi.

Tentang kemandirian bangsa dan nasionalisme, terdapat ganjalan besarnya utang luar negeri kita, yang hingga kini telah mencapai US$150milyar, merupakan instrumen untuk mengutak-atik eksistensi bangsa yang berdaulat. Utang luar negeri yang besar, selain memerosotkan kemandirian bangsa, juga merupakan bentuk penghisapan. Ketergantungan yang sedemikian besar akan membuat bangsa kita tidak bebas bergerak. Semuanya ditentukan oleh “kemauan baik” pihak asing. Banyak bukti menunjukkan bahwa, bangsa Indonesia bertekuk-lutut pada kepentingan IMF yang berarti segala-galanya ditentukan oleh IMF. Padahal kenyataan membuktikan bahwa IMF sudah diusir hampir di semua negara, terutama Amerika Latin, mengapa Indonesia masih bergantung kepada IMF? Ini kebodohan Indonesia sendiri. Persoalannya tinggal bagaimana kedepan kita bersikap. Indonesia harus berani mengubah model ekonominya yang harus dilandasi dengan perubahan sistem kenegaraan yang melandasinya.

Dengan pemahaman tersebut, maka yang perlu dijadikan prinsip atau landasan untuk memaknai nasionalisme baru Indonesia.. Bukan lagi nasionalisme karena bangsa merasa senasib bekas dijajah Belanda, namun nasionalisme harus ditata ulang, dimaknai ulang, yakni apa manfaat keberadaan negara bagi nasib orang per orang secara nyata. Kata kuncinya adalah menjamin kesetaraan di bidang ekonomi, politik, sosial kultural, keamanan baik individu maupun kelompok tanpa pandang latar belakang primordialnya. Kesemuanya itu harus dibingkai oleh platform Indonesia Incorporated berdasar kepada ”people cybernomics” (sibernomik kerakyatan = ekonomi digital kerakyatan). Platform ini yang menjadi pengikat persatuan dan kesatuan nasional dalam arti baru yang relevan dengan jamannya, dan yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan peluang-peluang jaman baru untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Pelopor rahmatanlil alamin.

(*) Justiani (Liem Siok Lan). Direktur Asia Pacific SMarT Development and Financing. Direktur EDinar University. Representative WITO (World Islamic Trade Organization) . Alamat: 1615 Place Therese, Brossard, Quebec J4W 3G2 Canada. Email: liemsioklan@ yahoo.com HP: +62 857 1922 3818

(*) Pewawancara buku Mengutamakan Rakyat (Wawancara Mayjen TNI Saurip Kadi), Menembus Batas (Wawancara Tokoh Dunia), Rakyat Berdaulat (Wawancara Adi Sasono), Alexandra dan Ali Topan: Ku Selalu Ada (Novel karya bersama Tegus Esha).

(*) Ketua Dewan Pakar DESA MERAK (DEddy SAurip MEngutamakan RAKyat), Salah satu Pendiri NEGERI MERAK.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar