"Kebutuhan manusia ada batasnya, tetapi keinginan tidak."
Ini kisah nyata, terjadi di tahun 2000-an. Seorang karyawan datang ke meja Manajer HRD.
Ia bermaksud meminjam uang perusahaan. Alasannya, orangtuanya akan menjalani operasi
kandung kemih beberapa minggu mendatang. Si Manajer HRD agak curiga karena dalam
beberapa hari ini, setidaknya sudah ada 3 bank penerbit kartu kredit menanyakan soal
keberadaan karyawan itu, berkaitan dengan tunggakan tagihan kartu kredit yang sudah
beberapa bulan tidak terbayar.
Usut punya usut, ternyata si karyawan ini telah terlilit pinjaman kartu kredit. Tidak
tanggung-tanggung, lima kartu kredit (heran juga, bisa sampai punya lima kartu kredit) yang
dimiliki, semuanya mempunyai sisa tagihan yang sudah jatuh tempo di atas 5 juta rupiah.
"Saya keenakan Pak!" katanya menyesal. "Belanja barang-barang yang sebenarnya tidak
benar-benar saya butuhkan ... Saya tidak bisa mengontrol keinginan saya, Pak !"
Bicara soal kebutuhan dan keinginan, saya dan isteri pernah marah besar kepada anak kami
yang baru kelas 2 Sekolah Dasar. Karena tidak sempat membawa bekal, kami memberikan
sejumlah uang untuk membeli makan siang di kantin. Apa yang terjadi, uang tersebut malah
dibelanjakan stiker dan permen! Alhasil sampai pulang sekolah, ia tidak makan siang. Kami
tentu marah besar. Ia kami angap belum bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan,
maka jadilah malam itu kami bicara panjang lebar mengenai pentingnya membedakan
keduanya.
Beberapa orang sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Padahal sederhana saja.
Soal makanan misalnya, karbohidrat merupakan kebutuhan tubuh kita. Soal dari mana
karbohidrat itu akan diperoleh apakah dengan makan jagung bakar, jagung rebus, nasi
goreng, nasi liwet, kentang atau singkong dengan segala bumbu dan variasi masakannya,
tergantung keinginan dan selera kita. Nah kalau sudah bicara soal selera dan keinginan, tentu
banyak konsekuensinya. Anda harus siap mengeluarkan uang lebih banyak bila makan
singkong di restoran dibandingkan membeli dari pedagang kaki lima .
Jadi ada baiknya kalau kita senantiasa fokus kepada kebutuhan, bukan keinginan-keinginan
kita. Kebutuhan itu adalah animal instink yang universal dan basic, sedangkan keinginan itu
adalah khas milik manusia individual yang variasinya hanya dibatasi oleh keadaan
ketika manusia sudah kehilangan keunggulannya sebagai manusia.
--
PEMERINTAH DAN GLOBALISASI: TAKE IT OR DIE.
Justiani
Proklamasi NEGERI MERAK menyongsong Kepunahan Indonesia
Kemang Utara, 19 Juni 2009 Jam 19.00
Ekonom penerima Hadiah Nobel, Jospeh Stiglitz mengkritik bagaimana proses globalisasi yang dikelola oleh IMF telah menciptakan kemiskinan dan gejolak sosial dimana-mana, namun ia percaya, bahwa globalisasi itu sebenarnya bisa menguntungkan negara kaya maupun miskin. Kaum miskinpun bisa memanfaatkan globalisasi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Tentu saja, gejala pemiskinan, ketimpangan dan erosi budaya lokal, harus ditolak dan dicegah.. Tapi fakta juga menunjukkan, bahwa bangsa Cina dan India justru mampu menunggangi arus globalisasi. Di India umpamanya, telah timbul pusat teknologi informasi di Bangalore semacam Silicon Valey di AS. Di desa teknologi tersebut tumbuh perusahaan-perusaha an skala global yang melayani pesanan-pesanan software dari perusahaan-perusaha an multinasional dari AS, Eropa-Barat dan Jepang.
Bukan hanya itu, ada kisah sukses di salah satu pantai India dimana dengan diberikannya fasilitas handphone dengan aplikasi multimedia di tangan para keluarga nelayan, maka para ibu-ibu nelayan bisa melakukan “future trading” sementara bapak-bapak nelayan masih berada di tengah laut. Ketika mau merapat mereka sudah tahu tangkapan apa saja yang didapat para nelayan, dan segera para ibu mulai melakukan “future trading” sebagaimana di bursa saham atau komoditi saja. Para tengkulak tidak lagi mendapat tempat karena data harga yang selalu “up-to-date” dapat diakses lewat handphone multimedia tadi. Dari Indonesia pun tidak kalah kreatif, ada yang membuka sekolah tari melalui internet, muridnya dari seluruh dunia. Dengan cara ini, kan justru budaya lokal jadi mengglobal. Maka, istilah ”global village” nya Mac Luhan tadi menjadi sangat relevan..
Kemajuan Teknologi Informasi Komunikasi mendorong revolusi sosial melalui revolusi senyap (silence revolution). Hampir semua ahli sepakat bahwa globalisasi yang didorong oleh teknologi informasi komunikasi sedang memerankan sebuah revolusi sosial. Revolusi sosial ini secara pasti merasuki semua sudut kehidupan. Ia mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan, merombak struktur dunia usaha, mendorong pemaknaan ulang perdagangan dan investasi, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu.. Hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.
Dalam era globalisasi, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Karena globalisasi adalah sebuah kepastian sejarah, maka pemerintah perlu bersikap. ”Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah ”The Death of Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera diubah menjadi public services management. Yang pasti high-cost bureaucarcy pada akhirnya berakibat pada kesengsaraan rakyat dan punahnya peran pemerintah.
Sebenarnya, dalam “economy circle” (lingkaran ekonomi) di era pasar bebas, dimana kekuatan kapital sangat dominan, maka peran pemerintah adalah penyeimbang lingkaran ekonomi tersebut. Yang kalau diterjemahkan secara kongkrit, maka tugas besar pemerintah adalah pelindung lapisan masyarakat yang paling bawah melalui berbagai bentuk insentif kesejahteraan sosial ekonomi (welfare program) tidak hanya melalui sumbangan pajak dari mereka yang kuat, namun lebih dari itu melalui korporasi kerakyatan yang terorganisir dengan sistem berbasis multimedia sehingga rakyat juga bisa merasakan nilai tambah secara langsung tanpa melalui tangan-tangan elite politik dan partai-partai.
Mekanisme pasar (market mechanism) yang sekaligus menunjukkan peranannya secara nyata dalam hal distribusi sosial, sehingga bisa dibilang mendorong terjadinya “the death of government”. Bukan tidak mungkin, sebuah nation-state baru yang berbasis “wired-society” terbentuk secara pasti menurut dorongan pasar. Disamping menawarkan produk dan layanan, juga ditawarkan pembagian insentif, apakah itu revenue atau profit, secara langsung kepada rakyat. Kalau dengan sistem pemerintah, dalam sistem kontrak sosial melalui negara, insentif semacam itu dikembalikan lewat mekanisme pajak (tax return) kepada kelompok yang kurang mampu, ditambah dengan layanan sosial berupa “shelter” (rumah perlindungan) , santunan anak (child care), asuransi kesehatan (health care), subsidi pengangguran (unemployment care), dll. Inilah negara baru yang akan kita hadapi dalam waktu tidak lama lagi. Berbagai model persaingan layanan masyarakat, semakin hari semakin menunjukkan kecanggihannya. Siapa yang pandai memikat hati rakyat dengan berbagai produk dan layanan (jasa), dialah yang akan berhasil membentuk negara baru.
Perdebatan global antara ”Market Forces versus Government Forces” amat menarik. Peran pemerintah semakin hari semakin berkurang diambil alih oleh mekanisme pasar, apalagi pemerintah yang lembam, lambat, tidak efisien ditambah lagi korup. Maka persoalan negara gagal bukan hal yang mustahil, bahkan bisa jadi berimbas pada terancamnya eksistensi negara bangsa. Karena pemerintah semacam itu hanya akan menjadi beban bagi rakyatnya dan buat keseluruhan sistem karena high-cost bureaucracy.
Bagi pemerintah yang cerdas, ini adalah peluang dalam tarik-menarik kekuatan menuju “borderless world”, “the end of nation-state” dan lain-lain yang katanya fungsi pemerintah akan tergeser oleh mekanisme pasar. Hanya saja, pemerintah tidak mungkin dengan terus mempertahankan cara-cara lama. Kita harus berpikir “out-of-the-box”, bahkan kalau dalam buku ”Blue Ocean Strategy” (Strategi Samudra Biru, menciptakan ruang pasar baru, sehingga kompetisi tidak lagi relevan). Pemerintah juga jelas pasarnya, yaitu rakyat, jadi peranannya jauh lebih sederhana. Tinggal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana tuntutan MDG (Millenium Development Goals). Masih mengacu kepada “Blue Ocean Strategy”, kalau disitu dikatakan bagaimana membuat kompetitor tidak lagi relevan, maka sesungguhnya pemerintah adalah mudah sekali, karena pada dasarnya kompetitornya tidak ada. Pemerintah itu bentuk monopoli kekuasaan. Kalau korporasi masih harus bekerja keras untuk mendapatkan atribut-atribut tersebut, sementara pemerintah tidak perlu lagi. Semua sudah ada di tangan. Jadi jauh lebih mudah menerapkan strategi baru tersebut.
Keberhasilan Revolusi Teknologi Informasi Komunikasi yang bisa mendorong diterapkannya ”Blue Ocean strategy” secara sadar atau tidak sadar terabaikan oleh bangsa kita. Padahal kedepan rakyat perlu memiiliki alat untuk mengorganisir diri melalui sistem manajemen yang berbasis pada teknologi informasi komunikasi (ICT). Dan yang terpenting, pesan yang disampaikan dalan strategi samudra biru adalah sikap kepemimpinan, yang harus pandai mengubah segala macam persoalan menjadi peluang dan tantangan. Disini perlu pemimpin yang cerdas, tegas dan berwawasan.
Gelombang pasar bebas dan globalisasi sedang menguji kembali konsep dan kekukuhan (soliditas) dari bentuk "negara-bangsa" (nation-state) di dunia. Gelombang ini pula yang telah mendorong semua negara untuk menata kembali "perusahaan negara bangsa" (nation-state corporation) yang sedang dikelolanya untuk bisa masuk dalam integrasi global secara elegan dan percaya diri. Pemerintah di seluruh dunia sedang berbenah untuk merumuskan kembali peranan mereka untuk menjaga eksistensinya. Dalam era yang serba "market driven", peran pemerintah juga akan dinilai dari kinerjanya dalam mekanisme pasar. Apakah kinerjanya mengganggu kondisi pasar, apakah kebijakannya membebani keseluruhan sistem karena tidak-mampuannya dalam menjaga keseimbangan. Apakah peran pemerintah sudah efisien dari kacamata manajemen perusahaan modern.
Peluang dan dinamika inilah yang mendasari pemimpin-pemimpin cerdas dari beberapa negara untuk memutuskan untuk melakukan revolusi cerdas, terpimpin, dan senyap (silence revolution) melalui perombakan mendasar yang dipimpin oleh kepala negaranya, sebagaimana dilakukan oleh Thaksin Shinawatra mengubah menjadi Thailand Incorporated, demikian juga Mahathir Mohammad mengubah negaranya menjadi Malaysia Incorporated 2020 yang berbasiskan paradigma Multimedia Supercorridor. Demikian juga Hun Jin Tao dari China, Ahmadinejad dari Iran, dan Hugo Chavez dari Venezuela dengan berbagai versi strategi revolusi cerdas sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Pemerintah yang korup dan tidak efisien akan berhadapan langsung dengan mekanisme pasar yang semakin hari semakin menawarkan efisiensi dan biaya manajemen termurah tapi dengan layanan terbaik. Mekanisme pasar bebas ini langsung berhadapan dengan rakyat sehingga rakyat secara demokratis dapat menentukan pilihannya. Indonesia di persimpangan jalan. Kalau tidak segera bertindak dan menyikapi globalisasi dengan tepat, maka Indonesia menuju kehancuran, tanpa disadari, namun pasti akan terjadi. PUNAH.
APA NASIONALIME INDONESIA MAMPU MENJADI PEMENANG (VICTOR) DALAM GLOBALISASI?
Globalisasi di Indonesia sudah terjadi sejak jaman Hindu masuk ke Indonesia, dimana Nusantara merupakan sekumpulan Kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri. Lalu disusul masuknya para Wali yang sambil berdagang menyebarkan ajaran Islam, disusul dengan jaman kolonial dimana perusahaan dagang Belanda, yaitu VOC menguasai Nusantara dan mengontrol perdagangan rempah-rempah, kopi, teh, kelapa sawit, coklat, gula, dll komoditi yang ada di bumi Nusantara. Makanya masih bisa kita lihat berbagai peninggalan jaman Belanda berupa perkebunan dimana-mana, yang sekarang menjadi BUMN yang disebut PTPN (PT Perkebunan Negara).
Dengan keterpurukan Indonesia saat ini, serta persoalan yang multidimensi tanpa penyelesaian, banyak yang mengkhawatirkan thesis Huntington tentang perpecahan bisa terjadi di Indonesia. Saya percaya Indonesia dengan Pancasila nya memiliki kedewasaan berbangsa yang tinggi. Memorandum Helsinki merupakan salah satu contoh nyata bagaimana persoalan Aceh bisa diselesaikan dengan damai dengan suatu model kompromistis terbaik dalam kerangka globalisasi.
Propinsi NAD ”defacto” merdeka secara ekonomi namun secara politik tetap mengakui Republik Indonesia sebagai kedaulatan negara. Kalau kita cermati isi perjanjian Helsinki, provinsi NAD boleh memiliki bank sentral sendiri artinya boleh mencetak matauang sendiri, boleh melakukan perdagangan antar negara serta transaksi keuangan atau pinjaman (loan) dengan negara lain secara mandiri, boleh mendirikan partai lokal, berhak atas aset sebesar 70%, sementara 30% adalah hak pemerintah pusat (Republik Indonesia). Dari sisi globalisasi, kompromi ini bisa dilihat sebagai model yang paling efisien. Bagi hasil aset 30% untuk Pemerintah Pusat boleh dianggap sebagai biaya franchising bendera Indonesia, sehingga provinsi NAD tetap mengakui “merah putih” ketimbang harus mengeluarkan ongkos mendirikan keduataan besar atau konsulat di setiap negara dan membangun militer sendiri yang biayanya tidak sedikit. Maka, 30% adalah biaya pinjam bendera. Demikianlah dari kacamata globalisasi yang disandarkan pada ekonomi. Sebagai model mungkin bisa menjelaskan aplikasi dari teori yang anda kemukakan diatas.
Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, dalam wawancara dengan saya, mengatakan bahwa kalau sampai terjadi perpecahan di Indonesia, maka biayanya amat besar. Anda ingat satu Bosnia yang pengungsinya hanya belasan ribu orang sudah menjadi beban dunia. Kalau Indonesia terpecah belah maka jutaan orang akan menjadi pengungsi dan akan menjadi beban dunia yang sangat berat. Ini tentu tidak diinginkan oleh warga dunia. Kita tahu bahwa suku-suku bangsa di Indonesia sudah tersebar diseluruh penjuru tanah air dengan identitas bangsa Indonesia tidak peduli dimanapun dia berada. Kalau sampai terjadi perpecahan, maka sukubangsa yang sudah menetap tidak daerah asalnya akan dikejar-kejar dan dibunuhi oleh suku asli seperti yang terjadi di Bosnia. Padahal sejak Sumpah Pemuda 1928 dikumandangkan, suku-suku bangsa di Indonesia sudah banyak melakukan kawin campur antar suku tanpa ada sutu masalah karena mereka percaya dan meyakini diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Bahkan juga kawin antar agama, bukan hanya antar suku. Konsep Indonesia semacam itu indah sekali. Maka secara geo politik, tidak mungkin Indonesia dihancurkan atau dipecah-belah dengan dalih apapun karena dunia akan ikut menanggung akibatnya.
Maka, solusi kompromistis seperti provinsi NAD akan memberikan inspirasi kepada daerah-daerah lain. Ini adalah tantangan untuk pemerintah pusat apaibila tetap tidak melakukan perubahan yang bisa mensejahterakan rakyat serta mengarahkan proses otonomi daerah yang secara konvergen dan konsisten menuju suatu bingkai baru ”Smart Indonesia Incorporated”. Intinya, liberalisasi politik dan ekonomi untuk Indonesia perlu dirumuskan berbasis kerakyatan, sehingga akumulasi kapital juga didisitribusikan untuk rakyat.
Sering dinyatakan bahwa Indonesia amat didikte oleh asing. Globalisasi mencakup proses dikte-mendikte antar negara. Indonesia tidak terkecuali. Sesungguhnya semua negara saling ”mengintervensi”, Amerika sendiri saat ini kewalahan menghadapi Cina yang mampu menawarkan harga produk yang jauh lebih murah. Di kita sendiri, bukankah Outlet Factory disejumlah kota tak terkecuali di Bandung, saat ini justru didominasi produk dari Taiwan, RRC dan juga Thailand, sama sekali bukan produksi industri setempat.
Soal ”dikte-mendikte” di tingkat global, itu tergantung kemauan kita sebagai bangsa. Lihat saja Cina yang boleh dibilang ”suka-suka”, ”maunya sendiri”. Kita ini yang tidak jelas maunya apa sebagai bangsa. Dalam hal kedaulatan negara terlebih dibidang ekonomi, tidak seharusnya Indonesia sampai didikte seperti yang terjadi dewasa ini, karena Indonesia kaya raya. Sumberdaya alam dan mineral kita yang berlimpah itu seharusnya dikelola dengan orientasi untuk kepentingan rakyat banyak. Bukan konsesi tambang diberikan kepada si A yang tentu saja membuat si A dan kroninya kaya raya, dengan bermodalkan lisensi melalui pasar modal mereka bisa mengeruk uang dalam jumlah yang besar. Sementara pada saat yang bersamaan, Pemerintah Daerah sibuk mondar mandir mencari investasi untuk membangun rumah sakit, pasar, terminal, air bersih, dll.
Jadi kalau dengan kekayaan alam yang melimpah serta rakyat yang demikian tangguh, tapi nyatanya Indonesia masih didikte, itu berarti yang salah kita sendiri. Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang aset-aset yang dimiliki, seperti dikatakan oleh Hernando de Soto. Kesadaran itulah yang bisa memulai proses transformatif untuk mengubah aset-aset itu menjadi modal produktif yang bisa menggerakkan lokomotif perekonomian. Disinilah pentingnya kesadaran publik, bahwa dalam diri kita sebagai bangsa ada yang salah. Dan mestinya setelah diketahui dimana letak kesalahan tersebut, tidak perlu ada resistensi dalam menyatukan segenap kekuatan untuk menata kembali, agar kita segera bangkit dari keterpurukan, untuk segera mengejar ketertinggalan yang sudah terlanjur terjadi.
Tentang kemandirian bangsa dan nasionalisme, terdapat ganjalan besarnya utang luar negeri kita, yang hingga kini telah mencapai US$150milyar, merupakan instrumen untuk mengutak-atik eksistensi bangsa yang berdaulat. Utang luar negeri yang besar, selain memerosotkan kemandirian bangsa, juga merupakan bentuk penghisapan. Ketergantungan yang sedemikian besar akan membuat bangsa kita tidak bebas bergerak. Semuanya ditentukan oleh “kemauan baik” pihak asing. Banyak bukti menunjukkan bahwa, bangsa Indonesia bertekuk-lutut pada kepentingan IMF yang berarti segala-galanya ditentukan oleh IMF. Padahal kenyataan membuktikan bahwa IMF sudah diusir hampir di semua negara, terutama Amerika Latin, mengapa Indonesia masih bergantung kepada IMF? Ini kebodohan Indonesia sendiri. Persoalannya tinggal bagaimana kedepan kita bersikap. Indonesia harus berani mengubah model ekonominya yang harus dilandasi dengan perubahan sistem kenegaraan yang melandasinya.
Dengan pemahaman tersebut, maka yang perlu dijadikan prinsip atau landasan untuk memaknai nasionalisme baru Indonesia. Bukan lagi nasionalisme karena bangsa merasa senasib bekas dijajah Belanda, namun nasionalisme harus ditata ulang, dimaknai ulang, yakni apa manfaat keberadaan negara bagi nasib orang per orang secara nyata. Kata kuncinya adalah menjamin kesetaraan di bidang ekonomi, politik, sosial kultural, keamanan baik individu maupun kelompok tanpa pandang latar belakang primordialnya. Kesemuanya itu harus dibingkai oleh platform Indonesia Incorporated berdasar kepada ”people cybernomics” (sibernomik kerakyatan = ekonomi digital kerakyatan). Platform ini yang menjadi pengikat persatuan dan kesatuan nasional dalam arti baru yang relevan dengan jamannya, dan yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan peluang-peluang jaman baru untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Pelopor rahmatanlil alamin.
Rabu, 24 Juni 2009
KE-BUTUH(INGIN)-AN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar