Kamis, 25 Juni 2009

MENGAPA SULIT MEMBERIKAN PUJIAN






Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy, penulis

besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan mencoba

mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat

sedih ia berkata, "Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak bawa uang."



Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab, "Tak

apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara. Ini

pemberian yang sangat besar bagi saya."



Setiap manusia, apapun latar belakang nya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin

dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.



Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih beranggapan

bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai

uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan

teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah

mendatangkan kepuasan dalam bekerja.



Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan

sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas

kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau

mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus.



Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah.



Jauh lebih mudah mengritik orang lain.



Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi

saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu buruk."

"Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?" saya balik bertanya. "Karena Anda

sama sekali tak pernah memujinya!"



Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain?



Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara kita

memandang orang lain.



Pertama, kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah unconditional love,

tetapi cinta bersyarat. Kita menci ntai pasangan kita karena ia mengikuti kemauan

kita, kita mencintai anak-anak kita karena mereka berprestasi di sekolah, kita

mengasihi bawahan kita karena mereka memenuhi target pekerjaan yang telah

ditetapkan.



Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau syarat-syarat tidak

terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang tulus seperti pepatah

Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre.

Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta yang tulus,

yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.



Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatNya ta

npa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun Anda mengingkari

nikmatNya, Dia tetap memberikan kepada Anda. Lihatlah

bagaimana Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa

saja tak peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi manusia

yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positiforang lain. Ini bisa memudahkan Anda

memberi pujian.



Kesalahan kedua, kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita mengenai

seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik. Ia berkata, "Tunjukkan pada

saya barang paling unik dari semua yang ada di sini!"

Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk, tengkorak,

burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan berkata, "Barang yang

paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah

saya sendiri!"



Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering

menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain. Padahal,

dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan

berusaha mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita

akan mudah sekali memberi pujian.



Kesalahan ketiga? disebut paradigm paralysis. Kita sering gagal melihat orang lain

secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang kita buat sendiri

mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering mengotak-ngotakkan orang. Kita

menempatkan mereka dalam label-label: orang ini membosankan, orang itu

menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau menang sendiri. Inilah persoalannya: kita

gagal melihat setiap orang sebagai manusia yang "segar dan baru". Padahal,

pasangan, anak, kawan, dan bawahan kita yang sekarang bukanlah mereka yang kita

lihat kemarin. Mereka berubah dan senantiasa baru dan segar setiap saat.



Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun

berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi -- bahasa Jakarta ). Kita sudah

merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap tak ada lagi

sesuatu yang baru dari mereka. Maka, di hadapan kita mereka telah kehilangan daya

tariknya.



Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya pun menyindir saya dengan mengatakan

bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum menikah

dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini, tentu, membuat

saya tersipu-sipu dan benar-benar mati kutu.



Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha

Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Saya te lah

mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada

orang-orang yang saya jumpai: istri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi,

bawahan di kantor, resepsionis di kantor klien, tukang parkir, satpam, penjaga toko

maupun petugas di jalan tol.



Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih saya

dengan doa, "Hati-hati di jalan Pak!" Orang-orang yang saya jumpai juga senantiasa

memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya mereka terbebas dari rutinitas

pekerjaan yang menjemukan.



Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat

orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, membuat orang merasa

dimanusiakan. Arvan Pradiansyah

K I n d N e s s



One day, a poor boy who was selling goods from door to door to pay his way through school, found he had only one thin dime left, and he was hungry. He decided he would ask for a meal at the next house. However, he lost his nerve when a lovely young woman opened the door.



Instead of a meal, he asked for a drink of water. She thought he looked hungry and so she brought him a large glass of milk. He drank it slowly, and then asked, "How much do I owe you?"



"You don't owe me anything," she replied. "Mother has taught us never to accept pay for a kindness." He said, "Then I thank you from my heart." As Howard Kelly left that house, he not only felt stronger physically, but his faith in God and man was strengthened also. He had been ready to give up and quit.



Years later, that young woman became critically ill. The local doctors were baffled. They finally sent her to the big city, where they called in specialists to study her rare disease.



Dr. Howard Kelly was called in for the consultation. When he heard the name of the town she came from, he went down the hall of the hospital to her room. Dressed in his doctor's gown, he went in to see her. He recognized her at once. He went back to the consultation room determined to do his best to save her life. From that day, he gave special attention to the case.



After a long struggle, the battle was won. Dr. Kelly requested from the business office to pass the final billing to him for approval. He looked at it, then wrote something on the edge, and the bill was sent to her room. She feared to open it, for she was sure it would take the rest of her life to pay for it all. Finally she looked, and something caught her attention on the side of the bill. She read these words:



"PAID IN FULL WITH ONE GLASS OF MILK....



(Signed)

Dr. Howard Kelly."



Tears of joy flooded her eyes as her happy heart prayed: "Thank You, God, that Your love is shed abroad through human hearts and hands."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar