Hongkong (ANTARA News) - Dr. John Clarke, yang bertahun-tahun menjadi psikolog kriminal, mengingat hari di mana dia seketika sadar bahwa mungkin ada sejumlah psikopat di jutaan kantor di seluruh dunia.
"Saya sedang menyampaikan kuliah psikologi kejahatan dan memberikan daftar ciri psikopat. Saat selesai, seorang perempuan menghampiri dan berkata `anda baru saja menggambarkan bos saya`," katanya kepada Kantor Berita Jerman (DPA).
Clarke menemukan bahwa psikopat tidak hanya ada di penjara, di ruang sidang pengadilan, atau pada kisah "thriller".
Psikopat, baik laki-laki maupun perempuan, sedang berencana licik di tempat kerja, di seluruh dunia..
Penelitian menyatakan bahwa satu persen populasi orang dewasa yang bekerja adalah psikopat di tempat kerjanya.
Psikopat seperti itu ada di kantor besar maupun kecil, dia ada di ruang rapat dewan maupun di lantai-lantai toko.
Di sanalah, menurut Clarke, mereka bersembunyi; lewat berbohong, mencurangi, mencuri, mememanipulasi, mengorbankan dan menghancurkan para rekan kerja, serta kesemuanya tanpa rasa salah maupun penyesalan.
Lebih buruk lagi, ia menilaie, mereka yang disebut organisasional psikopat, berkembang pesat di dunia bisnis, di mana kezaliman dan nafsu mereka tidak saja mereka salah-artikan sebagai ambisi dan keterampilan memimpin, namun juga sebagai sesuatu yang dihargai melalui promosi, bonus dan kenaikan upah.
"Ambil contoh iklan lowongan kerja. Iklan itu, misalnya, menyebut `anda tahu anda adalah yang terbaik, anda mampu mempengaruhi orang, apapun akan anda lakukan untuk memenangkan organisasi`. Ini jenis pernyataan yang menarik bagi banyak orang, teristimewa lagi untuk psikopat," katanya.
Ia menimpali, "Organisasi yang memasang iklan seperti ini, secara tidak langsung mengundang psikopat untuk melamar kerja."
Dalam wawancara rekrutmen, psikopat tampil mempersona sebagai orang yang cocok untuk lowongan itu.
"Mereka adalah pembicara yang sangat bagus dan kadang mengarang riwayat hidupnya, sehingga pewawancara terperdaya. Mereka terlihat mempersona, cerdas dan piawai, tapi jika anda sedikit saja gali lebih dalam, anda akan tahu seperti apa mereka sebenarnya," kata Clarke.
Psikopat tempat kerja akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kekuasaan, status dan upah yang mereka inginkan.
"Mereka berpikir layaknya psikopat kriminal. Mereka berusaha sekeras-kerasnya demi mereka sendiri. Perbedaan keduanya adalah, psikopat kriminal menghancurkan korban secara fisik, sedangkan psikopat tempat kerja menghancurkan korbannya secara psikologis," ujarnya.
Clarke yang bergelar doktor (PhD) di bidang psikologi dari "University of Sydney", Australia, adalah penulis buku "The Pocket Pscyho" yang belum lama terbit.
Buku itu adalah panduan sintas bagaimana melindungi diri dari psikopat organisasional.
Menurut Clarke, psikopat tempat kerja dapat diketahui dari pola perilaku dan ciri kepribadian di bawah ini:
1. Tanpa dosa. Psikopat tempat kerja tidak menyesali berapapun yang mereka jadikan korban, mereka tusuk dari belakang atau yang hasil kerjanya mereka curi. Mempersulit orang lain dengan berbagai cara seakan tidak rela orang lain mendapatkan kemudahan dan mengambil banyak keuntungan untuk kepentingan pribadinya.
2. Mempesona. Mereka adalah pembicara yang sangat bagus. Mereka lebih suka berhadapan empat mata dan menghindari rapat kelompok.
3. Manipulatif. Mereka membengkokkan sistem maupun aturan perusahaan untuk kepentingan sendiri. Mereka memangsa berbagai kelemahan orang, khususnya yang kurang percaya diri.
4. Parasitis. Mereka mencari penghargaan dari hasil kerja orang lain.
5. Pembohong yang patologis. Psikopat tempat kerja bukan pembohong ulung. Namun, jika mereka ketahuan, mereka dapat berdalih untuk menemukan selamat.
6. Tak menentu. Psikopat hanya punya emosi pokok (senang, sedih, marah). Pergantian antar emosi terjadi sangat cepat, semenit senang, semenit kemudian marah lalu semenit selanjutnya sedih.
Psikopat tempat kerja mencari pertemanan dengan orang yang punya kedudukan lebih tinggi agar dapat melindungi mereka.
Mereka akan merongrong sekaligus berteman dengan bos dan berusaha meniti kedudukan di perusahaan.
Mereka yang diincar psikopat akan menerima akibat yang menghancurkan.
"Mereka merampas keyakinan diri maupun rasa mampu seseorang. Mereka menghilangkan rasa percaya orang terhadap orang lain. Korban menjadi dingin, sinis, getir dan hampir tak mampu bekerja," ujarnya menegaskan.
Clarke mengatakan, ada dua senjata yang bisa dipakai untuk melindungi diri dari mereka yaitu: pendidikan dan kerjasama tim.
"Jika anda mendidik diri sendiri hingga tahu mengapa orang tersebut bertindak demikian, maka hal ini akan menghentikan siklus menyalahkan diri-sendiri dan rasa terasing dari korban," katanya.
Ia melanjutkan, "Hal kedua ialah membangun tim dan kerjasama tim. Anda harus berbicara kepada orang lain, dan mengatakan apa yang terjadi. Jika psikopat tidak dapat mengasingkan anda, maka mereka tidak dapat menghancurkan anda."
Dalam situasi di mana majikan tidak bertindak, maka Clarke menyarankan, korban sebaiknya pindah kerja. Mengapa? Oleh karena, korban tidak bisa mengubah seorang psikopat, dan proses rehabilitasi hanya akan memperparah mereka.
"Mereka tidak peduli. Mereka tidak berpikir dirinya adalah psikopat. Mereka tidak berpikir apa yang sedang dilakukan adalah salah. Mereka hanya berpikir dirinya pintar, dan jika semua orang secerdas mereka, semuanya pun akan melakukan hal serupa," katanya.
Akhirnya, Clarke pun berpesan: "Saat anda merehabilitasikan mereka, berarti anda mengajarkan keterampilan sosial kepada mereka, dan menunjukkan bagaimana cara berurusan secara pantas terhadap orang lain. Mereka akan menggunakan
keterampilan sosial itu untuk makin memanipulasi orang."
--
Kacamata. Sebuah frase yang memiliki makna denotatif dan konotatif. Dia bisa berarti sebuah alat untuk membantu memperbaiki daya penglihatan, namun bisa bermakna ’cara kita memandang sesuatu’. Dengan kacamata yang salah, situasi apapun yang kita hadapi; akan dipersepsikan secara negatif. Namun, dengan kacamata yang baik kita selalu mampu menemukan sisi positif dari setiap peristiwa yang kita alami. Bahkan sekalipun peristiwa itu kurang menyenangkan. Benarkah demikian? Benar. Karena kita percaya bahwa setiap peristiwa itu seperti keping mata uang. Terserah; apakah kita memfokuskan sudut pandang pada sisi positif, atau negatifnya?
Kacamata ini sudah saya gunakan selama lebih dari tiga tahun. Salah satu alasan mengapa saya tidak ingin menggantinya adalah karena saya merasa nyaman dengannya. Dan, karena setiap hari saya menggunakannya; maka saya tidak menyadari bahwa sesuatu telah terjadi dengan penglihatan ini. Pada awalnya, saya merasakan sakit kepala yang semakin lama semakin sering terjadi. Kemudian, text film di TV terlihat kurang jelas sehingga saya berusaha mengubah-ubah kabel antena. Namun, setelah sekian lama; saya tidak berhasil membuat gambar di TV lebih jelas. Bahkah sekalipun tiang antena diatap rumah sudah diputar-putar kesana-kemari. Jangan-jangan, ’kesalahan bukan pada pesawat televisi....’.
Benar saja. Pemeriksaan menunjukkan bahwa kacamata itu tidak lagi cocok dengan kondisi mata saya. Rupanya, itulah yang menyebabkan mengapa pandangan saya tidak lagi jernih. Hari itu, tiba-tiba saya menyadari bahwa selama ini saya sering memandang hidup dalam suasana yang suram. Bahkan, kadang-kadang gelap seperti diselimuti kabut. Jangan-jangan, semua itu terjadi karena saya keliru menggunakan ’kacamata’ dalam memandang hidup. Ketika menghadapi kesulitan hidup; kita sering berkeluh kesah, hingga tak jarang kehilangan harapan. Seolah dunia ini nyaris runtuh. Bahkan, ketika prospek yang kita kunjungi mengatakan ’tidak’ terhadap produk yang kita tawarkan, kita merasa kesakitan yang tajam didalam hati. Atau, ketika surat lamaran kerja kita tidak kunjung mendapatkan balasan, kita merasa dunia ini tertutup bagi kita. Atau, ketika seorang gadis mengatakan ’maaf, saya belum bisa menerimamu,’ kita menganggap itu sebagai sebuah penghinaan. Kita sering gagal melihatnya dari sisi positif, sehingga batin kita dikuasai oleh kesimpulan dan sikap negatif.
Dengan kacamata yang keliru, bahkan kabar baikpun bisa dipersepsikan secara keliru. Ketika kita mendapatkan promosi jabatan; kita menganggapnya kesempatan untuk menepuk dada. ’Sekarang gue ini boss; elu pade mesti hormat sama gue!’ Ketika Tuhan memberikan kelapangan harta, kita melihatnya sebagai kesempatan untuk menunjukkan bahwa derajat kita lebih tinggi dari orang lain yang pada miskin. Ketika dianugerahi keluasan ilmu, kita mengira orang lain bodoh.
Petugas optik menyarankan saya untuk mengganti lensa kacamata itu. Lalu saya mengikuti sarannya. Ajaib sekali, sejak saya mengganti lensa kacamata itu, saya tidak lagi mengeluhkan sakit kepala yang selama ini menghantui. Pesawat televisi saya menampilkan gambar yang jelas lagi bersih. Dan saya memandang dunia seolah menampilkan suasana baru yang jauh lebih cerah dari sebelumnya. Hal ini benar dalam pengertian sesungguhnya, maupun dalam konteks metafora. Buktinya, dengan ’kacamata’ yang benar kita selalu melihat harapan didalam kesulitan hidup seberat apapun yang kita hadapi. Sebab, kita meyakini bahwa didalam setiap kesulitan, selalu terdapat kemudahan.
Ketika seorang pelanggan mengatakan; ’maaf, saya tidak jadi membeli produk anda’, tiba-tiba saja kita menyadari bahwa cara pendekatan atau teknik penjualan yang kita gunakan itu masih belum tepat, sehingga kita harus memperbaikinya. Atau, mungkin produk kita tidak lagi memiliki keunggulan sehingga kita menjadi tertantang untuk melakukan inovasi. Tanpa penolakan itu, kita mungkin tidak pernah sampai kepada kesadaran sedalam itu.
Kacamata itu jugalah yang memberi kita kemampuan untuk menerima semua cobaan yang Tuhan berikan sebagai sarana bagi kita untuk ’naik tingkat’ dimataNya. Sebab, bukankah para guru spiritual kita selalu mengatakan bahwa; ”Jika Tuhan ingin menaikkan derajat seorang hamba, maka Dia akan memberinya sebuah cobaan. Jika hamba itu dapat melalui cobaan itu dengan tulus dan penuh kesadaran, maka tingkat keimanannya akan semakin tinggi.”
Kita semua tahu, bahwa semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin tinggi juga rasa sayang Tuhan kepadanya. Dan semakin sayang Tuhan kepada seseorang, maka semakin besar peluang baginya untuk manjadi pribadi yang lebih baik. Sebab, ketika seorang pribadi yang baik tengah melalui roda kehidupan yang berat; maka dia akan melakukan introspeksi dan memperbaiki diri. Sedangkan, ketika tengah ditaburi oleh berjuta keberhasilan; dia akan menjadi semakin rendah hati. Sebab, dengan kacamata yang baik, dia menyadari bahwa apapun yang terjadi dalam hidupnya; tiada lain selain kesempatan bagi dirinya untuk semakin mendekatkan diri, kepada Sang Pemilik Sejati.
Catatan Kaki:
Mungkin sebenarnya masa depan kita itu sangat cerah. Namun, karena kita keliru menggunakan kacamata, kita melihatnya seolah-olah suram dan tanpa harapan.
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul ”Belajar Sukses Kepada Alam” versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan perkenalkan diri disertai dengan alamat email kantor dan email pribadi (yahoo atau gmail) lalu kirim ke bukudadang@yahoo. com
--
Biografi Amien Rais
Sumber : http://tokohindones ia.com/ensiklope di/a/amien- rais/amien_ rais_biografi. html
Amien Rais lahir di Solo, 26 April 1944, dari sebuah keluarga yang sangat taat dalam menjalankan agamanya. Suhud Rais, ayahnya, adalah lulusan Mu’allimin Muhammadiyah dan semasa hidupnya bekerja sebagai pegawai kantor Departemen Agama. Sang ibu, Sudalmiyah, adalah alumni Hogere Inlandsche Kweekschool [HIK] Muhammadiyah, kemudian menjadi aktivis Aisyiyah dan pernah menjabat sebagai ketuanya di Surakarta selama dua puluh tahun.
Sudalmiyah juga dikenal sebagai seorang guru yang ulet. Ia mengajar di Sekolah Guru Kepandaian Putri [SGKP] Negeri dan Sekolah Bidan Aisyiyah Surakarta. Karena prestasinya di dunia pendidikan, pada tahun 1985, Sudalmiyah mendapat gelar Ibu Teladan se-Jawa Tengah. Ia juga aktif di partai politik Masyumi ketika masa jayanya pada tahun 1950-an. Kakek Amien Rais, Wiryo Soedarmo, adalah salah seorang pendiri Muhammadiyah di Gombong, Jawa Tengah. Jadi, Amien Rais dilahirkan dari keluarga yang sangat kental warna Muhammadiyahnya.
Amien merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Kakaknya adalah Fatimah, dan empat adiknya adalah Abdul Rozak, Achmad Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Asyiah. Mereka tumbuh dan dibesarkan di kampung Kepatihan Kulon. Sejak kecil mereka sudah dilatih disiplin oleh sang ibu. Bila Amien kecil melanggar, sang ibu tidak segan-segan menghukumnya. Mereka harus bangun pukul 04.00 WIB setiap pagi. Caranya dengan meletakkan jam weker di dekat tempat tidur. Dan ketika bangun, mereka diminta untuk mengucapkan “ashalatu khairum minan naum” dengan suara keras sehingga terdengar sang ibu. Sang ibu biasanya memberikan imbalan berupa uang 50 sen. Uang tersebut lalu mereka tabung, untuk dibelikan baju baru menjelang lebaran.
Walaupun tegas, tetapi sang ibu tidak pernah memaksakan kehendaknya. Anak-anaknya dibiarkan tumbuh secara alami, sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Hanya saja, pesan sang ibu yang tak pernah putus adalah mengingatkan mereka bahwa hakikat hidup adalah ibadah. Yang terus diingat Amien, ketika ibunya berkata, “Ingat Mien, berkemah pun ibadah.”
Dalam berbagai kesempatan, Amien Rais secara terus terang mengakui bahwa ibunyalah yang sangat mempengaruhi karakternya yang lugas tanpa basa-basi. Sampai kini Amien masih menempatkan ibunya sebagai konsultannya dan tempat pelipur lara. Mana kala ia menghadapi situasi atau persoalan pelik, ia selalu pulang ke Solo menemui sang ibu untuk meminta pendapatnya, atau sekadar untuk menghindari kejaran wartawan yang pantang ia tolak. Setiap Idul Fitri ia beserta semua saudaranya juga berkumpul di rumah sang ibu. Menurut Amien, hingga usia 80-an, ketegasan dan kejernihan berpikir Ibunya masih tetap seperti dulu. Ibunda Amien Rais wafat hari Jumat, 14 September 2001 di Solo, Jawa Tengah, dalam usia 89 tahun.
Sewaktu masih duduk di bangku SD, Amien kecil bercita-cita ingin menjadi walikota. Cita-cita ini sangat dipengaruhi oleh kekagumannya pada Muhammad Saleh yang menjabat Walikota Solo waktu itu. Muhammad Saleh adalah seorang muslim yang taat. Ia sering memberikan pengajian di Balai Muhammadiyah Solo. Walikota asal Madura ini sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya. Namun setelah SMA, cita-cita Amien berubah. Ia ingin jadi duta besar. Mungkin cita-cita ini yang ikut mempengaruhinya untuk memilih jurusan hubungan internasional ketika memasuki perguruan tinggi.
Prinsip hidup yang jadi pegangannya diakuinya sangat sederhana, yaitu mencari ridha dan ampunan Allah. Untuk mencapainya, orang harus berbicara dan berbuat apa adanya. “You are what you are,” katanya suatu ketika. Ia membagi kebahagiaan menjadi tiga jenis, yaitu kebahagiaan spiritual, kebahagiaan intelektual, dan kebahagiaan psikologis. Kebahagiaan spiritual diperoleh dengan cara menjalani hidup sesuai dengan rel agama. Kebahagiaan intelektual diperoleh dengan cara memberikan konstribusi pemikiran kepada masyarakat. Sedangkan kebahagiaan psikologis didapatnya bila ia bisa berbuat atau menolong orang lain.
Amien Rais menikah pada 9 Februari 1969, dengan seorang gadis yang sudah dikenalnya sejak mereka masih sama-sama kanak-kanak, Kusnasriyati Sri Rahayu. Selama sepuluh tahun pertama pernikahannya ia belum dikaruniai anak, meskipun ia sudah berkonsultasi dengan banyak dokter spesialis kandungan di Solo, Yogya, bahkan ketika berada di Chicago. Sampai suatu saat mereka berdua mendapat kesempatan naik haji ke Makkah. Di depan Ka’bah mereka berdua memanjatkan doa, memohon kepada Allah agar memenuhi keinginan mereka akan keturunan. Waktu itu mereka sedang melakukan penelitian di Mesir. Setelah kembali ke Kairo, dua bulan lebih sang istri tidak dikunjungi tamu rutin bulanan. Bahkan ada yang aneh: perutnya terasa gatal-gatal. Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke dokter kandungan. Dan hasilnya positif, sang istri dinyatakan hamil. Bagi mereka berdua, kejadian itu merupakan mukjizat dan karunia Allah semata. Setelah anak yang pertama lahir, selanjutnya setiap dua tahun sang istri hamil lagi. Kini mereka sudah dikaruniai lima orang anak, tiga putra dan dua putri. Nama-nama mereka diambil dari Al Qur’an dan dikaitkan dengan kenangan dan peristiwa yang menyertai kelahirannya. Yang pertama diberi nama Ahmad Hanafi, kemudian Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan yang terakhir Ahmad Baihaqy.
Kusnasriyati adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Untuk mengisi kesibukannya, ia mendirikan Taman Kanak-Kanak [TK] di sebelah rumahnya. Karena ketekunannya, TK ini kemudian menjadi besar dan terkenal. Ia juga membuka kedai sederhana yang diminati banyak mahasiswa. Dilihat dari penampilannya yang sederhana, termasuk gaya bicara yang sederhana, ia tidak beda dengan ibu rumah tangga lainnya. Tetapi, di mata Amien Rais, ia adalah wanita luar biasa.
Keberanian dan ketegaran yang dimiliki Amien Rais ternyata tidak lepas dari peran sang istri. Suatu saat, ketika diinterviu seorang wartawan Jepang, saya melihat dengan nada bangga Amien Rais mengatakan, “Istri saya mungkin merupakan wanita terbaik se-Asia Tenggara.” Komentar tersebut mungkin terasa berlebihan bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagi Amien Rais. Ia pernah menceritakan kepada saya bahwa ketika studi di Chicago, karena beratnya beban kuliah yang dihadapi, hampir saja ia putus asa. Untung ada sang istri yang terus-menerus memompa semangatnya.
Begitu juga ketika ia merasa lelah saat melawan Orde Baru, istrinya tidak pernah lelah untuk membangunkan kembali spiritnya. Sampai-sampai ia pernah mengomentari istrinya sebagai sumber inspirasi dan motivasinya. Bahkan menjelang tumbangnya Soeharto, sempat tersebar isu bahwa Amien Rais akan ditangkap. Ia kemudian memberi tahu sang istri tentang berita buruk yang akan menimpanya. Dengan nada tegar sang istri menjawab, “Insya Allah ini akan mempercepat kejatuhan Rezim Soeharto.”
Bila Allah mengaruniainya umur panjang, di masa tuanya nanti Amien hanya ingin melihat anak-anaknya bisa menyelesaikan pendidikannya masing-masing. Sementara ia sendiri ingin mengisi masa tuanya dengan menulis dan memberikan pengajian. Amien merujuk pada almarhum A.R. Fachruddin dan ibunya sendiri yang sampai akhir hayatnya masih memimpin Sekolah Keperawatan Muhammadiyah di Solo.
Aktifitas Saat Belia
Sejak belia Amien Rais sudah terlibat dalam berbagai gerakan. Kecintaannya pada organisasi diawali dari keterlibatannya di pandu Hizbul Wathon. Ia dipercaya oleh teman-temannya untuk memimpin sebuah regu yang terdiri dari tujuh orang yang diberi nama regu Rajawali. Regu yang dipimpinnya selalu memenangkan berbagai perlombaan, seperti lomba tali-temali, morse, membuat jembatan, sampai pada lomba masak-memasak.
Di sinilah Amien kecil mulai menyadari kekuatan kebersamaan dan makna kepemimpinan. Ketika menjadi mahasiswa, ia termasuk salah seorang pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah [IMM]. Ia juga pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam [HMI], dan pernah dipercaya untuk menduduki jabatan sekretaris Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam [LDMI] HMI Yogyakarta.
Di samping kegandrungannya berorganisasi, Amien Rais juga sudah mulai aktif menulis artikel sejak belia. Dawam Rahardjo menuturkan:
“Ketika mahasiswa, Amien Rais telah menjadi penulis kolom yang tajam dan produktif. Oleh tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung bersama-sama dengan Harian Kami di Jakarta, koran mahasiswa yang legendaris di awal Orde Baru, Amien pernah dianugerahi Zainal Zakse Award.”
Riwayat Pendidikan
Pendidikan Amien Rais, mulai dari TK sampai SMA, semuanya dijalani di sekolah Muhammadiyah, di kota kelahirannya, Solo. Menurut Amien, karena kecintaan sang ibu pada sekolah Muhammadiyah, maka seandainya ketika itu sudah ada perguruan tinggi Muhammadiyah, pasti ibunya akan memintanya untuk kuliah di situ. Sekolah Dasar diselesaikan tahun 1956, kemudian SMP pada tahun 1959 dan SMA pada tahun 1962. Di samping sekolah umum, ia juga mengikuti pendidikan agama di Pesantren Mamba’ul Ulum. Ia juga pernah nyantri di Pesantren Al Islam.
Setelah tamat SMA, ibunya menginginkan Amien melanjutkan studinya ke Al-Azhar, Mesir. Sementara ayahnya lebih memilih Universitas Gajah Mada [UGM]. Amien tampaknya lebih cocok dengan pilihan sang ayah. Ia kemudian diterima di dua fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi dan Fisipol UGM. Ia lalu berkonsultasi dengan sang ayah, mana fakultas yang lebih baik untuk dipilih. Sang ayah menyerahkan kembali pada Amien untuk memilihnya. Akhirnya ia memilih Fisipol. Mungkin untuk tidak mengecewakan harapan sang ibu, Amien juga kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri [IAIN] Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kuliah paralel ini dijalaninya sampai munculnya larangan kuliah ganda oleh pemerintah.
Tahun 1968 Amien menyelesaikan studinya di UGM dengan tugas akhir berjudul Mengapa Politik Luar Negeri Israel Berorientasi Pro Barat. Ia lulus dengan nilai A. Kemudian ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat yang diselesaikan tahun 1974 dengan gelar MA. Tesisnya adalah mengenai politik luar negeri Anwar Sadat yang waktu itu sangat dekat dengan Moskow. Itu sebabnya Amien juga harus mendalami masalah komunisme, Uni Soviet, dan Eropa Timur. Minatnya yang sangat besar dalam masalah Timur Tengah tetap tumbuh.
Setelah pulang ke tanah air sebentar, ia kembali lagi ke Amerika untuk mengikuti program doktor di University of Chicago, AS dengan mengambil bidang studi Timur Tengah. Ia berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1981, dengan disertasi berjudul The Moslem Brotherhood in Egypt: Its Rise, Demise and Resurgence [Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan, dan Kebangkitannya Kembali]. Penelitian untuk menyusun disertasinya dilakukan di Mesir dalam waktu sekitar satu tahun. Selama berada di Mesir, waktunya dimanfaatkan juga untuk menjadi mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa Universitas Al Azhar, Kairo.
Di UGM ia mengasuh mata kuliah Teori Politik Internasional serta Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah. Ia juga dipercaya mengajar mata kuliah Teori-teori Sosialisme. Yang paling menyenangkannya adalah mata kuliah Teori Politik Internasional. Di Fakultas Pascasarjana UGM ia dipercaya memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik.
'Mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK]'
Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK] adalah lembaga pengkajian dan penelitian di bawah yayasan Mulia Bangsa Yogyakarta. Salah satu raison d’etre kelahiran PPSK adalah keprihatinan masih terbatasnya hasil-hasil pengkajian yang menyangkut masalah-masalah strategis dan kebijakan yang berorientasi pada masyarakat lemah.
Lembaga pengkajian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran yang meliputi: Pertama, identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, analisa yang akurat mengenai berbagai kecenderungan global di bidang sosial-budaya, agama, ekonomi, politik, dan iptek, serta dampaknya pada bangsa Indonesia. Ketiga, usulan pemecahan terhadap berbagai persoalan bangsa berdasarkan telaah strategis dan kebijakan yang realistis dan matang. Berbagai produk pemikirannya dipublikasikan lewat majalah Prospektif, yang terbit tiga bulan sekali.
Menurut Dawam Rahardjo, PPSK memiliki peran besar dalam membidani lahirnya ICMI. Di kantor inilah pertama kali konsep ICMI digodok, kemudian dibawa ke Wisma Muhammadiyah di Tawangmangu, Solo, untuk disempurnakan. Setelah itu baru dibawa ke Malang.
Sejumlah tokoh penting bergabung di lembaga ini, di antaranya: Moeljoto Djojomartono, Soedjatmoko, Ahmad Baiquni, Kuntowijoyo, Bambang Sudibyo, Umar Anggara Jenie, Ichlasul Amal, Yahya A. Muhaimin, Affan Gafar, A. Syafi’i Maarif, dan Amien Rais yang dipercaya untuk memimpinnya. Masyarakat ilmiah mengenal dan sangat memperhitungkan lembaga ini, selain karena produk-produk pemikirannya, juga karena kredibilitas keilmuan dan reputasi tokoh-tokohnya.
Namun masyarakat luas baru mengetahuinya setelah terjadinya dua peristiwa. Pertama, meninggalnya Dr. Soedjatmoko, seorang yang dikenal luas memiliki reputasi internasional. Beliau pernah menjadi Dubes RI untuk Amerika Serikat, juga pernah menjadi Rektor Pertama Universitas PBB di Tokio. Almarhum meninggal saat berceramah di hadapan teman-temannya di kantor PPSK, sehingga hampir semua media massa di tanah air memberitakan peristiwa kematiannya. Kedua, pertemuan antara Arifin Panigoro dan kawan-kawan dengan kelompok PPSK yang diselenggarakan di Hotel Radison, Yogyakarta, 5 Februari 1998.
Pertemuan ini kemudian dikenal dengan istilah “kasus Radison” dan menjadi polemik panjang yang mewarnai media massa waktu itu, karena oleh rezim Soeharto dituduh sebagai upaya “makar” terhadap pemerintah Orde Baru. Sebetulnya acara tersebut merupakan acara rutin dan bersifat akademis dengan tema reformasi yang meliputi reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum. Beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu sempat dimintai keterangan oleh pihak berwajib, bahkan Arifin Panigoro sempat menjadi tersangka. ►sumber Web Tech Amien Rais Center ►LANJUT
Rabu, 24 Juni 2009
Cara Kenali Psikopat di Tempat Kerja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar