Forgiveness is the key to action and freedom.
~ Hannah Arendt
Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future.
~ Paul Boese
Ada seorang kawan, sebut saja Bambang, yang walaupun telah mempraktikkan dengan sungguh-sungguh apa yang saya tulis di buku Manage Your Mind for Success, mengatasi mental block, menerapkan prinsip-prinsip “Becoming a Money Magnet”, pasrah, dan berdoa dengan sungguh-sungguh namun masih juga tidak bisa maksimal memanifestasikan sukses dalam dirinya.
Ia bertanya, “Pak, kenapa sih kok saya masih mengalami kesulitan dalam mencapai sukses?”
“Maksud mu?” tanya saya.
“Begini Pak. Benar, saya mulai dapat merealisasikan sukses dalam hidup saya. Namun mengapa sukses masih sulit untuk dicapai? Katanya kalau sudah pasrah, syukur, sabar, mengatasi mental block, dan banyak berdoa, kita akan lebih mudah mencapai keberhasilan. Kenapa hasilnya kok beda dengan kawan saya. Ia melakukan yang Pak Adi ajarkan dan hasilnya sangat luar biasa. Kawan saya sekarang stress karena terlalu banyak orderan. Lha, saya stres karena orderan masih sepi,” tanya Bambang dengan bingung.
Para pembaca yang budiman. Apa yang saya uraikan di sini adalah jawaban yang saya berikan pada Bambang.
Saya berasumsi bahwa titik start mereka sama. Katakanlah sama-sama di titik 0 (nol). Mengapa ada yang cepat dan ada yang lambat dalam mencapai sukses?
Setelah saya ajak ngobrol ngalor ngidul alias panjang lebar, saya akhirnya menemukan satu block besar yang cukup menghambat dirinya. Dan block ini yang saya minta untuk segera diselesaikan jika ia ingin bisa cepat berhasil.
Apa block kawan saya ini? Tenyata Bambang menyimpan perasaan dendam yang dalam terhadap paman dan tantenya. Wah, ini cukup gawat kalau tidak segera dibereskan. Saya meminta Bambang untuk bisa memaafkan orang yang telah menyakiti hatinya.
”Pak, kalau bicara memang gampang. Pak Adi belum tahu apa yang terjadi. Coba Bapak bayangkan. Kalau Bapak jadi saya apakah Bapak juga akan bersedia memaafkan mereka?” jawab Bambang panjang lebar sambil menguraikan secara detil kisah sedih, penghinaan, pelecehan, dan masih banyak lagi hal-hal negatif yang telah dilakukan oleh keluarga paman dan tantenya terhadap keluarganya dan juga pada dirinya.
Manusia memang mahluk yang sangat cerdas. Apa yang dilakukan Bambang adalah hal lumrah yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bambang, bukannya belajar dan mencari hikmah dari apa yang yang telah terjadi belajar untuk bisa memaafkan paman dan tantenya, malah mencari pembenaran atas sikap dan dendam yang disimpan di hatinya.
Biasanya orang yang mendengar kisah Bambang akan berkata, ”Oh, ternyata keterlaluan ya perlakukan mereka terhadap kamu. Benar-benar tidak adil alias bo ceng li. Wah, kalau begitu saya bisa mengerti kalau anda masih marah dan dendam.” Dan si pendendam ini dengan senang dan bangga, karena mendapat dukungan dan persetujuan atas sikapnya akan segera menyambung, ”Nah, sekarang anda bisa mengerti situasi saya. Jadi sudah layak dan pantas kan kalau saya marah dan dendam pada mereka. Kan sangat manusiawi, normal, dan seharusnya demikian bila kita diperlakukan seperti itu.”
Hal yang sama juga dilakukan Bambang. Hanya kali ini ia tidak mendapat dukungan. Saya tetap menyarankan ia untuk bisa memaafkan serta melepaskan semua dendam dan amarahnya terhadap paman dan tantenya.
Mengapa saya bersikeras meminta Bambang untuk bisa memaafkan paman dan tantenya?
Jawabannya sederhana. Banyak orang yang mengalami kesulitan untuk maju dan berkembang karena energi psikis mereka terkuras untuk mempertahankan emosi marah dan dendam pada seseorang. Emosi negatif yang tetap ”dipelihara” dengan sangat tekun ini saya sebut dengan vampir energi psikis.
Saat kita memaafkan, dengan tulus, orang yang pernah menyakiti kita maka yang terjadi adalah kita menyingkirkan vampir energi psikis, yang selama ini menyedot energi kita tanpa kita sadari, dan sejak saat itu energi kita meningkat drastis, vibrasi kita meningkat, dan kita mulai memanifestasikan sukses dengan sangat cepat dan mudah.
Saya ingin meluruskan satu hal yang selama ini salah dimengerti oleh kebanyakan orang. Umumnya orang berpikir bahwa memaafkan orang lain berarti kita menerima dan setuju dengan perlakuan tidak adil yang mereka lakukan terhadap diri kita. Orang berpikir bahwa memaafkan berarti kita harus menghubungi kembali orang yang pernah menyakiti kita. Mereka berpikir bahwa memaafkan adalah sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain. Benarkah begitu? Tidak!
Memaafkan sebenarnya adalah tindakan yang kita lakukan untuk diri kita sendiri. Lha, kok bisa begitu? Memaafkan sebenarnya adalah tindakan yang sangat ”egois” yang hanya ditujukan demi keuntungan diri kita sendiri. Memaafkan bukan hanya ditujukan untuk orang lain namun terutama untuk diri sendiri. Hanya orang kuat yang mampu memaafkan orang lain maupun diri sendiri. Mahatma Gandhi mengungkapkan hal yang sama saat beliau dengan sangat bijak berkata, ”The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong.”
Energi negatif antara kita dan orang lain, karena kemarahan dan dendam kita terhadap mereka, selain menyedot atau menguras energi psikis kita juga membentuk suatu ikatan energi yang sangat menghambat kemajuan kita.
Lalu, siapa saja yang harus kita maafkan? Kalau pada kasus Bambang yang harus dimaafkan adalah paman dan tantenya. Namun secara umum kita harus memaafkan siapa saja yang pernah ”menyakiti” hati kita. Baik orang yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Bagaimana caranya untuk mengetahui siapa orangnya? Mudah. Coba ingat wajah seseorang. Bagaimana perasaan anda terhadap orang ini? Jika ada perasaan tidak enak atau ada emosi negatif di hati anda maka orang ini harus dimaafkan.
Kalau anda cukup jeli anda bisa melihat bahwa saya menuliskan kata menyakiti di dalam tanda kutip. Apa maksudnya? Sering kali apa yang kita alami sebenarnya bukanlah sesuatu yang sungguh-sungguh menyakitkan kita. Yang terjadi adalah kita, karena persepsi yang salah, telah salah memberikan makna pada apa yang kita alami.
Saat kita telah memaafkan orang lain saat itu pula tali energi negatif yang selama ini menghubungkan kita dengan orang itu terputus. Orang itu akan merasakan sesuatu yang positif dalam dirinya. Jangan kaget bila suatu saat, setelah anda memaafkan orang yang pernah menyakiti anda, tiba-tiba sikap orang itu pada anda berubah walaupun anda tidak memberitahu bahwa anda telah memaafkan dirinya.
Prinsip ini pula yang bekerja saat seseorang melakukan meditasi cinta kasih atau Metta Bhavana. Dalam meditasi cinta kasih kita mengirim energi cinta kasih kepada semua mahluk termasuk kepada musuh-musuh kita. Biasanya, setelah sering melakukan meditasi cinta kasih, yang sudah tentu di dalamnya terdapat unsur memaafkan dengan tulus, maka diri kita akan berkembang pesat dan kita akan melihat perubahan sikap dalam diri musuh kita terhadap diri kita. Perubahan ini sudah tentu yang positif.
Apakah kita perlu menghubungi orang yang kita maafkan? Tidak harus. Bila kira rasa perlu maka kita dapat menghubungi orang itu dan menyampaikan bahwa mulai sekarang dan seterusnya kita memaafkan apa yang telah ia lakukan terhadap diri kita. Dalam hati kita sudah tidak ada lagi dendam dan amarah terhadap dirinya.
Apakah kita perlu menjalin kembali hubungan dengan orang yang telah menyakiti hati kita setelah kita memaafkan mereka? Ya dan tidak. Semua bergantung pada diri kita sendiri.
Intinya, memaafkan tidak berarti kita menyetujui. Memaafkan melibatkan keinginan untuk melihat sesuatu dengan sudut pandang yang lain – untuk bisa memahami dan melepaskan. Orang lain menyakiti kita karena sebenarnya mereka adalah manusia lemah.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara memaafkan yang efektif?
Pertama, anda perlu menetapkan siapa orang yang akan anda maafkan. Kedua, anda melakukan relaksasi dan masuk ke kondisi alfa. Mengapa harus di alfa? Karena emosi dan memori letaknya di pikiran bawah sadar.
Setelah itu, sambil membayangkan wajah orang yang akan anda maafkan, ucapkan afirmasi berikut:
”Saya memaafkan anda dengan tulus dan sepenuh hati. Saya membebaskan dan melepas semua ikatan energi negatif antara diri saya dan anda. Mulai saat ini, apa yang pernah terjadi di antara kita, beserta semua muatan emosi negatifnya, selesai sampai di sini. Saya mendoakan semoga anda hidup bahagia dan damai. Sekarang saya telah bebas, anda juga bebas, dan semua menjadi baik di antara kita. Semoga anda hidup bahagia dan damai.”
Berapa kali afirmasi ini perlu diucapkan? Bergantung pada masing-masing orang. Ada yang melakukan satu kali, dua kali, tiga kali, atau berkali-kali. Yang penting adalah setelah selesai mengucapkan afirmasi pikiran dan perasaan kita tenang dan damai. Bila selanjutnya kita membayangkan wajah orang yang pernah menyakiti kita dan sudah tidak ada lagi perasaan negatig maka saat itu berarti kita telah berhasil memaafkan orang itu. * Adi W. Gunawan
“To forgive is to set the prisoner free, and then discover the prisoner was you” ~Anonymous
--
--------
Bangsa Pembajak
Bangsa Indonesia sebaiknya segera mengubah dan menjauhkan diri dari tindakan pembajakan HaKI dan segala bentuk dan motifnya, ataupun pembajakan laut, pembajakan hutan, pembajakan udara, pembajakan sumber alam dan segala isinya dan atau segala jenis tindak kejahatan pembajakan itu.
Yang jelas bangsa Indonesia tidak boleh menjadi bangsa pembajak. Bangsa Indonesia saat ini dan ke depan pun tidak boleh lagi dibajak oleh segelintir orang yang mengatasnamakan rakyat dan bangsa, namun ternyata hanya untuk kepentingannya sendiri dan kroninya.
Kecuali bangsa Indonesia ingin swasembada beras dan menjadi eksportir komoditi beras dunia. Maka justru dianjurkan, harus serentak, rajin dan bekerja keras melakukan pembajakan dan melengkapi insfrastukturnya, khususnya di sawah-sawah dan sentra-sentra lumbung pertanian penghasil beras di Indonesia.
Jadi apabila Anda ingin melakukan pembajakan dengan baik dan benar, ya harus tahu tempat dan waktunya. Apalagi kalau siang ini Anda ingin makan siang dengan ‘sambal bajak’ yang nikmat itu. Tentu dianjurkan dan boleh-boleh saja. Karena itu wujud dari membina, memelihara dan mencintai produk usaha nasional dalam negeri.
--
Cukupkah Berpikir Positif?
Oleh: Ubaydillah, AN
Antara Jalan & Tujuan
Abraham Maslow pernah mengeluarkan nasehat bahwa salah satu yang penting untuk diingat bagi siapa pun yang ingin mengaktualisasikan potensinya adalah membedakan antara jalan dan tujuan dalam praktek hidup. Dalam teori, pasti semua orang sudah tahu apa itu perbedaan antara jalan dan tujuan, tetapi dalam praktek, jawabnya belum tentu.
Andaikan semua orang sudah mengerti perbedaan antara jalan dan tujuan dalam praktek, tentulah ilmu manajemen tidak sampai berpetuah: “Jangan menjadikan aktivitas sebagai tujuan”. Aktivitas adalah jalan, cara atau sarana sedangkan tujuan adalah sasaran yang hendak kita wujudkan dengan cara yang kita terapkan. Aktivitas bukanlah tujuan dan tujuan bukanlah aktivitas, dan karena itu perlu dibedakan.
Andaikan semua orang sudah mengerti perbedaan antara cara dan tujuan dalam praktek, tentulah Thomas Alva Edison tidak sampai berpetuah: “Jangan hanya menenggelamkan diri pada kesibukan demi kesibukan tetapi bertanyalah tujuan dari kesibukan yang Anda jalani.” Kesibukan kerapkali melupakan kita akan tujuan dari kesibukan itu dan karena itulah maka perlu diingatkan.
Dalam kaitan dengan pembahasan kali ini, mungkin sekali-sekali kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah berpikir positif itu jalan atau tujuan? Menggunakannya sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani sedangkan menggunakannya sebagai tujuan berarti kita cukup hanya sampai pada tahap menciptakan pikiran positif atas kenyataan buruk di tempat kerja, di sekolah, di kampus dan di mana-mana.
Memilih sebagai jalan atau tujuan, sebenarnya adalah hak kita. Tidak ada orang yang akan melaporkan kita ke polisi dengan memilih salah satunya. Tetapi kalau kita berbicara manfaat yang sedikit dan manfaat yang banyak maka barangkali sudah menjadi keharusan-pribadi untuk selalu mengingat bahwa berpikir positif itu adalah jalan yang kita bangun untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Logisnya bisa dijelaskan bahwa jika jalan yang kita pilih itu positif, maka perjalanan kita menuju terminal tujuan juga positif atau terhindar dari hambatan-hambatan negatif akibat dari kekeliruan kita dalam memilih jalan. Begitu ‘ kan ?
Hal ini agak berbeda sedikit dengan ketika kita memilihnya sebagai tujuan. Dibilang baik memang sudah baik dan dibilang untung memang sudah untung. Untung yang paling riil adalah mendapatkan suasana batin yang positif atau terhindar dari hal-hal buruk yang diakibatkan oleh pikiran negatif. Dale Carnegie menyimpulkan: “Ingatlah kebahagiaan tidak tergantung pada siapa dirimu dan apa yang kamu miliki tetapi tergantung pada apa yang kamu pikirkan.”
Hanya saja, jika ini dikaitkan dengan persoalan mengaktualkan potensi atau meraih prestasi yang lebih tinggi di bidang-bidang yang sudah kita pilih, tentulah masih belum final. Mengapa? Perlu disadari bahwa suasana batin yang sepositif apapun tidak bisa mengaktualisasikan potensi sedikit meskipun kalau suasana batin kita keruh akibat pikiran negatif, maka usaha kita untuk mengaktualisasikan potensi itu dipastikan terhambat. Jangankan potensi, sampah pun, menurut Tom Peters, tidak bisa dibuang oleh pemikiran yang jenius atau oleh strategi yang jitu.
Bahkan menurut Charles A. O'Reilly, Professor, Stanford Graduate School of Business, dunia ini tidak peduli dengan apa yang kita tahu kecuali apa yang kita lakukan. Puncak dari kehidupan ini adalah tindakan, bukan pengetahuan. Mahatma Gandhi menyimpulkan bahwa ukuran penilaian manusia yang paling akhir adalah aksi, titik. Ini sudah klop dengan penjelasan Tuhan bahwa kita tidak mendapatkan balasan dari apa yang kita khayalkan (fantasi) melainkan dari apa yang kita usahakan.
Rahasia Berpikir Positif
Dengan memiliki suasana batin positif, maka ini akan menjadi sangat kondusif (mendukung) untuk menjalankan proses positif berikutnya, yang antara lain:
1. PELAJARAN
“Hukum Tuhannya” mengatakan bahwa pelajaran positif itu ada di mana-mana sepanjang kita mau menggali dan menyerapnya: di balik kesalahan, kegagalan, pengkhianatan orang lain atas kita, di balik musibah buruk yang menimpa kita dan seterusnya. Hanya saja, meskipun pelajaran positif itu ada di mana-mana, tetapi prakteknya membuktikan bahwa pelajaran positif itu tidak bisa kita serap kalau batin kita sudah keruh oleh pikiran-pikiran negatif.
Mendapatkan pelajaran positif memang tidak langsung mengangkat prestasi kita tetapi kalau kita ingin mengubah diri kita untuk menjadi semakin positif maka syarat mutlak yang harus dimiliki adalah menambah jumlah dan kualitas pelajaran positif yang kita serap, seperti kata Samuel Smile dalam salah satu tulisannya: “Tidak benar jika orang berpikir bahwa kesuksesan diciptakan dari kesuksesan. Seringkali kesuksesan dihasilkan dari kegagalan. Persepsi, study, nasehat dan tauladan tidak bisa mengajarkan kesuksesan sebanyak yang diajarkan oleh kegagalan.”
2. KEPUTUSAN
Satu kenyataan buruk yang kita hadapi pada hakekatnya tidak mendekte kita harus mengambil keputusan tertentu tetapi menawarkan pilihan kepada kita. Tawaran itu antara lain adalah: a) boleh memilih keputusan untuk mundur,b) boleh memilih keputusan untuk mandek / kembali ke semula dan c) boleh memilih keputusan untuk terus melangkah dengan menyiasati, mencari celah kreatif, dan lain-lain.
Nah, salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki untuk melahirkan keputusan yang nomor tiga adalah memiliki batin yang kondusif dan positif. Kita saksikan sendiri di lapangan bahwa meskipun semua orang punya keinginan untuk memilih keputusan nomor tiga, tetapi karena hanya sedikit orang yang punya kemampuan menghilangkan pikiran negatif, maka prakteknya justru keputusan nomor dua atau nomor satu yang menjadi pilihan favorit.
Jika dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, ada hal yang tidak bisa diingkari bahwa semua orang setiap saat telah memilih keputusan tertentu tentang apa yang akan dilakukannya. Dari keputusan yang dipilih itulah lahir sebuah tindakan yang menjadi penyebab sebuah hasil. Karena itu ada saran Brian Tracy yang patut kita renungkan bahwa yang menentukan nasib kita itu bukan apa yang menimpa kita melainkan keputusan yang kita ambil atas apa yang menimpa kita. Artinya, keputusan mundur akan menghasilkan kemunduran; keputusan mandek akan menghasilkan kemandekan dan keputusan maju akan menghasilkan kemajuan.
3. KETERATURAN LANGKAH
Apa yang menyebabkan langkah kita terkadang mudah diserang virus keputusasaan dan kepasrahan? Apa yang terkadang membuat kita mudah bongkar-pasang rencana hanya karena mood sesaat? Sebab-sebabnya tentu banyak tetapi salah satunya adalah pikiran negatif. Sekuat apapun fisik kita atau sekuat apapun keinginan kita untuk mewujudkan tujuan, biasanya akan tidak banyak membantu apabila pikiran ini sudah penuh dengan kotoran negatif. Kita menjadi orang yang putus asa bukan karena kita tidak mampu bertahan, melainkan karena kita telah mengambil keputusan yang fatal.
Nah, dengan menciptakan pikiran positif atas hal-hal buruk yang menimpa kita setidak-tidaknya ini menjadi bekal buat kita untuk melakukan hal-hal positif secara terus-menerus dalam arti tidak mengandalkan perubahan keadaan atau tidak mudah disakiti oleh pukulan keadaan. Seperti pesan Denis Waitley, “Bukan dirimu yang menjadi penghambat kemajuanmu tetapi muatan pikiran yang kamu bawa.”
Dari pesan itu mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa pikiran negatif yang kita bawa atau yang kita biarkan itulah yang terkadang menjadi penghambat langkah kita atau mengganggu kelancaran langkah kita dalam menapaki tujuan yang sudah kita tetapkan. Karena itu paslah jika ada permisalan yang menggambarkan bahwa pikiran negatif itu akan memberikan kotoran di dada kita. Dada yang penuh dengan kotoran yang kita biarkan akan membuat punggung kita terbebani oleh muatan-muatan yang memberatkan lalu mengakibatkan langkah ini tidak selancar seperti yang kita inginkan.
Hal-hal Apakah yang Perlu Dijalani?
Di atas sudah kita singgung bahwa menggunakan pikiran positif sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani. Apa yang perlu untuk dijalani?
1. Temukan pelajaran khusus
Entah sadar atau tidak, kerapkali istilah berpikir positif ini hanya kita praktekkan sebatas berprasangka baik, meyakini adanya hikmah yang mencerahkan, atau sebatas punya opini positif. Tentu ini sudah benar dan sudah baik tetapi kalau kita kaitkan dengan hasil sedikit dan hasil yang lebih banyak, maka proses positif yang perlu kita lakukan adalah mengaktifkan pikiran kita untuk menemukan pelajaran-pelajaran spesifik yang benar-benar cocok dan relevan dengan keadaan-diri kita pada hari ini.
Sebut saja misalnya kita gagal dalam usaha. Memang sudah benar kalau kita berpikir bahwa di balik kegagalan itu ada hikmah buat kita. Hanya saja hikmah di sini mengandung pengertian yang seluas isi daratan, alias masih umum. Kegagalan usaha kita bisa disebabkan oleh waktu yang belum tepat, kesalahan memilih orang, kurang gigih, kurang skill, keadaan eksternal yang di luar kontrol, dan lain-lain. Karena tidak mungkin kita menyerap hikmah secara keseluruhan dalam satu waktu, maka yang paling penting adalah menyerap hikmah yang relevan saja sebagai bahan mengoreksi diri.
2. Gunakan dalam hal khusus
Banyak pengalaman yang sudah menguji bahwa memiliki rumusan tujuan yang jelas dan jelas-jelas diperjuangkan, ternyata memiliki manfaat cukup besar bagi proses positif. Dengan kata lain, untuk bisa menggunakan pelajaran yang sudah kita serap menuntut adanya rumusan tujuan yang kita upayakan realisasinya. Tanpa ini, mungkin saja pelajaran positif yang kita temukan itu akan nganggur alias kurang banyak manfaatnya.
J.M. Barrie memberikan contoh dari pengalamannya: “Selama lebih dari 30 tahun saya memimpin, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting di sini adalah memiliki kemampuan yang saya sebut “kegagalan maju”. Kemampuan ini bukan sekedar memiliki sikap positif terhadap kesalahan. Kegagalan maju adalah kemampuan untuk bangkit setelah anda dipukul mundur, kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan kemampuan untuk melangkah maju ke arah yang lebih baik.”
Dengan kata lain, agar kita bisa menjadikan kegagalan kita sebagai dorongan untuk meraih kemajuan tidak cukup hanya dengan memiliki pikiran positif dan sikap positif atas kegagalan itu, melainkan dibutuhkan upaya kita untuk menggunakan pelajaran yang sudah kita dapatkan dalam usaha meraih keinginan berikutnya. Pelajaran, pengetahuan, dan petunjuk pengalaman yang tidak kita gunakan untuk membimbing praktek kita pada hari ini akan menjadi dokuman yang nilai dan manfaatnya kurang.
3. Membuka Diri
Seperti yang sudah kita singgung di muka bahwa pelajaran positif yang ada di balik satu masalah, satu kenyataan buruk, atau di balik peristiwa yang kita alami dalam praktek hidup itu sangatlah tidak terbatas, tidak tunggal, tidak mono, dan karena itu sering disebut petunjuk (hidayah). Saking banyaknya itu, maka tidak mungkin ruangan milik kita bisa sanggup menyerap seluruhnya dan sekaligus sehingga yang dibutuhkan adalah membuka diri atas berbagai pelajaran positif yang diwahyukan oleh kesalahan kita, kesalahan orang lain yang kita lihat, temuan ilmu pengetahuan, nasehat, dan seterusnya.
Cak Nur pernah berpesan: “Sikap terbuka adalah sebagian dari pada iman. Sebab seseorang tidak mungkin menerima pencerahan dan kebenaran jika dia tidak terbuka.” Sikap terbuka menurut Ajaran Kejawen (Javanese Spiritual Doktrine) merupakan syarat untuk mengarungi jagat “kaweruh” (sains, tehnologi, dst). “Syarat utama bagi pelajar adalah memiliki kemampuan dalam menghilangkan atau menyimpan untuk sementara waktu pemahaman dogmatis yang telah dimiliki dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati-pikiran untuk merambah jagat ilmu pengetahuan. Selamat menggunakan. (jp)
Kamis, 25 Juni 2009
The Power of Forgiving
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar