Rabu, 24 Juni 2009

MENGATASI RASA TAKUT DI TEMPAT KERJA



Oleh Roy Sembel

Takut gagal menyelesaikan tugas, takut dimarahi atasan, takut tidak
dihargai, takut tidak didengar, takut dipecat. Semua rasa takut ini
menghambat kenyamanan kerja, produktivitas kerja, dan kualitas kerja.
Rasa takut di tempat kerja perlu dikelola untuk meminimumkan dampak
destruktifnya. Jika prosedur kerja ada aturannya, budgeting dan
planning ada petunjuknya, pengukuran prestasi kerja ada tolok
ukurnya, tidak demikian dengan pengelolaan rasa takut.

Pemimpin di sebuah perusahaan (dari pimpinan puncak sampai pimpinan
tingkatan yang paling dekat dengan kegiatan di lapangan) seringkali
tidak memperoleh petunjuk untuk mengatasi rasa takut ini. Artikel ini
mencoba untuk memberikan gambaran mengenai alasan mengapa rasa takut
di tempat kerja penting untuk dikelola, jenis-jenis rasa takut yang
ada, dan strategi yang bisa diterapkan oleh seorang pemimpin untuk
mengatasi rasa takut di tempat kerja.

PERLUNYA MENGATASI RASA TAKUT
Menurut para ahli psikologi, rasa takut adalah perasaan negatif yang
timbul akibat teridentifikasinya sebuah stimulus (misalnya bahaya).
Rasa takut ini seringkali diikuti dengan adanya perubahan fisiologis,
kognitif, dan tingkah laku (Kleinknecht, 1986).
J. Gerald Suarez dalam artikelnya "Managing Fear in the Workplace"
mengakui bahwa rasa takut tidak bisa dihindari, tapi bisa dikelola
sehingga tidak memberikan dampak yang destruktif bagi orang yang
memiliki rasa takut tersebut, dan juga perusahaan tempat orang
tersebut bekerja.

Pengelolaan rasa takut dapat memberi kenyamanan kerja sehingga
karyawan bisa bekerja dengan baik untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan bersama. Pengelolaan rasa takut juga penting dilakukan
untuk meningkatkan produktivitas, mempertahankan kualitas kerja,
memacu perbaikan berkelanjutan, memotivasi terjadinya inovasi, yang
tentunya semua ini diarahkan untuk mendatangkan profit yang
berkelanjutan.

Andi, seorang kepala proyek usaha konstruksi, yang takut tidak
mencapai target yang telah ditetapkan, bersedia melakukan apa pun
untuk menghilangkan rasa takut tersebut. Ia menekan anak buahnya
untuk mem-bypass prosedur yang berlaku, menyingkat proses kerja
dengan mengurangi penggunaan dan pengelolaan bahan-bahan bangunan
yang diperlukan, sehingga pekerjaan bisa dikerjakan dengan lebih
cepat dan dengan biaya yang dapat ditekan serendah mungkin. Secara
membabibuta semua ini dilakukan untuk memenuhi target sehingga ia
terhindar dari rasa takut "dimarahi", "dipermalukan", dan "dipecat'.
Namun, tindakan yang tidak sesuai prosedur ini tentu saja dapat
membahayakan bangunan yang sedang dikerjakan. Akibatnya, jika
bangunan tidak dikerjakan menurut prosedur yang ditetapkan dengan
bahan-bahan yang lengkap, bahaya akan mengancam, tidak hanya bagi
klien tetapi juga bagi perusahaan dan masyarakat umum pemakai gedung.

Dari kasus Andi dapat terlihat bahwa rasa takut menghilangkan
kenyamanan kerja, membatasi komunikasi antara pimpinan dan anak buah,
dan antara sesama karyawan, Rasa takut juga memacu tindakan negatif
(pemberontakan, persaingan tidak sehat, dan tindakan menyenangkan
pimpinan dengan risiko apa pun, termasuk risiko yang merugikan sesama
rekan kerja, dan juga pelanggan). yang dilakukan untuk menghilangkan
rasa takut tersebut. Walalupun sering tidak terasa, rasa takut
merupakan faktor destruktif yang bisa seara diam-diam membunuh
kualitas kerja, kreativitas, dan inovasi.

JENIS-JENIS RASA TAKUT
Keberanian muncul bukan karena ketiadaan rasa takut, keberanian
timbul karena adanya kemampuan mengelola rasa takut. Langkah pertama
untuk mengelola rasa takut di tempat kerja adalah mengenali jenis-
jenis rasa takut yang ada di tempat kerja. Berikut ini adalah
beberapa contoh rasa takut yang ada di tempat kerja.

Takut gagal. Donny bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi.
Ketika diminta untuk mengkoordinasi peluncuran produk baru, Donny
menolak karena ia tidak berani mengambil risiko gagal. Akibatnya, ia
tidak berani mencoba, tidak berani membuat keputusan, dan tidak
berani menggunakan kreativitas dan memunculkan ide-ide inovatifnya
yang merupakan kekuatan Donny selama ini.

Takut sukses. Sebaliknya, Tuti yang diajukan untuk promosi jabatan
menjadi supervisor yang membawahi teman-temannya yang selama ini
bekerja sama dengan dia, menolak kesempatan baik tersebut. Alasan
Tuti adalah takut dimusuhi teman-temannya karena kesuksesan yang
diraih.

Takut perubahan. Ketika diumumkan oleh pimpinan sebuah perusahaan
akan adanya pergantian sistem dari sistem yang lebih banyak meng
andalkan komunikasi lewat telepon dan komunikasi melalui surat dan
dokumen, menjadi sistem komputerisasi dan web yang lebih berorientasi
pada kecepatan informasi dan pengurangan kertas kerja, banyak
karyawan yang menolak. Mereka mengemukakan berbagai alasan untuk
tidak mengadopsi sistem baru tersebut. Mereka takut tidak bisa
menggunakan sistem baru tersebut, karena ketidaktahuan, dan juga
karena sudah merasa nyaman dengan sistem yang lama sehingga mereka
merasa tidak perlu lagi mempelajari sistem baru yang belum bisa
dipastikan efektivitasnya.

Takut bicara. Karena perangai atasan yang cepat naik darah, dan tidak
menghargai pendapat anak buah, Nuniek menjadi takut bicara. Walaupun
pimpinan menanyakan pendapatnya, tapi pendapat ini tidak pernah
digubris. Akibatnya, ia tidak lagi mau memberikan pendapat, dan
memikirkan solusi dari masalah yang dihadapi perusahaan. Ia hanya
menyetujui saja apa yang telah diputuskan, dan mengerjakan pekerjaan
yang diberikan tanpa disertai rasa semangat. Jika Nuniek melakukan
kesalahan pun atau menghadapi masalah, ia tidak berani mengatakannya
pada atasan. Dengan berbagai cara ia mencoba menghilangkan
"kesalahan" misalnya dengan menghapus data, atau membuat laporan
yang "tidak benar" hanya untuk menyenangkan atasannya sehingga atasan
tidak marah. Akibatnya tentu saja kualitas kerja yang tidak optimal,
bahkan makin lama makin menurun sehingga merugikan perusahaan.

MENGEVALUASI RASA TAKUT
Rasa takut sulit terdeteksi secara kasat mata, karena seringkali
ditutupi oleh karyawan. Seorang pimpinan perlu melakukan evaluasi
terhadap rasa takut yang ada di perusahaan ataupun di unit yang
dipimpinnya sehingga ia bisa mengambil tindakan untuk mengelola rasa
takut tersebut. Pertanyaan-pertanya an berikut kiranya penting untuk
diajukan untuk membantu seorang pimpinan untuk mengevaluasi adanya
rasa takut.

Identifikasi Harapan. Rasa takut muncul karena ketiadaan harapan.
Untuk itu harapan perlu diciptakan dan dikenali. Berdiskusilah dengan
karyawan baik secara formal dalam sebuah rapat bulanan ataupun secara
tidak formal ketika sedang makan siang bersama. Misalnya Anda bisa
mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanya an berikut: Apakah
Anda yakin visi dan misi perusahaan sudah dipahami dengan baik oleh
karyawan, sehingga mereka juga bisa mencari kesesuaian antara visi-
misi perusahaan dengan tujuan hidup mereka? Apakah Anda tahu apa yang
mereka harapkan dari Anda sebagai pimpinan mereka? Pertanyaan-
pertanyaan ini perlu Anda jawab untuk mengenali harapan-harapan
karyawan terhadap Anda, terhadap perusahaan, dan terhadap masa depan
mereka sendiri. Harapan-harapan ini akan memberikan motivasi bagi
karyawan untuk mengenal masa depan dengan lebih baik dan mengatai
rasa takut.

Identifikasi hambatan. Rasa takut juga bisa muncul karena adanya
hambatan untuk mencapai prestasi. Untuk itu jawaban yang perlu Anda
cari adalah: Apa yang menjadi hambatan bagi karyawan untuk mencapai
target yang ditentukan? Apakah karena kurang pengetahuan, kurang
keterampilan, fasilitas yang tidak memadai, ataupun target yang
terlalu tinggi ataupun waktu pencapaian yang terlalu singkat?
Identifikasi rasa percaya. Alasan lain munculnya rasa takut adalah
hilangnya kepercayaan baik dari Anda sebagai pimpinan, dan juga dari
karyawan. Pertanyaan-pertanya an berikut bisa membantu untuk
mengidentifikasikan apakah rasa percaya itu memang tidak ada: Apakah
karyawan Anda percaya pada kemampuan Anda? Apakah Anda percaya pada
kemampuan mereka? Sejauh mana Anda percaya akan kemampuan mereka?
Beranikah Anda mendelegasikan beberapa hal untuk dilakukan dan
diputuskan karyawan? Jika tidak, apa alasannya, dan bagaimana caranya
menumbuhkan rasa percaya tersebut.

Identifikasi komunikasi. Rasa takut juga bisa muncul karena kurangnya
atau terhambatnya komunikasi, dan ketidakjelasan informasi. Apakah
Anda sering bersedia mendengarkan masukan dari karyawan? Apakah Anda
bersedia mendengarkan masukan dari karyawan? Seberapa seringkah Anda
mendapat masukan dari karyawan? Seberapa seringkah karyawan
menceritakan masalah mereka pada Anda? Jawaban yang Anda temukan dari
pertanyaan-pertanya an ini memberikan gambaran mengenai komunikasi di
tempat kerja. Jika memang komunikasi yang menjadi hambatan, Anda bisa
mencoba untuk memperbaikinya dengan bersikap lebih terbuka dan lebih
bersedia mendengarkan (bukan hanya didengarkan) .

Identifikasi pelatihan. Rasa takut bisa muncul karena kurang
pengetahuan dan keterampilan. Untuk itu Anda perlu mencari tahu
kualifikasi karyawan untuk melakukan pekerjaan: Apakah karyawan
memiliki pengetahuan yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan yang
ditugaskan? Apakah karyawan memiliki keterampilan yang dibutuhkan?
Pelatihan apa yang diperlukan karyawan untuk membekali mereka agar
dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik, sesuai dengan yang
diharapkan.

MENGELOLA RASA TAKUT
J. Gerard Suarez, PhD, pakar Total Quality Management, mengusulkan
tiga faktor yang perlu diciptakan untuk menumbuhkan lingkungan yang
kondusif untuk mengelola rasa takut.

Kepemimpinan. Untuk mengelola rasa takut, seorang pemimpin perlu
menciptakan kondisi lingkungan di mana karyawan dapat mengemukakan
pendapat, ide, dan masalah-masalah mereka tanpa rasa takut dimarahi,
disepelekan, dan direndahkan. Ciptakan forum komunikasi karyawan,
adakah diskusi secara periodik dengan karyawan, berikan dorongan bagi
mereka untuk menyatakan pendapat, memberikan masukan bagi kebaikan
bersama. Setelah mendengar masukan dari karyawan, seorang atasan
perlu menanggapi masukan tersebut secepatnya. Tanpa tindakan untuk
menanggapi masukan ini, karyawan akan segan menyatakan pendapat,
karena mereka merasa pendapat mereka akan sia-sia.

Kepercayaan. Faktor kedua yang penting adalah rasa percaya. Jika
karyawan mengerti bahwa pimpinan mereka memberikan kepercayaan kepada
mereka untuk memberi masukan, melakukan perbaikan, maka mereka akan
menjadi lebih percaya diri dan lebih termotivasi untuk mencoba hal-
hal baru yang tentunya berguna bagi perusahaan. Rasa percaya ini juga
merupakan kondisi yang penting untuk menggalang komunikasi dan kerja
sama baik antarpimpinan dan karyawan, maupun antarkaryawan. Rendahnya
rasa percaya akan mengarah pada ketidakpastian dan rasa takut.

Visi. Faktor ketiga yang perlu diperhatikan adalah visi. Visi
memberikan gambaran akan masa depan yang diharapkan. Visi yang jelas
juga memberikan petunjuk bagaiman masa depan bisa dicapai. Visi juga
mendorong pemikiran dan perencanaan jangka panjang. Dengan
perencanaan yang tepat, karyawan menjadi lebih percaya diri untuk
menghadapi masa depan, sehingga mereka lebih nyaman untuk
menyelesaikan pekerjaan mereka.

Mengelola rasa takut tidak bisa dilakukan dalam semalam, perlu
investasi dalam waktu, tindakan yang konsisten, dan komunikasi dalam
mengelola rasa takut. Kunci dari mengelola rasa takut adalah
kepemimpinan yang terbuka, kepercayaan dan visi untuk menciptakan
kondisi yang kondusif bagi pencapaian tujuan bersama.

Retinal Vessel Occlusion Reply With Quote
What Is It?

The retina is the light-sensitive layer at the back of the eye that is responsible for vision. Blood circulation to most of the retina's surface is through only one artery and only one vein. If either blood vessel or one of their smaller branches is blocked, blood circulation to the retina can be significantly disrupted. The blockage is called an occlusion. When this happens, the affected eye typically loses vision, often suddenly. The condition is painless.

Symptoms

The primary symptom of retinal artery occlusion is a sudden, painless, persistent, substantial loss of vision in one eye. In about 10% of those affected, this loss of vision is preceded by one or more episodes of a condition called amaurosis fugax. Amaurosis fugax is a temporary episode of decreased vision, usually lasting no more than 10 to 15 minutes, that is sometimes described as "closing a curtain" on one eye.
Although retinal vein occlusion also causes painless loss of vision, this vision loss sometimes develops gradually over several days or weeks rather than suddenly. Also, depending on the extent of retinal damage, some people have only minimal blurring of vision, while others have more substantial vision loss.
Prevention

Since many cases of retinal vessel occlusion are related to high blood pressure, atherosclerosis or diabetes, it may be possible to prevent this eye problem by controlling your blood pressure, cholesterol level and blood sugar. Also, all diabetics should have a thorough eye examination through dilated pupils at least once a year.
To help prevent retinal artery occlusion related to traumatic eye injuries, always wear appropriate protective eye gear (goggles, face shield, face mask) at work and while playing sports. Also, remember to use a seat belt whenever you ride in a car to prevent your face and eyes from hitting the dashboard during a collision.
Oral contraceptives have been linked to some cases of retinal vessel occlusion. Ask your doctor about your risk of this rare side effect before you begin taking birth control pills.
Treatment

Treatment depends on the type of occlusion.
Retinal Artery OcclusionTreatment focuses on increasing blood flow to the retina, while trying to dislodge the thrombus or embolus from the blocked artery. Options include:

* Ocular massage — The doctor uses his or her finger to apply pressure to your eye through your closed eyelid.
* Breathing carbogen — By breathing this mixture of 95% oxygen and 5% carbon dioxide, you may be able to increase the flow of blood and oxygen to your retina.
* Rebreathing carbon dioxide — If carbogen is not available, the doctor may ask you to breathe into a paper bag to increase the amount of carbon dioxide in your blood. The increased level of carbon dioxide should dilate (widen) the arteries in your retina, increasing blood flow.
* Anterior chamber paracentesis — An eye specialist uses a needle to remove a few drops of fluid from inside your eye. This decreases the pressure within your eye, making it easier for blood to flow through your retinal artery.
* Experimental therapies — These include injection of a clot-dissolving medication directly into the eye's circulation, administration of vasodilators (medications that widen blood vessels), exposure to hyperbaric oxygen and destruction of retinal emboli with lasers.

In rare cases, when retinal artery occlusion is caused by temporal arteritis rather than a thrombus or embolus, treatment involves long-term treatment with high-dose corticosteroid medications.
Retinal Vein OcclusionTreatment depends on the extent of blockage:

* Partial blockage — When only a small branch of the central retinal vein is blocked, sealing the damaged area with a laser (laser photocoagulation) may improve vision.
* Total blockage — When the entire central retinal vein is blocked, there is no effective treatment. However, laser photocoagulation may be used to prevent complications, such as glaucoma.

--

Restless Legs Syndrome
What Is It?

Restless legs syndrome is a movement disorder that causes uncomfortable sensations in the legs. These sensations typically are worse during periods of rest, especially just before sleeping at night, but they may happen during daytime periods of inactivity, such as watching a movie, attending a long business meeting, or flying in a plane.
The discomfort of restless legs syndrome usually is accompanied by an overwhelming urge to move the legs, which may relieve leg discomfort temporarily. At night, people with restless legs syndrome often find that their leg symptoms make it difficult to fall asleep. Because of this, insomnia is common, together with extreme drowsiness and fatigue during the daytime.
Symptoms

Restless legs syndrome causes a wide range of uncomfortable leg sensations, which may be described as any of the following: tingling, prickly, wormy, boring, crawling, pulling, drawing and, sometimes, pain. Although the muscles of the lower legs are affected most often, restless legs syndrome occasionally can cause symptoms in the arms as well. The discomfort of restless legs syndrome is almost always accompanied by an irresistible need to move the legs. Leg movement, such as walking, stretching and deep knee bends, seems to bring temporary relief. A leg massage or a warm bath also may help.
In addition to leg discomfort, restless legs syndrome also can cause periodic jerking leg movements during sleep. These involuntary leg movements often disturb both the patient and the patient's bed partner. Also, because symptoms of restless legs syndrome tend to be worse at bedtime, people with restless legs syndrome may find it hard to fall asleep and to stay asleep. This can cause insomnia and severe daytime drowsiness that may interfere significantly with work, school and social life.

Prevention

Although there is no way to prevent restless legs syndrome, it may help to avoid caffeine, alcohol and cigarette smoking.

Treatment

Treatment of restless legs syndrome depends on the severity of your symptoms. If your symptoms are mild, simply exercising, stretching or massaging your legs, or taking a hot bath may bring relief. Lifestyle changes also may help, especially following a balanced diet and avoiding caffeine, alcohol and cigarette smoking. If your restless legs syndrome is linked to iron deficiency anemia, your doctor may prescribe iron.
When medication is used to treat restless legs syndrome, the following drugs are used individually or in combination:

* Dopaminergic agents — These drugs usually relieve the discomfort of restless legs syndrome symptoms and improve sleep quality. They include carbidopa/levodopa (Sinemet), pramipexole (Mi****x) and ropinirole (Requip).
* Benzodiazepines — These drugs are sedatives that improve sleep quality. They include clonazepam (Klonopin), temazepam (Restoril), triazolam (Halcion) and diazepam (Valium).
* Opioids — These are narcotics, such as codeine (several brand names), propoxyphene (Darvon) or oxycodone (OxyContin and others), that relieve pain and suppress restless legs syndrome in people with severe, unrelenting symptoms.
* Anticonvulsants — These medicines are especially useful in patients whose symptoms are painful. They include gabapentin (Neurontin), carbamazepine (Tegretol and others) and valproic acid (Depacon, Depakene, Depakote).
* Others — Tramadol (Ultram), clonidine (Catapres), amantadine (Symadine, Symmetrel) and propranolol (Inderal) also may be useful to treat this condition. Tramadol is a non-opiod pain reliever that sometimes is recommended.

Many people with restless legs syndrome also have periodic limb movement disorder (PLMD), a common movement disorder that causes involuntary, periodic, jerking leg movements during sleep. The movements occur 1 to 10 times per minute. The degree of periodic limb movement and how it affects sleep is best assessed with a sleep study (polysomnogram).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar