Kamis, 25 Juni 2009

J U A R A




Suatu ketika diadakan sebuah lomba balap mobil mainan. Suasana sungguh
meriah siang itu, sebab ini adalah babak final. Hanya tersisa empat anak
yang harus memamerkan mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri,
sebab memang begitulah peraturannya.

Di antara finalis itu ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa.
Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa
anak menyangsikan kekuatan mobil itu bisa berpacu melawan mobil lainnya.
Memang, mobil itu tak begitu menarik. Dibuat dari kayu sederhana dan sedikit
lampu kedip di atasnya. Tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang
dimiliki finalis lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua. Mobil itu
buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan: final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap
anak mulai bersiap di garis start untuk mendorong mobil mereka
kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap empat mobil, dengan
empat "pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan
jalur-jalur terpisah di antaranya.

Sesaat sebelum lomba, Mark meminta waktu sebentar. Ia tampak berkomat-kamit
seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup
memanjatkan doa. Semenit kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!".

Dor. Tanda pacuan telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai
mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat.
Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
"Ayo... ayo.. cepat... cepat..., maju... maju...", begitu teriak mereka.
Aha, bagaimana pun sang pemenang harus ditentukan. Tali lintasan finish pun
telah terlambai. Dan, Mark lah pemenangnya. Mark senang sekali. Ia berucap,
dan berkomat-kamit lagi dalam hati. "Terima kasih."

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala
itu diserahkan, ketua panitia bertanya. "Hai jagoan, kamu tadi pasti berdoa
kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?".

Mark terdiam. "Bukan, pak. Bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark. Ia lalu
melanjutkan, "Sepertinya tak adil meminta pada Tuhan untuk menolongku
mengalahkan orang lain. Aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak
menangis jika aku kalah."

Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah
gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.


--

Seorang
mahasiswa meminjam buku “suhu” Hing (Hingdranata Nikolay:be Hapy! and Get What You Want!) di tempat saya, dan tiga hari kemudian mengembalikannya dengan komentar yang
mencengangkan, meski saya tidak heran: “pak
Sem, saya benar-benar tercerahkan. Selama
ini saya kira sudah nasib saya yang selalu sial, tidak bisa mandiri karena
dimanja berlebihan oleh orang tua, ketergantungan pada minuman keras, kuliah
sudah delapan tahun belum selesai; sebagai
nasib yang tidak bisa diubah. Sekarang saya tahu, bahwa semua tergantung saya,
dan bahwa saya dapat membuat keputusan untuk melakukan yang saya inginkan dan
kemudian dapat menjadi apapun yang saya inginkan.”
Untuk
menambah percaya dirinya, dan memperkuat kesimpulan yang telah menjadi
pengetahuan yang bermanfaat baginya itu, saya lalu teringat pernah menyaksikan sebuah
video dari Youtube yang
berkaitan dengan topik ini dan menceriterakan kepadanya.
Sekawanan
anjing di tempatkan di satu kurungan. Kurungan tersebut terbuat dari bambu dan dibuat sedemikian rapatnya
sehingga bahkan seekor tikus kecil pun mustahil dapat masuk kedalamnya. Bagian atap terbuat dari seng. Ruang gerak anjing-anjing itu hanya seluas
kandang berukuran sekitar 3 x 5 meter. Kerjaan mereka hanya makan,
tidur-tiduran, menggonggong bila dibutuhkan, dan tentu hal lainnya yang menjadi kebiasaan kaum anjing.
Semua
nampaknya pasrah dengan keadaan mereka, kecuali satu ekor anjing remaja yang
perilakunya berbeda. Ia terus menggaruk-garuk dinding dari satu titik berpindah
ke titik lainnya, dan berpindah lagi, terus menerus tanpa putus asa. Kawanan lainnya hanya menyalak seakan-akan
memprotes perilakunya yang mengganggu ketenangan mereka.
Anjing
kecil ini tidak putus asa. Meskipun nampaknya usaha itu mustahil mengingat
bambu-bambu tersebut cukup kokoh, dia tetap lakukan pekerjaannya setiap hari. Menggaruk,
memanjat, bahkan semua lubang kecil dicobanya. Pada suatu waktu dia menemukan pijakan yang cukup tinggi lalu dia
mencoba menggaruk-garuk di ketinggian. Karena ia terus mencoba, garukannya
mengenai bagian ujung sebuah bambu lapuk, dan kraaaack, patah seketika! Sebuah lubang agak besar sudah tercipta, meskipun
belum cukup untuk memasukan kepalanya. Ia terus saja berusaha dengan memasukan
kepala, namun selalu saja gagal, gagal dan gagal. Pada kesempatan yang lain, ia
tidak lagi memasukan kepala, melainkan melekatkan jari-jari kuku kedua kaki
depannya lalu merayap naik. Setelah beberapa kali mencoba, hup! Dia berhasil menginjakkan kedua kaki belakangnya di ujung
bambu yang patah itu, lalu kepalanya menyentuh atap seng. Beruntunglah si anak anjing tersebut karena
paku seng bagian bawah telah longgar sedemikian sehingga dia dapat mengeluarkan
kepalanya. Anak anjing tersebut pun dengan
mudahnya melompat turun, dan plung! Berhasil…berhasil… berhasil!
Kawanan
anjing lainnya yang melihat kejadian itu beramai-ramai menyalak keras seolah-olah
hendak melapor ke tuan mereka. Mungkin
juga mereka memarahi dan mencaci anak anjing “kurang ajar” itu.
Seandainya
kita bertanya pada kawanan anjing-anjing itu, apakah kalian bahagia? Apakah kalian menjalani kehidupan yang
sukses? Mungkin anjing-anjing itu akan berkata, “bukan salah kami berada di sini,” atau “kami memang sial ditempatkan di sini,” atau “mau gimana lagi, ini sudah nasib kami,” atau bisa juga, “kami memiliki tuan yang kejam dan tidak toleran,” tuan kami otoriter
dan tidak membiarkan kami bertumbuh, sudahlah di sini keadaan kami kan tidak buruk-buruk
amat, kami dapat makanan free kok,” dan seterusnya. Jelaslah anjing-anjing
itu (sadar ataupun tidak sadar --mana
tahu akh!) telah memilih untuk berada di kurungan itu. Tetapi kalau kita bertanya
pada anjing remaja yang telah meloloskan diri, tentu jawabannya lain dan
pilihannya berbeda, bukan?
Moral
ceritera: ketika berada dalam masalah, keterbatasan, dan nampaknya tidak ada
peluang sama sekali, tetaplah berusaha. Memang, mungkin bukan salah Anda untuk
berada di dalam situasi tertentu, tetapi Anda dapat MEMUTUSKAN untuk TETAP
berada di situ, atau KELUAR. Apapun pilihannya, Andalah yang memutuskan
untuk diri Anda.
Haripun menjadi
lebih cerah,
Semangat pun
menjadi lebih berkobar,
Cinta pun
semakin mekar.

"Remember, happiness doesn't depend on who you are or what you have; it depends solely on what you think."
Dale Carnegie
1888-1955, Writer and Lecturer



--
Happiness is to be found along the way, not at the end of the road, for then the journey is over and it is too late. Today, this hour, this minute is the day, the hour, the minute for each of us to sense the fact that life is good, with all of its trials and troubles, and perhaps more interesting because of them."
Robert R. Updegraff
Author of "Be Thankful For Your Troubles"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar